DEMESNE XXII: RANDOM

3.5K 325 13
                                    

ran·dom

/ˈrandəm/

 

Made, done, happening, or chosen without method or conscious decision.

 

POV: Allegra

 

 

"Oke. Jadi apa saja yang habis?"

Chloe meneriakkan sejumlah barang yang akan kubeli di minimarket dekat apartemen. Setelah pesanan pizza dan burger kami bertiga datang, Xander membuka kulkas untuk mencari minuman kaleng, tapi rupanya persediaan kulkasku sedang kritis--sama dengan persediaan batas warasku--jadi aku memutuskan untuk pergi menambah stok.  

"Aku mau soda, tapi jangan lupa minum-minuman yang sehat, ya, banyak keripik bumbu, biskuit keju dan lemon, dan kita butuh telur, ham, juga beberapa bungkus nugget. Itu terlalu banyak?"

Xander mencubit pelan hidung Chloe, membuat cewek itu meringis kesakitan sambil melotot.

"Masih tanya lagi?! Kau enak sekali main perintah begitu saja, kau tak memikirkan Alle yang harus membawa semua itu pulang?! Kau ini apa, sih, ibu tiri?!" bentak Xander bete.

"Xander yang manis dan kumisnya mulai tumbuh." Ya, memang sih aku akui kalau di atas bibir Xander muncul rambut-rambut halus yang sangat pendek, yang belakangan kuketahui sebagai kumis. Cowok itu biasanya selalu rutin mencukur, tapi entahlah, mungkin kali ini dia ingin merubah penampilannya jadi lebih jantan ."Aku sudah lama tinggal dengan Alle dan kita selalu brrgantian membeli bahan-bahan apartemen. Selama ini baik aku maupun dia baik-baik saja, dia juga tak terlihat keberatan, iya 'kan, Al?"

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Tenang saja, Xan, ini bukan hal baru bagiku."

Xander memandangku dengan ragu. "Kau ingin aku menemanimu? Aku dapat membantu nanti."

Aku mengambil jaket panjang yang kugantung di dekat pintu dan mengenakannya. "Tak perlu. Lebih baik kau tinggal dan membantu Chloe membetulkan televisi kita yang nyaris sekarat itu. Hari ini ada Walking Dead dan aku tak boleh tertinggal satu pun episodenya. Kau juga, 'kan?"

Xander masih ingin membantah, tapi Chloe segera menarik cowok itu menjauh. "Sudah dengar, 'kan? Kita belum tentu selesai membenarkan televisi saat dia kembali nanti. Ayo!"

"Telepon aku kalau ada yang kurang," kataku sambil keluar dari kamar.

Saat aku keluar dari apartemen, langit sedang tidak bersahabat. Udara dingin dan jalanan terasa lembab. Sepertinya akan turun hujan  Untung saja jaketku terbuat dari bahan yang kedap air dan ada penutup kepalanya. Belum lagi di tas kecil yang selalu kubawa bepergian, aku sudah menyiapkan payung kecil yang siap kugunakan saat hujan turun. Aku membuka payungku sekaligus menutupi kepalaku dengan tudung jaket, lalu berlari kecil menuju minimarket. Jarak yang aku tempuh tidak begitu jauh. Dalam tiga menit, aku sudah sampai di depan minimarket yang hari ini tampak sepi. Yep, biasanya tempat ini ramai oleh orang-orang apartemen yang sibuk mencari keperluan dapur untuk unit mereka, tapi rupanya musim hujan berhasil menahan mereka di dalam kamar masing-masing. Aku meletakkan payungku di depan dan segera masuk ke dalam. Sambil mengusap-usapkan tanganku yang mulai bereaksi terhadap udara dingin minimarket, aku mulai mencari bahan-bahan yang tadi disebutkan Chloe. Aku mengambil keranjang kecil dan berjalan pelan ke area snack.

Tanganku sedikit merinding saat menyentuh bungkus plastik ham dan beberapa plastik nugget. Bayangkan saja, udara di luar minimarket yang dingin karena hujan, dan temperatur kulkas yang mengeluarkan asap-asap yang dingin, siapa yang tidak kedinginan dengan kombinasi mematikan seperti itu? Tapi, untung saja aku segera selesai di bagian kulkas. Karena faktor kedinginan dan terlalu sering menunduk (aku bukannya depresi, tapi hidungku memang sulit diajak kerjasama), kepalaku yang minta dipecah ini berulah lagi.

TPE : Seven Rivalry (2014)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang