PROLOG

717 42 10
                                    


Ini sudah 2 jam berlalu sejak Kim Myungsoo disekap.

Dua kali setelah yang pertama terseret sepatu seseorang, abu kembali jatuh membentur lantai yang diselimuti debu. Mata Myungsoo bergerak kalut, merah dan sembab. Tak sejelas ketika kali pertama dia diseret ke tempat penuh benda-benda usang ini. Lampu yang temaram-seperti lampu-lampu yang terpasang pada jalanan tikus-tak sedikit pun membantu. Justru semakin melukai indera penglihatannya.

Myungsoo menenggadah ketika bara api kembali tersulut dari ujung puntung. Hisapan demi hisapan seperti menuntut jantungnya untuk berdetak lebih gila. Kepulan asap yang dihembuskan lelaki itu juga semakin membuat tubuh gemetaran hebat.

Mencoba memberontak tapi percuma. Kedua tangan dan kaki Myungsoo dikunci mati. Empat orang menjagal, membatasi ruang geraknya. Myungsoo mencoba berteriak. Namun, suara tak keluar karena lidah bergelung dengan kain yang menjerat mulutnya.

Betapa humorisnya Tuhan melimpahkan situasi seperti ini padanya.

"Diam, bodoh!" salah satu dari pelaku menikam pergelangan tangan Myungsoo semakin kencang. Myungsoo memejamkan mata, menahan sakit yang menjalar ke seluruh tubuh ketika bagian sisi perut ditendang cukup keras.

"Sudah kukatakan berkali-kali tapi kamu tak mau mendengar." Suara tersebut begitu familiar. Sering didengar, tapi dia tak ingat siapa pemiliknya. Saat Myungsoo membuka salah satu mata, yang terlihat hanya siluet seorang perempuan. Rambut yang jatuh lurus dari bahu kecil si gadis, menghalangi sorot temaram lampu,"Aku benci harus melakukan ini," sambungnya kemudian perlahan berjongkok. Seketika si gadis mendekat dan memperlihatkan dengan jelas lekuk wajah.

Bibir Myungsoo bergetar. Ada perasaan menyangkal yang bergulat di benak.

Ini... tidak mungkin.

"Hallo, Myungsoo oppa~" sapanya menyungging senyuman polos,"Oppa, aku harap setelah ini oppa tidak akan melakukan hal bodoh lagi. Oppa tidak boleh begini." Ujung jari telunjuk yang lentik menelusuri lekuk wajah Myungsoo seolah dia adalah barang ringkih.

"Homoseksual masih tabu. Oppa sangat berdosa jika mencintai seorang laki-laki. Terlebih lagi jika laki-laki itu adalah milikku. Oppa tahu sendiri, aku sangat pemarah. Aku juga bukan orang yang tolerir."

Hipokrit.

Apa yang dilakukan gadis itu pada saat ini, bukan dosa?

Apa dia sudah hilang akal sehat?

Atau otaknya yang memang tidak berfungsi?

Myungsoo melemparinya tatapan kotor. Untuk sesaat rasa paranoid dalam diri menghilang.

"Kenapa melihatku begitu?" Tamparan keras pun tak terelakan. Pipi Myungsoo seperti terbakar.

"Kamu begitu menjijikan! Murahan!"

Myungsoo bergeming. Meletakan kepalanya pada lantai dengan dada yang kembang kempis. Napasnya berderu kasar. Dia lelah. Sungguh lelah.

"Aku benci sekali melihatnya! Lakukan sesuka kalian!" Gadis itu marah lalu meninggalkan ruangan dengan perasaan gusar.

Pukulan demi pukulan kembali menghujami tubuh Myungsoo. Sampai sakitnya tak berbekas. Sampai darah yang mengalir tak terasa. Hingga syaraf Myungsoo menolak untuk merespon, terlebih setelah ujung putung rokok yang masih menyala menjilat kulit telapak tangannya.

Waktu itu untuk yang kesekian kalinya, Myungsoo ingin mati.

MR NAMWhere stories live. Discover now