1. Perjodohan

277 48 10
                                    

Gyan Alindra's Point of View

Gue nggak tau apa yang baru saja terjadi. Semuanya terjadi secara tiba-tiba dan begitu cepat. Gue bahkan yakin komuk gue udah nggak terkondisikan lagi setelah tadi mendengar omongan Mami gue yang begitu mengejutkan.

"Kami sepakat untuk menjodohkan kalian, bulan depan tunangan, udah Mami urus semuanya."

Mami mengatakan semua itu dengan enteng, tanpa beban sama sekali. Lalu sekarang gue melihat Mami lagi ketawa seneng sama sepasang suami istri yang duduk satu meja dengan gue dan Mami.

Semuanya tertawa, sedangkan gue cuma bisa bengong. Gue mendongakkan kepala, lalu menatap satu-satunya oknum -selain gue- yang nggak ikut tertawa seperti yang lainnya.

Anya. Mami memanggil wanita itu dengan sebutan Anya. Kalau nggak salah, dia adalah wanita yang akan dijodohkan sama gue. Cantik memang. Cantik banget. Tapi aura nya benar-benar bikin gue enggan untuk berkomunikasi sama dia.

"Gyan kenapa ngeliatin Anya terus. Cakep ya?" Suara Mami gue sontak membuat lamunan gue buyar seketika. Mami mengatakan itu dengan nada menggoda, dan gue cuma bisa tersenyum kecut selayaknya orang bodoh.

"Anya juga ngeliatin Gyan terus," timpal wanita paruh baya yang duduk bersebrangan dengan Mami gue. Lalu dia menatap anaknya, menatap Anya. "Mas Gyan memang ganteng banget ya, Nya?"

Anya yang tadinya menatap gue, langsung menunduk dan berganti menatap steak yang tersaji di atas piringnya. "Iya, Ma, ganteng." Jawab dia tanpa gairah sedikitpun. Gue meringis. Ah, baru sekarang gue nggak merasa senang walaupun dibilang ganteng.

"Anya juga cantik, kok." Ujar gue tulus, yang sedetik setelahnya dibalas tatapan aneh dari Anya.

Emang salah kalau gue memuji dia? Padahal gue jujur lho. For god sake. Gue adalah seorang Gyan Alindra, tipikal cowok yang paling jarang dan ogah memuji wanita. Harusnya dia tersenyum, atau apa kek, bukan malah natep gue seolah gue adalah kecoa yang mengganggu penglihatan dia.

Mengingat fakta bahwa wanita ini akan dijodohkan dengan gue, tiba-tiba membuat perut gue mulas nggak karuan. Seriously, terlepas dari parasnya yang lumayan ayu dan auranya yang smart, dia benar-benar kelihatan dingin dan arogan. Berbanding terbalik dengan gue yang kata orang slengean dan tengil.

Kalau sampai gue jadi ditunangin sama orang ini, gue nggak bisa membayangkan akan jadi seperti apa kehidupan gue nantinya. Mungkin gue bakalan jadi pria paling cemen se-Jakarta karena selalu diintimidasi sama wanita bernama Anya ini. Terdengar berlebihan memang, tapi gue beneran takut, man.

"Wah, di deket kolam hotel ada pertunjukan acoustic tuh, Gyan." Mami gue bersuara lagi, lalu beliau mengerling ke arah gue. "Ajak Anya kesana gih, nonton sekalian ngobrol gituuuuu."

Shit.

Ada apa dengan Mami gue sih?!

Gue tertawa kaku, lalu berusaha menolak saran licik Mami dengan sopan. "Wah Mi, Anya aja belum selesai makan, tuh - "

Belum selesai gue berbicara, omongan gue tiba-tiba terpotong oleh suara garpu dan pisau yang menyentuh piring.

"Aku sudah selesai makan kok."

Sial. Anya benar-benar diluar perkiraan gue.

Selanjutnya, gue bisa melihat senyuman puas Mami ketika gue dan Anya berdiri dari posisi duduk kami lalu berjalan menjauh dari meja yang kami tempati, menuju pertunjukan acoustic sialan yang diadakan di waktu yang sangat tidak tepat.

Ada beberapa orang yang mendekat ke arah panggung kecil di dekat kolam renang hotel, termasuk gue dan Anya, tapi kami memilih berdiri di jarak yang sedikit lebih jauh dari yang lain. Of course, karena niat utama kami adalah buat ngobrol, bukan buat dengerin lagu.

Emozione (pcy)Where stories live. Discover now