When You're Not Looking

66.6K 1.7K 56
                                    

Jack's POV

Suara pemberitahuan ada diskon di suatu tempat di mall ini menyadarkanku dari lamunanku. Aku melihat ke sekelilingku dan baru sadar dari tadi aku terus berjalan sambil melamun. Untung saja aku tidak menabrak siapapun.
Tidak terlalu banyak orang yang berada di mall di pagi hari kerja seperti ini. Hampir semua orang sudah berada di dalam kantor dan bersiap-siap untuk memulai bekerja. Semestinya aku juga sama dengan orang-orang itu, sudah berada di gedung kantor. Bahkan aku mestinya mengebut ke kantor karena aku sudah terlambat dari setengah jam yang lalu.
Tapi alih-alih berniat mengebut pergi ke kantor, aku hanya menelepon salah satu rekan kerjaku untuk menginformasikan aku absen hari ini karena sakit. Ya, itu tidak sepenuhnya bohong. Walau memang sampai beberapa menit lalu aku masih sangat sehat. Bahkan aku sudah sempat sampai di kantor tadi.
Lalu di tempat parkiran aku hanya tidak sengaja melihat satu pemandangan yang mestinya pemandangan biasa untukku. Hanya pemandangan wanita yang kucintai sedang berbahagia bersama teman terbaikku. Itu saja. Dan tiba-tiba aku langsung merasa tidak enak badan. Makanya aku memutar mobilku pergi dan berakhir berjalan-jalan tidak tentu arah di mall ini.
Lelah berjalan, aku memutuskan bersandar di dinding untuk mengamati orang-orang. Ada petugas yang sedang membersihkan meja-meja agar dapat digunakan oleh siapapun yang datang kapanpun. Ada yang sedang bercanda dan tertawa bersama dengan rekan kerjanya. Ada juga karyawan kantoran yang sedang berkutat dengan handphonenya sambil menunggu pesanannya. Dan ada aku, ditemani bayanganku, di dinding kaca seberang. Tapi bayanganku terlihat seperti bukan diriku sendiri. Terlalu sedih dan letih.
Teet teet -satu pesan masuk ke handphoneku ketika aku ingin melihat bayanganku lebih jelas- Kulihat siapa pengirimnya dan sekilas bayanganku terlihat lebih sedih dari yang tadi. Seharusnya aku mematikan handphoneku.
'Jack, kau sakit? Makanya jangan bekerja terlalu banyak sampai-sampai kantung tidurmu setebal kemarin. Kembalilah bekerja kalau kau sudah sangat sehat. Jangan khawatirkan aku, sepertinya aku bisa bertahan beberapa hari tanpa bantuanmu.
Ada banyak yang ingin kuceritakan padamu. Walau aku tidak tahu apa aku boleh memberitahumu. Yang jelas ini hal yang membahagiakan :) dan itu semua berkat dirimu. -Janet-'
Aku tahu jelas apa yang ingin dia bicarakan padaku. Dan aku tahu mendengarkannya tidak akan bisa membuatku ikut bahagia. Jadi tidak kubalas pesan tersebut dan hanya kembali mengamati sekitar lagi. Nanti saja aku memikirkan tentang ini.
Kringg kringg -Aku benar-benar harus mematikan handphoneku!
Nama sang penelepon yang tertulis di layar handphoneku bukan orang yang kuinginkan meneleponku. Faktanya, dia malah orang yang paling ingin kuhindari sekarang dan selamanya. Bukan, dia bukan Janet yang tadi meng-sms-ku. Yang ini lebih besar, lebih tua dan lebih menyebalkan. Aku tidak mengangkatnya sampai teleponnya terputus sendiri. Lalu kembali orang yang sama meneleponku sesaat setelah aku mengambil nafas lega. Aku tetap mendiamkannya, dan dia kembali meneleponku untuk ketiga kalinya.
