Tiga

214K 9.2K 279
                                    

Usai jam pelajaran ekonomi dan Bahasa Indonesia selesai, Ara meregangkan tubuhnya yang rasanya kaku, bisa jadi karena terlalu banyak menahan emosi kesalnya pagi ini. Cewek iru berdiri dari duduknya, berjalan ke luar kelas dan bersedekap di depan pintu kelas menunggu ketiga temannya yang masih sibuk membereskan buku mereka.
“Heh, Lo! Ngapain lo ngelihatin gue? Gak suka sama gue? Lewat kelas gue ya lewat aja kali nggak usah ngelihatin gue sampai mata lo mau ke luar!” bentak Ara pada adik kelasnya saat dia melihat tatapan adik kelasnya yang menatapnya tak suka, Ara geram dengan cewek berambut lurus yang sepertinya tak suka dengannya itu.
“Maaf Kak.”
“Ngomong kalau lo nggak suka sama gue, nggak usah ngedumel di belakang gue, punya keberanian kan lo?”
“Sa—saya nggak akan mengulanginya lagi, Kak!”
Ara tertawa sumbang tapi terdengar mengerikan di telinga adik kelasnya itu, teman-temannya yang melihat kejadian itu, tak akan ambil pusing, mereka sudah biasa dengan kelakukan Ara. Meski begitu, Ara tak pernah main fisik untuk membuat perhitungan dengan orang-orang yang tak disukainya.
“Gue nggak keberatan kalau lo benci gue, semua orang berhak buat membenci orang lain. Tapi lo juga harus siapa buat dibenci sama orang lain. Ngerti nggak lo?”
Cewek itu memilih tak menjawab perkataan Ara dan pergi begitu saja meninggalkan koridor di depan kelas Ara tanpa berani menoleh lagi, Ara tak ubahnya momok menakutkan bagi adik-adik kelasnya, walau beberapa yang mengenal Ara menyebut cewek itu sebenarnya baik. Ara menutup matanya. Dia tak suka orang munafik, meskipun kesal jika ada seseorang yang tak suka dengannya, tapi kejujuran memang yang paling baik. Adik kelasnya tadi berhasil mengaduk-aduk emosinya.
Nana, Lea dan Gumay menggeleng-gelengkan kepala mereka begitu melihat kelakuan Ara yang suka berkata kurang mengenakkan pada adik kelas itu kambuh. Ara selalu begini, jika sedang kesal luar biasa. Sebagai cowok yang selama ini bersahabat karib dengan Ara, Gumay tahu, jika tak dalam keadaan kurang mengenakkan dan tak ada yang membuat perkara dengannya, Ara tak mungkin seperti ini. Ara berbuat, pasti ada penyebabnya, begitu yang dipahami Gumay.
“Sudah, ke kantin aja yuk,” ajak Lea dan menggeret Ara menuju kantin bersama dengan Nana dan Gumay. Ara yang berusaha mengontrol emosinya hanya menurut ketika teman-temannya itu mengajaknya untuk ke kantin.
"Lo Nggak kapok apa melanggar tata tertib terus dan lo apa nggak kasihan sama adik kelas tadi?"
Nana menoyor kepala Ara gemas. Sedangkan yang diajak berbicara malah sibuk melihat ponselnya. Ara mengecek beberapa notif sosial medianya. Dia bukan anak hits yang memiliki ribuan followers, jadi hanya ada beberapa notif yang mampir di sosial medianya. Yang paling penting bagi Ara, mengikuti trends di masyarakat itu perlu, biar tidak kudet dan biar bisa memantau aktivitas Reynald. Ara terkekeh, apa hubungannya? Karena Men-stalk Reynald selalu membuat urat ketegangannya berangsur-angsur menghilang.
"Nggak sengaja kali Na, kalau masalah adik kelas, ya biarlah, lumayan kan latihan mental gratis dari gue."
Lea yang sedari tadi sedang sibuk mengoleskan lip ice ke bibirnya hanya memutar bola matanya bosan. Alasan yang selalu sama. Nggak sengaja dan latihan mental. Yang ada bukan latihan mental, tapi beberapa adik kelas justru antipati dengan Ara dan menambah daftar orang yang tak suka padanya.
"Pesen makanan gih, laper gue.”
“Nggak ada duit,” kata Lea diangguki oleh Nana.
Mereka sedang krisis bulan ini. Uang Lea habis untuk membeli kebutuhan make up dan baju, uang Nana habis untuk membeli stuff fangirl sedangkan uang Ara habis untuk menyogok Pak Beno minggu lalu sedangkan uang mingguannya belum diberikan papanya hari ini.
“Kan ada Gumay,” ucap Ara sambil melirik Gumay yang sibuk bermain PSP-nya setelah mengamati aksinya menampar adik kelasnya tadi dengan kata-kata pedas. Ara mengangkat sebelah alisnya, tersenyum misterius pada Gumay sebelum merengek Gumay untuk membelikan mereka makanan.
***
Gumay hanya menekuk wajahnya, cowok dengan tinggi seratus delapan puluh centimeter itu baru saja dipalak oleh Ara untuk membelikan makanan di kantin. Ini bukan pertama kalinya, sudah puluhan kali Ara memalaknya untuk membelikan makanan di kantin. Ara selalu beralasan, dalam sebuah pertemanan harus saling membantu. Di sini, Gumay kerap menerima ketikeadilan dalam pertemanannya dengan Ara. Gumay tak pernah bisa menolak permintaan Ara—temannya yang paling gila sekaligus yang paling bisa mengertinya itu.
“Lo yang traktir jadi lo yang harus pesan Gum!”
Gumay mendengkus, sudah dipalak disuruh pesan pula. “Gue yang traktir lo bertiga kenapa gue juga yang harus pesan? Nggak adil.”
“Ayolah, Gum. Nanti gue cariin sosmed-nya Shila deh.”
Mendengar nama Shila, Gumay mencibir. Shila adalah adik kelas yang ditaksir Gumay dan Ara selalu menjadikan Shila sebagai kelemahannya. “Gue bisa cari sendiri.”
“Yakin?”
Cowok itu berpikir sejenak. Shila tipe cewek dingin yang sulit untuk dimodusi. Gumay menggeleng dengan dramasir, usahanya mendekati Shila beberapa kali gagal dan Gumay hampir saja menyerah jika tak ingat perkataan pedas Ara tempo hari, “ngakunya cogan, tapi dapatin Shila aja nggak bisa, cogan apa produk gagal sih?” . Sial, mengingatnya, Gumay jadi semakin tertantang untuk mendapatkan Shila.
“Nggak yakin sih, tapi—“
“Lo pesen sekarang, nanti sore nomor telepon, dan semua akun sosmed-nya Shila udah ada di ponsel lo.”
“Oke!” kata Gumay menyerah.
Ara terkekeh geli. Sementara Lea hanya diam sambil melihat keadaan kantin yang ramai dipenuhi anak-anak yang sibuk mengantre, menukar lembaran rupiah dengan makanan untuk mengisi perut mereka yang kelaparan sehabis bertarung dengan kelangsungan hidup mereka—pelajaran dan guru killer yang bersliweran di SMA 39.
"Eh, itu bukannya Reynald ya?"
Lea menunjuk ke salah satu sudut yang diikuti oleh ekor mata Ara. Reynald sedang bersama dengan seorang cewek dan beberapa temannya, termasuk Dido dan Rain.
"Eh iya ya, itu bukannya anak hits di sini ya?"
"Heem, pacar barunya kali, Reynald kan udah lama jomblo, wajar sih kalau punya pacar."  Nana menyahut. 
“Pacar? Nggak, mana bisa. Gue yang sudah jamuran nungguin Reynald malah dia punya pacar lagi. Padahal kan gue sudah sering ngasih kode dia dari jaman daging ayam nggak enak sampai jamannya daging ayam enak, eh Reynald nggak pernah peka,” gerutu Ara—sambil memakan gorengan yang tersedia di atas meja kantin penuh emosi. Lupakan tentang lemak yang akan menumpuk setelah ini, Ara bukan tipe orang yang memusingkan berat badannya. Baginya hidup semaunya dan melakukan apa yang disukainya adalah hal yang paling penting daripada menyiksa diri untuk mengikuti aturan yang kerap mengharuskan seorang terlihat sempurna.
"Emang kapan ayam nggak pernah enak? Perumpaan lo nggak mutu sih, Ra? Lagi pula masih banyak loh cogan di sekolah ini, apalagi ada Pak Ganteng itu.”
"Dengar ya Lea, cinta itu ya nggak memandang cakep nggaknya, nggak memandang statusnya juga, cinta itu sarap Le, cinta nggak punya otak loh. Kalau misalnya cinta punya otak, pasti semua orang akan jatuh cinta sama orang yang sempurna, nggak akan ada si kaya dengan si miskin, si jelek dengan si cakep, si sempurna dengan si nggak sempurna."
"Diplomatis amat lo haha tumben, oke, awas kalau lo suka sama cogan selain Reynald." 
"Y ague nggak tahu ke depannya bagaimana, kalau missal suatu saat perasaan gue sama Reynald berubah ya gue nggak bisa ngomong nggak."
Lea terkekeh pelan, sementara Nana sedang membeli beberapa snack di kios Mbak Lina.
"Ya ya terserah lo deh, cuma gue nggak yakin Reynald suka sama lo."
"Whatever, cinta itu butuh perjuangan Le, kayak kemerdekaan ini negara juga butuh perjuangan," ucap Ara berapi-api—menirukan pidato  Bung Karno di Lapangan Ikada yang dikepung oleh Jepang pada masanya, bedanya di sini Lea yang mengepung Ara. Lea tertawa semakin keras, membuat beberapa siswa menatapnya bingung sekaligus bertanya—apa Lea masih waras?
“Terus yang sudah lo perjuangkan selama ini, apa?”
