DEMESNE XIII: UTTERANCE

4.4K 394 21
                                    

ut·ter·ance 

/ˈətərəns/

A spoken word, statement, or vocal sound.





Sepulang sekolah, kami bertiga segera bergegas ke apartemenku. Kami tiba dalam lima menit dan menemui resepsionis.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu, nona Equinox?"

Aku mengangguk pada resepsionis cantik yang biasa menjaga shift siang dan telah kukenal baik. "Apa di apartemen ini ada kamar Rose?"

Resepsionis berambut pendek itu mengangguk mantap. "Ada, di lantai tujuh. Kupikir nona sudah tahu sejak awal?"

Aku melirik Chloe dan Xander yang memberiku isyarat untuk segera mengakhiri percakapan dengan si resepsionis.

"Tentu saja, a-aku hanya lupa. Baiklah, trims kalau begitu."

"Lucu juga kau tak tahu kalau di apartemenmu ada kamar Rose, Al?" tanya Xander sambil berjalan cepat menuju lift.

Aku menggeleng. "Kejutan, aku tak tahu. Yang kuingat hanya Lavender, Lily, Bougenville, Magnolia, Tulip, dan Jasmine. Rose, tam pernah dengar."

"Aneh juga, padahal Rose 'kan nama yang umum, seharusnya dipakai, daripada Magnolia atau Bougenville," celetuk Chloe sambil memencet tombol "^" pada lift. Dalam beberapa detik, terdengar suara dentingan lift yang keras dan kami bertiga langsung masuk ke dalamnya.

"Menurut kalian, siapa yang akan kita temui?" tanya Xander penasaran.

Aku hanya menundukkan kepalaku sambil memainkan kotoran yang ada di  lantai dalam lift. Sementara itu, Chloe bersenandung pelan sambil menghentak-hentakan kakinya.

"Mungkin ... nenek lampir? Orang gila? Psikopat tampan?"

"Ha-ha, jawaban yang sangat masuk akal," kata Xander.

"Sudah deh, kita lihat saja nanti. Siapapun itu, jahat atau baik, kita 'kan dapat mengantisipasinya," kataku dengan suara kecil.

Aku yakin kalau aku dan anak-anak ini bakal bisa mengantisipasi setiap kemungkinan buruk yang terjadi. Aku, dengan segala hormat, cukup menguasai krav maga dan taekwondo, itu cukup bagiku untuk melindungi diri sekaligus menyerang orang yang berpotensi menyerang kami. Chloe jago kick boxing dan judo, belum lagi dia punya banyak sekali pengalaman, jelas sekali kalau dia tidak bakal mudah dijatuhkan begitu saja.

Sementara Xander, aku tidak tahu pasti olahraga bela diri macam apa yang dia kuasai, yang jelas tubuh cowok ini atletis, dan kabarnya dia tidak pernah olahraga khusus di gimnasium, jadi jelas sekali kalau dia sering bertarung atau setidaknya bertengkar dengan orang lain, bisa dibilang dia cukup pengalaman. Tambahan lagi, dia cenderung selalu lolos dari serangan banyak orang termasuk Keenan dan kunyuk-kunyuknya. Bukannya ingin bersikap pesimis, tapi kita juga tidak bisa menganggap segala sesuatu rendah. Sesuatu yang kita anggap remeh, biasanya akan menjatuhkan kita.

Jadi, aku hanya ingin sedia payung sebelum hujan, kira-kira begitu lah.

TING.

Layar di atas tombol-tombol pada dinding lift menunjukkan angka tujuh. Pintu lift terbuka, dan tanpa tunggu-menunggu, aku langsung keluar, disusul oleh Chloe dan Xander. Aku memperhatikan lantai di bawah kakiku dengan seksama, memindai setiap detail keramiknya. Sepertinya aku pernah kemari saat dulu mengantar makanan untuk seorang nenek-nenek yang sekarang kuduga sudah tiada.  Kamarnya ada di paling ujung. Sekarang pasti sudah ditempati oleh orang lain.

Ah, membayangkannya jadi seram.

Aku berjalan pelan-pelan menyusuri koridor lantai. Seperti di lantai kamarku, lorong lantai ini diterangi oleh lampu bulat berwarna kuning yang dipasang setiap satu meter. Aku melihat tulisan Rose-40, Rose-41, dan seterusnya. Bagus, sekarang kami hanya tinggal mencari Rose-50. Karena angkanya angka genap, pasti kamar ini berada di sebelah kanan. Kami bertiga berjalan mencari kamar dengan tulisan ROSE-50, yang akhirnya kami temukan karena sebelumnya kami sempat pesimis kamar itu eksis, dan di sini lah kami, di depan sebuah kamar, tepat di sebelah kamar kakek nenek yang tadi aku katakan sudah meninggal.

TPE : Seven Rivalry (2014)Where stories live. Discover now