DEMESNE XI: CARNATION

4.6K 450 4
                                    

car·na·tion

/kärˈnāSHən/

A double-flowered cultivated variety of clove pink, with gray-green leaves and showy pink, white, or red flowers.



"Screw whoever had the nerve to spread this frigging terror!" geram Chloe emosi sambil menyenggol beberapa orang yang menghalangi jalannya dan menerobos hingga ke baris depan.

Aku menemui temanku itu, sedang berdiri tidak jauh dari tubuh Madeleine yang tergeletak lemas tak berdaya. Sahabatku itu memang susah mengendalikan mulutnya kalau sudah berurusan dengan hal-hal seperti ini, seakan-akan dia kesal dengan siapapun yang berani cari gara-gara dengan temannya dan ingin menghukum tersangkanya dengan cambuk seribu kali menggunakan cabe jalapeno. Xander di sebelahku, hanya bisa menutup mulutnya karena ngeri.

"Siapa yang menemukan dia dalam keadaan seperti ini?" tanyaku pada semua anak-anak itu.

Tanpa harus ditunjuk, seorang anak berkacamata tebal dengan rambut dikepang dua yang mirip anak dari desa yang menolak perkembangan teknologi maju sambil mengangkat tangannya.

"Saya, Allegra. Tadi saya diberi perintah oleh ibu guru untuk mengambil sapu di ruangan ini, akan tetapi setelah saya buka, cewek ini telah tersungkur di hadapan saya. Saya begitu terkejut dan tidak bisa mengendalikan diri, maka dari itulah saya berteriak," jawab cewek itu dengan tata bahasa yang membuat semua orang curiga kalau dia telah melahap habis seluruh isi kamus Oxford.

"Bicara biasa saja tanpa pakai campur tangan Oxford begitu bisa, tidak? Otakku ikut melintir mendengarnya, tahu? Jadi saat kau menemukan dia, dia sudah mengenaskan begini?" tanya Chloe tidak sabar.

Si gadis kamus Oxford mengangguk lemah sambil mundur.

"Oke, kalau begitu seharusnya ada barang bukti di dalam sana, Al. Mungkin kita bisa masuk dan cari, tapi bukan sekarang. Kita harus bawa ini cewek ke rumah sakit. Para guru harus tahu."

"Apa-apaan ini?!" bentak sebuah suara yang aku kenali sebagai suara pak Opal. 

Guru sejarahku itu menerobos kerumunan bersama bu Renata, kepala sekolah kami yang agung dan selalu merasa dirinya paling mulia dan benar, kemudian berhenti dengan tampang kaget.

"What the f..."

"PAK OPAL! Jaga perkataan Anda! Ini sekolah, bukan bar! Dan Anda itu guru, jaga sikap Anda di depan murid-murid Anda yang begitu inosen dan tidak berdosa ini!"

Cih, kata siapa kami tidak berdosa? Dia pikir kita-kita ini manusia sempurna tanpa cacat? Kadang aku bingung dan hanya bisa heran dengan cara berpikir bu Renata yang begitu unik, seunik suaranya yang tinggi melengking dan cempreng.

"Maafkan saya, ibu Renata. Tapi, saya terkejut, ibu! Demi kemerdekaan segala bangsa yang akhirnya tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, ini semua begitu mengejutkan!"

"Jangan berlebihan begitu, pak! Tak perlu menyinggung PBB segala, lebih baik bapak telepon rumah sakit sekarang!"

"Hei, Chloris, siapa kau berani suruh-suruh saya,ha?! Saya ini guru, kau itu murid, kita sama-sama tidak berhak memerintah dan memutuskan. Bu Renata, mohon solusinya." Pak Opal memalingkan kepala pada Bu Renata yang tampaknya sedang stres berat.

"Apa kejadian ini baru terjadi satu kali ini saja? Jawab saya, siapapun!" raung Bu Renata penuh amarah.

Kami semua terdiam, tidak ada yang berani bersuara dan menyinggung masalah yang terjadi semalam di pesta Natasha. Mereka semua bungkam, dan menunggu siapapun bocah berani mati yang mau menjawab pertanyaan Bu Renata.

TPE : Seven Rivalry (2014)Where stories live. Discover now