Aku baru ingat orang ini tidak akan berhenti meneleponku sampai aku mengangkatnya. Dia terlalu keras kepala untuk menyerah. Ingin sekali kureject teleponnya, tapi nanti dia tahu aku sedang menghindarinya. Mendiamkannya seperti inipun bukan pilihan yang bagus karena aku sangat terganggu dengan ringtone handphoneku. Satu-satunya pilihan hanya mengangkatnya, berbicara sedikit agar dia puas, lalu segera mematikan handphoneku.
"halo." jawabku tidak semangat.
"rapat sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu dan aku sudah meneleponmu tiga kali." Nada dingin dan sombong menghiasi kalimatnya di awal, tengah, dan akhir. Aku mendelik kesal ke arah handphoneku seakan kami bisa bertatap muka. Orang ini bahkan tidak pernah berbasa-basi dengan mengatakan halo jika meneleponku.
"aku tahu."
"lalu? Aku masih belum melihat bokongmu menyelinap masuk ke pintu ruang rapat dan duduk di tempat biasa." Terdengar suara riuh yang bertabrakan dengan kalimatnya lalu sepi. Tadi dia pasti mulai meneleponku di ruang rapat yang sudah penuh orang. Sekarang dia di bagian luar untuk mengecekku yang biasanya datang dengan berlari-lari panik agar dia bisa memarahiku dengan lebih nyaman. Terlalu lama bekerja dengannya membuatku sudah terbiasa dengan itu semua.
"aku izin. Sakit. Nggak ada yang memberitahumu tentang itu?" Aku hampir berpikir untuk memarahi orang yang kutitipkan pesan karena malah tidak memberitahu orang yang terpenting. Lalu aku mendengar jawabannya.
"ada." Singkat, padat dan mengundang amarah.
"lalu? Kenapa meneleponku lagi?"
"kukira kau bohong."
"sejak kejadian kau memaksaku lembur dan memperbudakku selama seminggu karena ketahuan membohongimu, aku tidak berniat melakukannya lagi." Dia benar-benar menyuruhku lembur lima hari berurutan! Aku tidak bohong. Bahkan untuk tugas yang bukan tanggung jawabku dia berikan padaku karena terlalu banyak lembur menyebabkan aku kehabisan pekerjaan.
Dia mengeluarkan tawa puas mendengar jawabanku. Ya, tentu dia senang, karena aku yang diperbudak. Itu kenangan buruk untukku. "oke, suara lemasmu itu berhasil meyakinkanku kau benar-benar sakit walau aku masih sedikit penasaran dengan suara ribut di sekitarmu. Tapi yang penting kau tahu hukumanku untuk tiap kesalahanmu itu selalu lebih spesial dari yang lain. Kapan kau kembali?"
Tidakkah kalian merasa percakapan ini bukan untuk sesama lelaki? "kau terdengar sangat homo, Daniel. Ya aku juga kangen sama kamu kok di sini. Nggak usah khawatir mungkin besok aku sudah bisa kembali, darling." Aku sendiri mual mendengarkan kata-kataku sendiri. Tapi inilah candaan yang biasa kubuat untuk mengisenginya.
"kau yang lebih homo. Lebih baik kumatikan telepon ini untuk image kita berdua. Aku sudah cukup jijik mendengar gosip tentang kita berdua karena kebiasaanmu bersantai di ruanganku setelah rapat."
Giliranku yang tertawa kali ini. Memang bersantai di ruangannya sejenak setelah rapat adalah salah satu kebiasaan favoritku. Dan biasanya di sana aku membicarakan tentang pekerjaan atau mengopi sebentar. Lalu akhirnya muncul kabar kami berdua melakukan yang macam-macam. Ya Tuhan... Setidaknya jika aku benar-benar homo pun, Daniel adalah orang terakhir yang kuincar. "setuju. Itu menjijikkan. Sayang aku tetap suka bekerja denganmu."
"ya, itu kabar baik. Asal kau tidak suka beneran denganku."
Aku kembali tertawa mendengarnya. Beberapa menit kemudian, Daniel tidak mengatakan apa-apa lagi. Baru ingin kumatikan teleponku saat dia menambahkan, "ada yang akan kukatakan besok."
