Suling Naga 2 (Kho Ping Ho)

Mulai dari awal
                                    

Apa lagi kalau diingat betapa ia telah kalah oleh Bi Lan! Gadis itu adalah sumoinya, bahkan lebih dari itu, dapat dibilang muridnya karena ialah yang membimbing dan melatihnya sejak awal. Bah­kan ia telah menyelewengkan pelajaran silatnya untuk mencelakakan Bi Lan. Akan tetapi, Bi Lan tidak mati, tidak celaka, bahkan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat. Membanding-bandingkan keadaan diri­nya dan Bi Lan membuat perasaan hatinya tertusuk dan terasa nyeri sekali. Tertusuk rasa kecewa dan iri hati. Anak yang hampir gila itu kini malah menjadi seorang pendekar, menjadi seorang tokoh baik yang menonjol, dan bahkan dibela oleh para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir!

Penilaian secara otomatis menimbulkan perban­dingan keadaan diri sendiri dengan orang lain dan muncullah ketidakpuasan, bahkan putus harapan. Ki­ta selalu merasa kurang, selalu merasa betapa buruk keadaan kita karena kita menilai dan membanding­kan. Dan kalau sudah ada penilaian dan perbandingan, tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Hasil pemikiran tentu saja tidak sempurna karena pi­kiran merupakan suatu sumber kekacauan dari konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan antara ba­ik buruk, untung rugi dan sebagainya. Bagi orang yang tidak menilai, tidak membandingkan, melainkan memandang dan mengamati segala sesuatu tanpa pe­nilaian, tanpa perhitungan untung rugi, akan nampak bahwa tidak ada yang tidak sempurna pada alam semesta ini! Bagaimana mungkin hasil dari ulah dan perbuatan kita akan sempurna kalau kita sendiri penuh dengan benci, iri, dan pementingan diri sendiri?

Siu Kwi menangis tersedu-sedu. Mengingat akan keadaan Bi Lan yang dianggapnya hidup penuh kebahagiaan, ia merasa betapa ia tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa kesepian dan takut untuk melanjutkan hidup, merasa tidak kuat untuk memulai hidup baru. Mengapa hidµpnya begini sengsara dan serba mengecewakan? Mengapa ia seakan-akan dikutuk? Keti­ka hatinya mengeluh demikian, ada bisikan pada hati nuraninya yang membuat Siu Kwi menghentikan ta­ngisnya, mukanya pucat dan sepasang matanya yang menjadi membengkak dan merah karena tangis itu kini sayu memandang jauh ke depan, merenungkan segala kehidupannya yang lalu. Nalurinya membisik­kan bahwa hidupnya yang lalu penuh dengan penye­lewengan dan kejahatan. Sebagai manusia, tentu saja ia mempunyai kesadaran dan pengertian tentang baik buruk. Akan tetapi, selama kejahatan yang dilaku­kannya itu mendatangkan hasil baik dan mendatang­kan kesenangan, ia tidak perduli dan seperti lupa bahwa yang dilakukan adalah jahat. Barulah, setelah perbuatan jahat itu mendatangkan suatu malapetaka yang menimpa diri, timbul penyesalan! Walaupun penyesalan itu belum tentu berarti mendatangkan perasaan bertaubat, melakukan lebih condong menye­sali kegagalan atau malapetaka itu!

Akan tetapi, Siu Kwi merasa benar-benar menye­sal mengapa ia membiarkan dirinya terseret ke dalam kejahatan. Timbul keinginan hatinya untuk mengu­bah cara hidupnya, meninggalkan dunia sesat dan mencontoh jahn yang ditempuh oleh sumoinya. Akan tetapi bagaimana caranya? Jalan apakah yang harus diambil? Namanya sudah menjadi rusak dan kiranya tidak ada seorangpun manusia di dunia ini, kecuali mereka dari golongan sesat pula, yang akan mempercayanya dan mau menerimanya. Akan tetapi kalau ia bergaul lagi dengan golongan sesat, maka sejarah akan terulang. Ia tentu akan bergelimang kejahatan lagi dan ia sudah merasa takut untuk menderita akibatnya yang amat buruk, seperti yang dirasakannya sekarang.

Pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan memang dapat menimbulkan kepalsuan-kepalsuan dalam batin kita. Kalau kita TAHU bahwa kita ber­buat baik, maka pengetahuan ini saja sudah menyem­bunyikan suatu pamrih di balik perbuatan kita itu. Tahu tentang kebaikan tentu saja dirangkai dengan tahu bahwa kebaikan itu membuahkan suatu keuntungan! Sebaliknya,tahu tentang kejahatan di­sertai pengetahuan bahwa perbuatan jahat itu mem­buahkan keburukan dan kerugian kepada kita. Dengan demikian, kita BERUSAHA untuk melakukan kebaikan, tentu saja karena tahu bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita memaksa diri tidak mau melakukan kejahatan dengan pengeta­huan bahwa hal itu akan mencelakakan kita sendiri. Jelaslah bahwa pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini dapat mendorong kita untuk menjadi munafik, untuk menjadikan perbuatan kita palsu dan tidak wajar!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 13, 2010 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suling Naga 2 (Kho Ping Ho)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang