CHAPTER 8: BLOODY ENERGY

2.7K 268 3
                                    

JAVIER



Ketika menelepon rumah, yang kuharapkan adalah suara mama yang lembut dan ceria, yang selalu dengan sabar menantiku pulang dan dengan ikhlas melepasku pergi (walau aku hanya pergi ke sekolah atau nongkrong dengan anak-anak). Tapi sepertinya mamaku bosan berada di rumah sendirian, dan bisa jadi teman-teman arisannya sedang sibuk dengan keluarga masing-masing, jadi suara Bi Sumi yang terdengar lantang di seberang sana, membuatku mau tidak mau harus menurunkan volume agar Bri yang sedang duduk di sebelahku dan berbincang-bincang akrab dengan Belle tidak mendengar. 

"Halooo?! Halooo?! Lah, opo seh gelem e?* Kok nggak onok suarane, ta laporno satp..." 

"Bi Sumi..." 

"Halooo?! Loalah, Sinyo ta? Saya kira orang bank sing tadi, Nyo!" 

Aku sampai harus menjauhkan ponselku dari telinga lantaran suara lantang Bi Sumi dan logat Jawanya yang kental membuatku terkejut sendiri.

"Iya, Bi. Bi, apa ada orang yang mengantar bunga lagi ke rumah?" 

Terdengar suara-suara berisik di seberang sana, diikuti dengan omelan Bi Sumi karena tukang sayur yang datang terlalu pagi dan dirinya yang belum siap-siap keluar. 

"Ada, Nyo! Hari ini bunganya warna putih! Ibu pergi pagi sekali tadi, katanya mau ke daerah Barat, rumahnya Nyonya!"

Jelas yang dimaksud dengan "nyonya" adalah nenekku yang tinggal berdua saja dengan anak bungsunya alias bibiku yang sampai sekarang memutuskan untuk menjomblo. Berarti, mama belum tahu kalau ada yang mengirim bunga lagi. 

"Oke, Bi. Bunganya ambil aja buat bibi, tapi surat di dalamnya tinggal di atas meja dapur, ya! Kalau saya pulang nanti saya ambil." 

"Tenan, nyo?! Wahhh! Seneng rek aku di kek i kembang!** Iya, iya, siap nyo! Makasih, Sinyo!" 

Setelah memutuskan sambungan telepon, tubuhku bersandar lagi dengan malas di sofa, sementara pikiranku berkelana ke mana-mana. Kembali mataku membaca SMS rutin itu dengan seksama. Selama ini, aku tidak pernah benar-benar menceritakan kisah di antara keluargaku dengan orang luar, bahkan dengan teman-temanku sendiri. 

Hanya ada satu orang yang selalu tahu kisahku (tapi ini bukan karena inisiatif pribadi, melainkan karena kelebihannya yang tidak bisa kubendung dan membuatnya tahu hampir sebagian besar masalahku, tentu kalian bisa menebak). Selain karena malas bercerita dan aku adalah contoh pembawa dongeng yang buruk, aku tidak suka dikepoi oleh orang yang pada akhirnya malah membuatku jadi parno sendiri. Aku akan dengan senang hati menerima setiap uluran tangan dan hati ikhlas yang mau menolongku menyuruh orang itu berhenti mengirimkan bunga yang ujung-ujungnya selalu kuberikan pada Bi Sumi, tapi bahkan mengingat-ingat awal mula kiriman bunga itu terjadi saja membuatku pening.

Bagi yang baru tahu, aku memang hanya tinggal berdua saja dengan mama. Papaku sudah lama menghilang sejak peristiwa tidak mengenakkan yang terjadi pada keluarga kami bertahun-tahun yang lalu ketika logikaku belum sematang sekarang, dan baik aku maupun mama tidak pernah berniat mencarinya kembali. Sejak saat itu, mama jadi lebih sering keluar atau mengadakan arisan dengan teman-temannya, selain itu, kalau bosan, beliau bakal mampir ke rumah nenek dari subuh sampai malam. Aku tidak terlalu pusing, karena salah satu sahabatku tinggal sekompleks denganku. Kalau bosan, aku bisa menginap sampai pagi di rumahnya. 

Tapi semua kedamaian dan ketenangan yang membosankan itu mulai terusik sejak kiriman buket bunga setiap minggu yang rutin. Dihitung dari hari pertama rumahku menjadi kebun bunga mendadak, ada sekitar 50 buket bunga tanpa nama pengirim yang telah datang ke rumah. Setengahnya kuterima sendiri, sisanya lagi terkadang ditinggalkan di depan pintu depan atau diterima oleh Bi Sumi. Jangan tanya kenapa mama tidak pernah menerima bunga-bunga itu secara langsung. 

TFV Tetralogy [3] : Lego House (2014)Where stories live. Discover now