Haahh... Kenapa dia juga harus memberitahuku sesuatu? "oke." Balasku datar dan kecil sampai aku tidak yakin dia mendengarnya.
Kepalaku kusandarkan kepada dinding yang menopang tubuhku dari tadi. "aku tahu apa." Gumamku setelah memasukkan kembali handphoneku ke kantung baju.
Bukan, aku bukan seorang peramal sampai aku tahu hal apa yang ingin dibicarakan oleh dua orang yang sama sekali berbeda. Tapi kalian juga akan tahu kalau kalian menjadi diriku. Sebagai teman baik mereka berdua, apa lagi yang akan aku dengar dari pasangan suami istri itu kalau bukan tentang berita kerukunan dan kemesraan mereka?
Sayang mereka berdua tidak menyadari kalau aku sudah mengetahuinya.
**
Entah berapa lama aku telah berdiri diam di sini mengawasi sekitar. Sudah beberapa kali meja-meja di kafe depanku berganti penggunanya. Pelayan-pelayan kafe itu juga sudah beberapa kali memandangiku balik dengan curiga. Mungkin mereka takut aku perampok yang mencoba mencari celah kosong dalam kegiatan sehari-hari mereka.
Kakiku mulai terasa pegal berdiri diam seperti ini jadi kuputuskan untuk pergi. Aku jadi tidak yakin apa besok aku akan masuk kantor sesuai dengan janjiku tadi. Sama seperti hari ini, aku belum bisa melihat mereka berdua.
Mereka berdua, Janet Claudia dan Daniel Wijaya Callaghan. Kedua orang yang tadi hampir bersamaan menghubungiku. Teman baikku, tapi juga kedua orang yang paling tidak ingin kulihat sekarang. Semua karena 'kebetulan' hidup menyatukan mereka berdua menjadi suami istri, sedangkan aku di sini 'kebetulan' menginginkan Janet untukku dan Daniel 'kebetulan' adalah teman yang paling kuhormati.
Apa lebih baik mencari kerja di tempat lain? Tapi Daniel pasti tidak akan membiarkanku keluar begitu saja tanpa alasan. Apalagi tadi aku bilang aku senang bekerja dengannya. Walau aku memang benar-benar suka bekerja dengannya.
Aku hanya sedikit takut tiba-tiba. Aku takut suatu saat aku akan menjadi orang jahat yang berusaha memisahkan mereka berdua. Rasaku pada Janet suatu saat akan membuatku tidak bisa mengontrol diri, aku yakin itu. Dan saat itu terjadi, aku akan kehilangan dua teman terbaikku. Tapi aku tetap tidak bisa menghilangkan rasa itu dengan mudah.
Ketika menemukan bangku kosong yang disediakan pihak pengurus mall, kuputuskan untuk duduk sejenak dan berpikir. Kuluruskan kakiku jauh ke depan sampai rasa pegal menghilang. Untung sekarang tidak ada cermin besar di depanku lagi. Aku tidak mau melihat bayanganku yang kurasa sedang ditutupi aura keegoisan.
Dompet warna cokelat tua sekarang berpindah dari kantung celana ke tanganku. Kubuka dompet itu dan kukeluarkan apa yang telah menetap di dalamnya selama bertahun-tahun. Selembar foto tua yang warnanya sudah memudar dan sobek-sobek di pinggirnya. Foto kenanganku ketika surprise ulang tahun ke delapan belas yang dilakukan oleh Janet dan Karen. Satu-satunya foto yang memuat aku dan Janet, sahabat terbaikku di Indonesia, juga cinta pertamaku. Sesuatu yang dapat menghilangkan rinduku ketika aku kembali ke Inggris dulu.
Untuk terakhir kalinya aku memandangi foto itu sebelum aku mengubahnya menjadikannya sobekan-sobekan kecil. Tadinya aku ingin langsung membuangnya, tapi tidak ada tempat sampah di sekitar sini. Jadi kumasukkan kembali ke kantungku untuk sementara.

Cold Marriage [Re-upload]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang