DEMESNE XVII: LASSITUDE

3.3K 351 8
                                    

las·si·tude 

/ˈlasəˌt(y)o͞od/

A state of physical or mental weariness; lack of energy.







"AKU MENANG!"

Aku hanya bisa tertawa sambil menepuk tangan saat Chloe sampai lebih dulu dari Xander. Yap, aku yang pertama sampai, dan aku sudah bisa duduk-duduk dengan santainya di kursi yang terdapat di depan apartemen milik tersangka kami yang bernama Amanda. Xander dengan wajah kusamnya terengah-engah dan duduk di sebelahku. Dia berusaha untuk mengatakan sesuatu, namun sepertinya gagal.

"Capek? Jangan hina-hina orang dong lain kali! Kau jadi terlihat seperti kelinci bunting kalau sedang begini!" teriak Chloe kegirangan.

"K-kelinci? Maksudmu apa'an? Kemarin bilang seperti ikan cupang, sekarang seperti kelinci," gerutu Xander sambil mengikat rambutnya yang gondrong. "Pasti dulu kau murid nomor satu di pelajaran sains."

"Tak perlu jadi murid nomor satu di pelajaran sains, bego. Cerita kelinci dan kura-kura itu lo! Ibaratnya, aku ini kura-kura, kau kelincinya. Kau meremehkanku di tengah jalan, sedangkan jalanku lama sekali. Ujung-ujungnya kau ketiduran, tapi dalam kasusmu, kau mampir pipis di depan pohon, 'kan? Kumanfaatkan waktu itu untuk membalapmu. HAHAHA!"

Mau tidak mau aku ikut tertawa saat mendengar cerita Chloe. Xander hanya bisa meringis sambil menundukkan kepalanya. Wajah cowok itu terlihat semakin maskulin saja kalau sedang berkeringat seperti itu. Raut wajahnya begitu jantan dan tegas, dan aku hampir tidak bisa mengalilhkan pandanganku dari otot-otot tangannya yang dibalut oleh jaket kulit berwarna hitam yang selalu dipakainya ke sekolah. Lalu tiba-tiba, cowok itu menoleh padaku dengan cepat, membuatku sedikit salah tingkah dan mau tidak mau berdiri tegak sambil pura-pura mendongak menatap langit mencari burung gereja.

"Kita masuk sekarang. Buruan," kataku, berusaha untuk tidak terlihat salah tingkah karena tertangkap basah sedang memperhatikan teman cowokku yang harus kuakui memang keren dan berharap cowok itu tidak kegeeran dulu.

Kami bertiga kemudian masuk ke dalam apartemen itu. Setelah bertanya pada si resepsionis letak kamar Amanda, kami bertiga langsung bergegas ke lantai tiga, menuju kamar nomor 120 yang ada di ujung koridor. Dari luar, seperti biasa, Xander berusaha mengintip keadaan dibalik pintu lewat cela-cela di bawah pintu. Cowok itu menoleh pada kami setelah beberapa belas detik.

"Tak ada gerakan di dalam sana."

"Kenapa caramu aneh begitu, sih? Kau 'kan tinggal mendobrak pintu atau menggedornya saja," ujar Chloe sambil memberengut.

"Ini 'kan cara keren, kita harus down to earth juga."

Aku tersenyum kecil. "Down to earth tak perlu sampai tiduran di lantai begitu kali, Xan." Aku kemudian menarik napas dan mengetuk pintu kamar itu. Semoga saja yang kita temui bukanlah orang serupa si penyambut tamu kemarin, dengan kepala nyaris botak dan badan superbesar. Kami menunggu selama beberapa saat, tapi pintu tidak kunjung dibukakan. Aku menoleh pada Chloe dan Xander yang sedang asyik bertengkar tanpa suara. Tunggu, mereka bertengkar?

"Hei, perjanjiannya juga berlaku untuk pertengkaran non-verbal lo. Berarti kau dan kau hari ini traktir kita bertiga makan."

"Apa-ap'aan?! Kau tak ada menyebut itu di perjanjian kemarin, aku menolak!" bantah Chloe tidak setuju.

"Sudah lah, kita memang salah. Yang namanya bertengkar, mau dengan cara bagaimana pun tetap saja bertengkar Terima nasib saja deh," kata Xander pasrah, tampak berada di pihakku.

"Kamu tuh enak, dompet tebal dan berhamburkan kartu kredit, coba aku? Aku hanya memiliki sisa kembalian makan siang tadi. Al, dispensasi!"

Aku tersenyum senang mendengar Chloe yang mendadak ngalem padaku, walaupun caranya sedikit tidak pantas disebut demikian. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengangguk pada cewek itu.

TPE : Seven Rivalry (2014)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant