DEMESNE V: FORBEARANCE

6K 486 23
                                    

for·bear·ance

\fȯr-ˈber-ən(t)s, fər-\

The quality of someone who is patient and able to deal with a difficult person or situation without becoming angry.

"Al, bukannya aku ingin bersikap parno, tapi apa kau tidak mendengar apa pun dari atas sana?" tanya Chloris saat aku buru-buru berjalan ke kursi tempat aku duduk tadi.

Aku mengangguk cepat. "Entah kenapa, perasaanku jadi tidak enak, Chlo. Ayo kita coba periksa."

"Tunggu! Kalian mau ke mana?" tanya Aqua saat Chloris dan aku beranjak pergi dari tempat duduk kami. "Kita kan belum selesai mengobrol? Apa aku ikut kalian, nih?"

Aku melirik Chloris yang sepertinya sedang menimbang-nimbang apakah Aqua harus ikut dengan kami atau tidak. Kalau dilihat dari tampang Chloris, sahabatku itu sudah terlihat dekat sekali dengan Aqua, dan sepertinya dia tidak tega kalau harus meninggalkan cewek girang berambut merah itu di bawah, sendiri dan tolah toleh seperti anak hilang. Jadi, aku langsung mengangguk pada Chloris, di mana cewek itu lantas mengajak Aqua untuk ikut kami berdua ke atas. Aku tahu sih, ini sedikit melanggar aturan tuan rumah, karena berkeliaran di rumah orang tanpa izin, belum lagi kalau betulan ketahuan, kami bisa dituduh akan melakukan penerobosan paksa. Tapi, aku yakin sekali kalau aku mendengar teriakan dari lantai atas. Memang tempat ini sedang ramai lantaran pesta yang kelewat berisik, tapi kami tentunya tak sebodoh itu tidak bisa membedakan suara teriakan minta tolong dengan suara teriakan girang. Masalahnya, kenapa orang-orang lain yang ada di pesta itu tidak menyadari suara teriakan itu? Apa ini karena aku dan Chloris yang terlampau peka? Atau mereka mengira itu hanya suara teriakan gadis gila yang sedang dimabuk cinta atau terlalu asyik tralala trilili?

"Kenapa tidak ada yang dengar, ya?" tanya Chloris padaku.

Aku mengangkat kedua pundakku bersamaan. "Halah, kau seperti tak tahu anak-anak ini saja. Ada yang dicopet pun paling-paling hanya dikira main copet-copetan. Tidak paham deh, kita naik saja ke atas. Buruan."

"Eh, eh! Tunggu! Kalian kok asal naik? Kalau si Natty lihat, terus mengamuk, bagaimana?" tanya Aqua dengan polos sekaligus menahan kami.

Chloris memutar bola matanya sambil mendengus kesal. "Aqua yang rambutnya tidak matching sama namanya, Natty-mu itu lagi sibuk godain cowok-cowok di bawah, dia tidak bakal sadar! Kita bakal turun sebelum pesta ini selesai, bahkan sebelum Natty-mu sadar kalau aku dan Alle, juga kamu, tidak ada di bawah. Oke? Kita ini pro." Lalu sahabatku itu langsung melenggang naik ke atas dengan santainya. Aku menoleh pada Aqua yang masih ragu dengan keputusan kami, lalu meninggalkan dia dan terus mengikuti Chloris.

Sesuai dugaanku, si Aqua tentu saja tidak akan mematung di bawah seperti orang bego, jadi cewek itu mengikutiku dan Chloris yang sudah sampai di lantai dua rumah raksasa itu.

Lantai dua rumah ini tidak jauh berbeda seperti lantai satu, bahkan terkesan lebih mewah. Semua perabotannya terkesan mahal, bahkan sofanya saja dibuat dari beludru. Ada bar kecil di dekat tangga, lengkap dengan kulkas dan meja kecil yang bisa digunakan sebagai meja makan dan tempat bersantai untuk orang-orang yang tinggal di atas sini. Ada ruang santai-santai juga yang terletak beberapa meter dari bar, dilengkapi oleh televisi superbesar dan belasan toples snack di pinggir-pinggirnya.

Kamar di lantai ini berjumlah tiga buah, dua kamar bersebelahan sedangkan yang satunya terpisah sendiri. Ada dua kamar mandi yang terletak di dekat kamar yang berdiri sendiri. Lampu di lantai kedua ini lebih terang dari lantai bawah, tapi masih saja berwarna kekuningan. Chloris, yang memang tidak tahu tata krama dan sedikit blak-blakan, langsung menyambar toples berisi keripik kentang rasa rumput laut dan memakan isinya sedikit-sedikit.

TPE : Seven Rivalry (2014)Where stories live. Discover now