CHAPTER 18 : THE HIDDEN CRIMINALS

3.2K 295 15
                                    


Ricco Theodore

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ricco Theodore


Saat aku pulang ke rumah, hal pertama yang paling senang kulakukan adalah masuk kamar dan tidur sambil makan keripik singkong. Setelahnya aku pasti nganggur sambil buka-buka video tari yang biasa kulihat, sebuah grup tari asal New Zealand, ReQuest. Aku tahu, mereka cewek semua, tapi toh mereka punya Lance, dan Lance itu salah satu idolaku! Terkadang, aku lebih suka meliat Emilio Dosal juga sih, dan tak jarang aku menonton video terbaru Most Wanted Crew. Orang-orang itu adalah inspirasiku dalam menari! 

Kupikir rutinitasku bakal seperti itu terus sampai kelak aku sukses, tapi malam ini ada yang berbeda. Aku sempat ingin melempar pelaku tidak tahu sopan santun yang mendadak masuk ke dalam kamarku, seorang cowok berbadan kekar tapi pendek yang sudah tidur-tiduran seakan-akan meniduri kasurku bukanlah masalah. 

Orang itu adalah sepupuku sendiri, yang terkenal dengan gayanya yang sok dan suka kepedean di mana-mana.

"Ya ampun! Lo ngagetin gue aja Bri!" teriakku memaki cowok jabrik itu.

 Yep, namanya Brilliant, sepupuku yang nyasar di Surabaya dalam rangka bolos dari sekolahnya. Dia bersekolah di sekolah yang sama dengan Alan dulu, karena itu aku suka parno sendiri kalau melihat bocah berambut Justin Bieber itu. Bukan karena takut kalah tampan (karena aku ini udah tergolong ganteng banget), tapi karena anak itu bisa mengancam nyawa orang banyak. 

Omong-omong,  aku tidak tahu apa yang membuat anak itu bisa terdampar di kamarku sambil makan keripik singkongku (sudah tinggal setengah lagi!) bagaikan tukang becak yang kekurangan makan.

"Ngapain juga lo kaget? Santai lah, Ric. Gimana kabar dance lo yang, begini begini itu?" tanyanya sambil memperagakan beberapa gerakan yang sering kulakukan saat sedang latihan.

"Biasa aja," jawabku cuek. "Dan lo jangan bergaya begini begini gitu deh, agak geli gue lihatnya."

"Idih, sewot amat jadi cowok, jadi kayak cewek aja lo," katanya sambil duduk di dekat televisi dan mulai mengganti channel-nya dengan film-film yang dia sukai sendiri, sementara aku langsung duduk di kursi berputarku dan menyalakan laptop. 

Kenapa juga sih itu anak, si Bri, ada di sini?Dia kan bisa aja ganggu anak orang yang lain, mana dia itu punya segudang korban yang bisa diganggunya lagi. Masak iya hanya aku saja yang terpikirkan olehnya? Ganggu acara orang saja.

"Dan lo, lo ngapain kemari? Ada urusan apa lo, tumben banget nggak ada bom nggak ada tsunami kemari," sindirku selagi aku membuka email.

"Ya, bokap gue lagi ada urusan ama lo punya bokap, jadi gue ikut ke sini. Kenapa? Nggak suka bener kalo gue ada di sini." 

Berkat gaya bicaranya yang memang menuruni papanya yang asal Jakarta, Bri jadi sering ngobrol dengan siapapun menggunakan gue-elo, dan itu juga akhirnya menular padaku. Khusus padanya, aku terbiasa berbicara pakai gue-elo, malah mungkin kedengaran aneh kalau aku yang berbicara, karena logat Surabaya-ku lebih kental. Kesannya seperti maksa banget gitu, tapi bodoh amat, toh juga itu anak mengerti saja.

TFV Tetralogy [2] : Paranoid (2013)Where stories live. Discover now