Ara diam tak menjawab, selama ini tak ada yang diperjuangkannya untuk mendapatkan Reynald. Selain menyapa cowok itu dengan kalimat basa-basi. Pertanyaan Lea tadi menohoknya. Apa yang selama ini diperjuangkannya? Tidak ada, Ara tak seberani itu untuk terang-terangan mengakui perasaannya pada Reynald, bukankah untuk akrab dengan orang lain saja sebenarnya dia mengalami kendala? Apalagi untuk menyatakan perasaan? Kehidupan sosialnya memang sedikit bermasalah. Dari luar memang dia terlihat kuat, beringas seperti tak punya aturan, tapi di dalam dirinya adalah sebuah kebalikan.
“Nih bakso buat lo pada, awas ya lo malakin gue lagi! Kere gue.”
Gumay datang membawa empat porsi bakso untuk mereka. Mata Ara berbinar, cewek itu lantas mengambil mangkuk yang baru saja di letakkan Gumay di atas meja, Gumay sendiri sibuk mengelap keringatnya dengan tissue yang berjatuhan karena mengantre. Ara langsung memakannya meski kuah bakso masih terbilang panas, kelaparan yang menjadi pemicunya.
“Keringetan gitu aja dielap pakai tissue, biasanya juga pakai kain pel.”
“Mulut lo bocor banget ya, Ra. Pantes jomblo.”
“Mulut gue, kenapa lo yang sewot?”
Tak mau mendebat Ara lagi, Gumay memilih untuk menyantap bakso yang sudah susah payah di dapatkannya. Ara dan perkataan sadis yang ke luar dari mulutnya tak akan pernah habis sampai kapanpun. Gumay sudah biasa, dua tahun lebih satu kelas dengan Ara, cowok itu mengenal baik sifat Ara yang gampang berubah.
***
Hari ini memang melengkapi monsterday-nya Ara, ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, ban sepeda Ara mengalami kempes saat perjalanan pulang, membuat cewek itu kesal setengah hidup. Menuntun motor di tengah penampakan matahari yang berada tepat di ubun seperti ini bukan hal bagus untuk cewek sepertinya. Apalagi berjalan seorang diri di tengah keramaian, dan menjadi pusat perhatian beberapa orang yang lewat, membuatnya menggerutu sepanjang jalan.
Tin … tin
Suara klakson itu membuat Ara terganggu. Padahal Ara yakin dirinya sudah berada di sisi yang benar untuk menuntun motornya, kalau masih ada yang memarahinya karena hal ini, Ara berjanji akan melontarkan kata-kata pedasnya untuk si pemilik mobil yang masih membunyikan klaksonnya dengan heboh tanpa tahu permisi.
"Kenapa motor lo?" Tanya sebuah suara yang sangat Ara kenali—Reynald. Sempat, Ara terkejut karenanya sebelum bisa menguasai dirinya.
"Kempes bannya.”
Ara menatap ke arah Reynald, senyum terkembang di bibir cewek itu, di balik cobaan pasti ada hikmahnya, Ara tahun Tuhan adil padanya. Mereka saja yang gila jika mengatakan Tuhan itu tidak adil. Di mana-mana keadilan Tuhan itu tak ada yang bisa menandingi.
"Bawa ke bengkel aja, di depan pertigaan depan ada bengkel."
Reynald ke luar dari dalam mobilnya, berjalan mendekati Ara. "Lo gue anter pulang aja ya, biar pegawai bengkelnya aja yang ngambil motor lo." 
"Eh nggak ngerepotin?"
"Santai aja."
Jawaban Reynald membuat Ara bersorak. Bolehkan Ara sedikit berharap? Mungkin ini jalan dari Tuhan agar dirinya bisa lebih dekat dengan Reynald.
“Oke deh.”
Selama perjalanan, Ara dan Reynald membicarakan banyak hal, mulai dari hobi hingga film terbaru, Ara sudah pernah menduga jika Reynald orang yang asyik untuk diajak bertukar ide maupun kebiasaan. Dan tidak salah jika selama ini dia suka dengan Reynald. Cowok itu tipe orang yang ramah dan menyenangkan.
Dalam hidup Ara, baru sekarang ini dirinya merasa sangat nyaman berada di dekat lawan jenis kecuali papa dan kakak laki-lakinya. Dia bahkan bisa cepat akrab dengan Reynald tanpa membutuhkan waktu yang lama, benar yang selama ini diamatinya, Reynald tipe orang yang bisa menimbulkan suasana nyaman, meski mereka pernah sama-sama menjadi pengurus OSIS, tapi dulu Ara tak pernah seakrab ini dengan Reynald, mungkin sebatas dekat sebagai teman satu organisasi.
"Ini rumah elo?"
"Loh sudah sampai?"
Reynald tertawa, bagi cowok itu Ara terlihat menggemaskan dengan segala kenakalan yang dibuatnya selama ini. Bukan berarti Reynald mendukung apa yang dilakukan oleh Ara, tapi cowok itu tahu, Ara pasti memiliki alasan di balik sifat nakalnya.
"Makasih ya, gue turun  dulu.”
"Sama-sama."

Arayana & AdeoWhere stories live. Discover now