Bagian 1. Halteu

260 17 37
                                    

Memories.

Satu waktu, kala aku duduk sendiri di sudut ruangan tanpa cahaya sedikitpun, aku tersenyum seolah melupakan kepahitan hidup yang tak pernah dapat kutelan sempurna. Benar, aku seperti orang gila, tersenyum lebar–benar-benar tanpa beban.

Hujan amat bising hingga aku dapat menikmati kesunyian. Sementara itu, tetes demi tetes air mata begitu hangat menyentuh pipi. Lembut. Sangat lembut. Melebihi belaian orang yang paling kucintai di dunia ini.

Malam terus berjalan, menemui pekat dan menjemput dingin, kemudian suguhkan gigil. Namun, aku sengaja membiarkan tulang-tulang merasakannya. Bukankah aku seorang dermawan? Benar, kubiarkan diri terselimuti gigil yang semakin menggila, hingga sempurna membuatku melemas dan membeku. Kuharap, dapat pula membekukan luka cabikan di hati terdalam untuk selamanya.

"Belajarlah menghargai diri sendiri."

Kalimat itu terus menggema meski harus bersaing dengan bising hujan yang sempurna. Bahkan, ia lebih unggul, berdendang dan menempel di gendang telinga hingga mengantarkanku pada titik akhir kesadaran.

"Sayang, bangun! Ayo, sarapan."

Tangan halus itu membelai wajahku dengan penuh cinta. Amat sangat dapat kurasakan. Aku sedikit menganggkat kepala dan bersandar di atas pangkuannya meski hanya dengan sedikit membuka mata.

"Buruan."

Ia mencubit mesra pipiku persis setelah kulukis senyum termanis yang kupunya.

Aku kecewa saat terbangunkan oleh hangatnya mentari yang berusaha menerobos celah dinding. Mengapa ia begitu peduli memberi kehangatan padaku tanpa syarat? Bukan ia yang kuharapkan. Mengapa ia begitu bersemangat menyapa pagi dengan amat ramah? Bukan ia yang kuharapkan. Sungguh, bukan ia.


~

Senin.
Pukul enam lebih empat puluh lima menit.
Di Kampus Hijau.

"Hey, The." Akbar menepuk pundak menghampiriku yang sedang sibuk mengeluarkan buku-buku dari tas. Benar. Tadi aku kehujanan.

"Muka ente kusut banget." Pria tampan itu protes setelah berhasil membalikan badanku ke hadapannya dan memukul kepalaku dengan gulungan kertas HVS di tangannya.

"Awww!" rintihku setengah berteriak. Akbar tertawa.

"Sejak kapan ente jadi anak alay, The?" Akbar meledek. Namun, setelah melihat gulungan kertas yang ia genggam terkotori warna merah yang begitu kontras, ia tersentak kaget dan buru-buru mengamati wajahku dengan seksama.

"Ya ampun, The." sembari mengernyitkan dahi. Merasa ngeri.


"Ente abis ngapain? Ini lukanya lumayan dalem," celotehnya.

Aku tetap tidak menghiraukannya dan kembali membuang muka serta sok sibuk dengan buku-buku yang masih berserakan.

Akbar setengah berlali ke luar meninggalkan. Selang beberapa menit ia kembali hadir di hadapanku untuk mengobati luka dengan penuh kehati-hatian.

"Ke dokter, The!" ucap Akbar sambil mengoleskan obat merah ke pelipisku. "Ini perlu dijahit."

Aku merinding mendengar ucapan Akbar. Aku sangat sensitif terhadap satu kata itu karena masih trauma setelah kecelakaan dulu yang mengharuskanku berhubungan dengan dokter. Bergelut berbulan-bulan dengan obat-obatan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 25, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Seikat Rasa untuk Selly Where stories live. Discover now