DVSK: Awal

11.1K 311 112
                                    

Kebanyakan orang sering menyebut tempat yang berada di bilangan Jakarta Selatan itu sebagai kafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kebanyakan orang sering menyebut tempat yang berada di bilangan Jakarta Selatan itu sebagai kafe. Agak kurang tepat, sebenarnya, karena tempat itu memiliki konsep kafe-bar. Selain pencahayaan yang tidak terlalu terang, warna dinding dan lantai yang cukup gelap, serta volume musik yang diputar cukup keras, tempat itu kadang dipenuhi orang yang ingin menghangatkan tenggorokan dengan minuman beralkohol.

Pada meja bundar bernomor delapan yang dikelilingi tiga kursi, dua pemuda sedang asyik mengobrol.

"Parah," ucap pemuda berbadan kekar. Ia lalu menyempatkan diri untuk meminum mojito-nya. Suara basnya kembali terdengar. "Biarpun itu disebut liga persahabatan, gue yakin tim gue bakal menang. Harus menang." Ia menekankan kata 'harus'.

Pemuda bersuara tenor di hadapannya menanggapi. "Iya, lah." Jari telunjuk pada sebelah tangannya mengetuk batang bernikotin hingga asbak hitam itu semakin dipenuhi abu. "Jangan sampe kayak waktu itu lagi. Cukup sekali aja tim lo dikalahin mereka."

Keduanya kemudian tak bersuara. Yang satu sibuk dengan rokoknya, yang satu sibuk dengan ponselnya.

Di bar, pelayan pria berhidung besar sedang berbicara dengan seorang gadis. Alih-alih sedang minum atau menikmati menu lain dari tempat itu, si gadis memilih untuk tetap mengunyah permen karet. Pembicaraan mereka berakhir dan ia mulai menyisir pandangan ke segala penjuru. Matanya menyipit, memerhatikan orang-orang di meja nomor delapan.

Ia tertarik. Bangkit dari kursi, ia lalu menghampiri dua pemuda asing di sana.

"Hai. Boleh gue gabung?" tanyanya sambil menunjuk kursi kosong di antara mereka. Merasa ditatap dari ujung kepala oleh dua pemuda di hadapannya, gadis itu mengangkat kedua alisnya.

Snapback di kepala. Rambut panjang tergerai. Kaus tipis dilapisi jaket varsity. Celana baggy. Tak perlu diragukan lagi, sepatu yang dikenakan pastilah jenis kets.

Kedua pemuda itu saling menatap heran. Tak satu pun di antara mereka yang mengenal gadis tomboi itu.

"Oke?" ucap si pemilik tubuh kekar.

"Trims." Gadis itu pun duduk di kursi kosong. Mulutnya kembali membuat balon karet yang tidak terlalu besar. Suara berdecak terdengar. "Gue nggak akan lama, kok. Cuma mau ngajak salah satu dari kalian main sebentar."

Lagi-lagi, kedua pemuda itu mengernyitkan dahi.

Si pemuda bersuara tenor menanggapi. "Main apaan?"

Mengunyah permen karet lagi dengan santai, ia lalu menjawab dengan datar. "Panco."

"Hmmmphahaha. Lo mau ngajak panco?"

"Iya. Terutama lo, karena lo punya biseps yang keren." Ia menunjuk otot yang menyembul di bawah lengan kaus si pemuda kekar.

"Lo, panco sama gue? Serius?" tanyanya lagi tak percaya.

Lawan bicaranya mengangguk.

Lelucon busuk macam apa ini? Pikir pemuda itu. Ia bahkan sedikit malu karena rekannya masih berusaha mengendalikan tawa. Jelas saja. Dirinya kekar, sedangkan si tomboi berbadan ramping. Mustahil ia tidak bisa mengalahkan si gadis itu.

"Oke, fine! Kita panco."

Setelah menggulung lengan jaketnya hingga ke atas siku, si gadis menjentikkan tangan di atas kepala dan pelayan pria yang tadi berbicara dengannya menghampiri mereka, mengosongkan meja itu. Kedua tangan kemudian saling bertaut di sana, menunggu aba-aba.

Si pelayan pria berkata, "siap ... mulai!"

Kedua petarung panco malam itu memulai permainan. Cukup banyak pengunjung lain yang memperhatikan mereka, terlebih karena keduanya bukan lawan yang bisa saling mengimbangi. Ada yang bingung, heran, ada juga yang antusias.

Musik hiphop yang terdengar semakin keras—seperti disengaja agar bisa menjadi penyemangat. Satu setengah menit berlalu dan tangan si gadis mulai agak tumbang.

Si kekar benar-benar ingin permainan konyol ini dapat segera berakhir. Berakhir sebagai pemenang, tentunya. Menit ini barangkali jadi penentu jadi ia akan mengerahkan tenaga yang tersisa. Kedua matanya menatap tajam gadis di hadapannya, menyeringai.

Di tengah konsentrasinya, sebuah kenangan melintas. Bukan sekadar kenangan—sesuatu yang amat ia benci, terjadi dua minggu lalu. Itu adalah saat ia dan tim lawannya bertanding basket. Saat itu, ia dan timnya kalah telak, membuatnya harus menelan kepahitan karena ia merasa begitu dipecundangi. Skor timnya hanya 51, sedangkan tim lawan 55. Empat babak yang terasa sia-sia. Kekalahan yang menyiksa.

Kilasan-kilasan atas kenangan yang muncul tanpa diundang itu masih menguasainya, tak peduli seberapa keras ia berusaha kembali berkonsentrasi. Ia menggelengkan kepala, menghalau kenangan itu.

Nihil. Suara kapten tim lawan terdengar jelas di kepalanya.

"Sorry, Bro. Kayaknya kali ini tim lo nggak beruntung."

Saat ia kembali fokus pada apa yang ada di depan mata, semuanya sudah terlambat. Tangan kanannya semakin tumbang dan akhirnya punggung tangannya mencium permukaan meja.

Ia kalah telak. Tangan kanannya masih terkulai lemas di meja.

Satu tepukan mengakhiri permainan. Pelayan pria mengarahkan sebelah tangan ke arah gadis tomboi itu.

Si pemuda berbadan kekar masih mencerna apa yang terjadi. Matanya membulat tak percaya, begitu pula rekan di hadapannya.

"Sorry, Bro," ucap gadis tomboi. "Kayaknya kali ini lo nggak beruntung." Ia kembali mengunyah permen karetnya. Satu sudut bibirnya terangkat. "Sekarang, waktunya gue pamit." Ia pun beranjak ke arah pintu dan meninggalkan tempat itu tanpa melihat ke belakang.

"Don, kok lo bisa kalah sama dia?"

Pemuda yang dipanggil Don itu hanya bisa mengepalkan kedua tangan. Ia bertanya pada pelayan yang tengah mengembalikan asbak dan beberapa gelas minuman dari meja lain ke meja nomor delapan.

"Mas, cewek yang tadi itu namanya siapa, sih?"

Pelayan berhidung besar itu menjawab santai. "Dinar."

"Apa Dinar itu emang selalu nantang kayak tadi?" tanya si pemilik suara tenor.

Si pelayan tersenyum sebelum menjawab. "Selalu. Dan dia nggak pernah kalah, sejauh ini."

Kepalan tangan Don semakin erat.





-Bandung, Januari 2018-

Dinar vs Si Kembar [Pindah ke DREAME]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang