DEMESNE IX: UNRUFFLED

5.1K 436 25
                                    

Unruffled 

/ənˈrəfəld/

Not disordered or disarranged.





Satu-satunya suara maskulin-feminim yang kudengar saat ini adalah...

"Allegra Equinox, kau sudah diam begitu seperti dikutuk jadi tebing sejak setengah jam yang lalu, ngomong sesuatu dong! Aku 'kan jadi bingung harus apa di sebelahmu! Kau ingin kerasukan betulan?"

Suara Chloe membuyarkan lamunanku. Tanpa sengaja, aku terbatuk di depannya.

"Bleh! Jangan menyebarkan virus rabies ke orang dong!"

Aku mencibir. "Kau kira aku apa'an sampai punya virus rabies?"

Chloe mendengus kesal. "Kau sih daritadi dipanggil-panggil tak menjawab, kukira kau ngapain, tak tahunya melamun. Apa sih yang kau pikirkan? Cowok ganteng?"

Aku menjitak pelan kepala temanku itu sambil bangkit berdiri.

"Maaf, sedang banyak pikiran saja. Sudah selesai sarapannya? Ayo kita berangkat," ajakku sambil menyambar tas sekolahku dan beberapa map besar. 

Aku juga mengambil botol pil zat besiku, dan meminum satu biji sambil membasahi tenggorokanku dengan air.

Zat besi. Memang pil yang satu ini sangat menganggu ketenangan hidupku. Aku harus meminum satu sampai dua pil zat besi setiap kali kepalaku mulai berulah. Tidak perlu ditanya lagi, aku memiliki penyakit anemia sejak kecil, salah satu alasan utama yang membuatku mau tidak mau harus membawa pil zat besi ke mana-mana.

 Chloe mengisyaratkan "tunggu sebentar", kemudian segera mengikutiku keluar kamar. Kami memang selalu berjalan kaki setiap berangkat maupun pulang sekolah. Selain jaraknya yang tidak terlalu jauh, jalan kaki juga bagus untuk metabolisme tubuh. Karena itu aku merasa badanku tidak pernah gempal, sedikit pun (walaupun setiap kali kami menyantap habis sekotak pizza aku langsung merasa seakan-akan perutku baru saja diisi berkilo-kilo gula). Udara pagi ini cukup dingin, mungkin pengaruh hujan lebat semalam. Kata Chloe, semalam dia terbangun karena suara guntur yang dia ibaratkan sebagai kentutnya Dewa Zeus.

"Enak banget kau bisa tidur lelap, lah aku, tak bisa tidur lagi sejak suara kentut sialan itu," kata Chloe sambil membersihkan tangannya yang terkena saus tomat.

Aku hanya mengangkat kedua pundakku. "Setidaknya sudah enam belas tahun kau bisa tidur dengan lelap. Aku biasanya hanya bisa bersyukur tidur tiga jam sehari gara-gara insomnia sialan ini."

"Tapi kau tak pernah terlihat lelah, padahal seharusnya 'kan orang kurang tidur selalu lemas kayak mayat hidup," sahut Chloe asal-asalan.

"Ya, mungkin Dewa Hormon sedang berbaik hati memberiku badan segar. Perlu kau ketahui saja, terkadang aku masih suka lelah diam-diam kalau kau tak melihat."

Di tengah jalan, saat perjalanan ke sekolah tinggal beberapa blok, mataku terpaku pada sosok yang melintas sekitar tujuh meter di depanku. Sosok itu begitu familiar, masih dengan baju berwarna serupa seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya.

Vik, atau Viktor, cowok keren dan damai itu. Seperti biasanya, baju yang dia kenakan berwarna putih, semuanya, dari atas sampai bawah. Bahkan, rambutnya tampak seperti berwarna putih dari kejauhan seperti ini, seakan-akan cowok itu baru saja ketumpahan cat putih yang sengaja dipasang anak-anak iseng di jendela apartemen mereka. Cowok itu tidak membawa serta kedua anjingnya yang pintar, mungkin tinggal di rumah. Dia berjalan pelan sambil mendengarkan lagu dengan santai.

"... kalau aku sudah mandi tadi pagi. Dan aku bersumpah kalo badanku harum banget, ketiakku saja harum. Eh, Al, kau masih bersamaku, kan?!"

Aku menoleh pada Chloe yang berkacak pinggang.

TPE : Seven Rivalry (2014)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang