CHAPTER 3: BROTHER'S OLD FRIEND

3.8K 265 8
                                    

Sierra



Senang karena malam yang berhasil, aku bangun dan bersiap-siap pergi ke taman kompleks untuk jogging pagi dengan wajah cerah. Sam sudah mewanti-wantiku untuk tidak lupa berolahraga, atau dia akan memaksaku ikut ke gym bersama papa dan dia. Jelas aku memilih untuk jogging saja mengitari kompleks karena aku tidak ingin berurusan dengan para trainer penggoda yang suka sekali cari perhatian entah di depanku atau di depan Sam (karena kalau opsi kedua yang benar aku bisa mengekang kakakku untuk tidak pergi ke tempat begituan lagi, kan tidak banget kalau aku menyaksikan pernikahan kakakku dengan orang lain yang sejenis dengannya). 

Bukannya aku rasis, aku punya teman seperti Gris dan dia salah satu teman terbaikku, aku bahkan mendukungnya dengan gebetannya yang kabarnya bernama Gregor alias Greg,  tapi papa adalah sosok penganut kepercayaan Pernikahan Kodrat, yang berarti papa pasti stres berat kalau anak-anaknya menyukai sesama jenisnya. 

Aku mengikat rambutku setinggi-tingginya, supaya tidak menghalangi pemandangan selagi berlari sekaligus membiarkan oksigen merasuki hidungku dengan membabi buta. Setelah membawa sebotol air, aku kelular dari rumah dan memasang headphone. Biasanya pagi-pagi begini, aku suka banget mendengarkan lagu yang bawaannya melow, entah memang akunya yang aneh atau itu bisa dikategorikan sebagai hal yang wajar, tapi lagu Landslide yang kalau dipikir-pikir artinya "longsor" sudah terlanjur membuatku jatuh hati dan ketagihan mendengarkannya, jadi aku mulai berlari dengan wajah melow.

 Aku mulai memutari kompleks dari gang paling ujung, yaitu rumahku (berhubung kompleks perumahanku hanya terdiri dari dua gang), dan lanjut ke gang berikutnya, dan kalau kalian ingin menebak, iya, aku memutari kompleks rumahku yang mungil ini sebanyak 12 kali. Rasanya bosan melihat Pak Abul, satpam kompleks yang hobi dangdutan tengah malam, terus menyapaku setiap  kali aku lewat di depan posnya, seakan-akan yang dilihatnya 12 kali itu bukan orang yang sama. Tapi masa iya aku mau berlari-lari keluar kompleks? Ide itu sempat terpikirkan olehku sih, tapi mengingat si Sam bakalan murka, aku jadi memutuskan untuk menahan diri saja. 

Aku tidak memikirkan apa pun selagi berlari, karena yang ada di dalam pikiranku hanya jogging sampai tubuhku cukup mengeluarkan keringat dan membakar minimal 500 kalori, dan bertemu lagi dengan Ethan. Cowok itu akan mengajakku pergi, katanya membeli kebutuhan tertentu.

Jadi aku memutuskan untuk tidak melakukan olahraga itu karena aku tidak pro. Lebih baik berenang atau lompat tali, atau main basket dan sebagainya.

Tunggu, aku tidak mau bermain basket.

Aku tidak bisa memegang bola dengan baik. Kalau bisa sih  bola itu aku lemparkan saja ke orang terdekat supaya aku jauh-jauh dari benda terkutuk itu. Tidak usah diterka-terka lagi, kejadian yang aku alami hampir pernah dialami oleh sebagian besar manusia. Iya, seingatku aku pernah kena timpok bola basket saat aku masih duduk di bangku SD. 

Saat itu ujian praktek sekolah. Basket merupakan salah satu materi yang harus dituntaskan. Berhubung aku tidak bisa, aku akhirnya berusaha semampuku. Namun alhasil, aku malah mendapatkan pendaratan yang tidak diinginkan dari salah satu rival terberatku, Patricia Medusa. Alih-alih melemparkannya padaku dengan teknik yang sudah diajarkan dan sesuai dengan kaidah bermain basket, Si Medusa itu malah melemparkan bola basket seberat kaki gajah itu layaknya melempar pesawat kertas. Berhubung refleksku oke, aku langsung menghindar dan rada bangga karena yah, bolanya tidak kena kepalaku gitu lo. 

Namun saat aku menghindar, sebuah bola lagi melayang entah darimana ke arahku. Tentunya aku gagal menghindar, jadi aku langsung terjatuh dengan wajah bego yang minta diselamatkan. Sayangnya, aku tidak terlalu dekat dengan siapa-siapa di kelas waktu itu, satu-satunya temanku berada di kelas yang berbeda denganku. Jadi bisa ditebak kan apa yang terjadi selanjutnya? 

TFV Tetralogy [3] : Lego House (2014)Where stories live. Discover now