Auderia

575 6 4
                                    

Hujan rintik-rintik di luar berubah secepat kedipan mata menjadi badai guntur, begitu Ninnah berkata, ”Kamu sekarang tidak bisa keluar.” Gemuruh badai itu begitu luar biasa hingga terasa khayal. Suara terjangan anginnya meraung memekakkan telinga, seolah alam semesta sedang tercabik-cabik dan menyerpih. Sejumlah pohon tampak tercabut akar-akarnya dan diterbangkan pasrah bak dedaunan. Bongkahan-bongkahan batu ikut bergabung memeriahkan suasana, terpelesat-pelesat secepat anak panah, begitu pula benda-benda padat lain yang wujudnya tak tampak jelas—tetapi ukurannya jelas besar dan bisa mematikan.

Menyadari bahwa perkataan sang ibu tak bisa dibantah, Karnthe pun mengangguk pelan. Hal itu sebenarnya tidak mengganggunya, karena ia toh memang ingin terus berada di dalam, mendekam di samping ibunya. Dirapatkannya duduknya pada Ninnah, seolah ia sedang disiksa hawa dingin dan butuh kehangatan segera. Ninnah tersenyum tipis padanya, lalu merangkulnya dan mengecup lembut keningnya. Berbagai emosi pun menyeruak di dada Karnthe, membuat raut wajahnya berubah-ubah tak tentu, otot-ototnya menegang dan mengendur—hingga wajahnya tampak bak lukisan potret manusia setengah jadi.

”Bagaimana Ayah sekarang?” tanya Ninnah.

”Masa Ibu tidak tahu?” sahut Karnthe sambil menyandarkan kepala pada bahu Ninnah.

”Ibu jarang bicara dengannya.”

”Kenapa, Bu? Tapi, Ibu juga jarang bicara dengan aku.”

Senyuman penuh arti tersungging di bibir Ninnah. ”Karena tidak baik itu,” ujarnya. ”Ibu tidak boleh bertemu kalian sering-sering. Nanti bisa terjadi yang tidak-tidak. Yang ... tidak baik.”

Karnthe melirik pada sang ibu. ”Kenapa sih, Bu?” rajuknya. ”Maksudnya bagaimana ’yang tidak baik’ itu? Ibu masih sayang aku dan Ayah, kan? Kenapa tidak mendatangi kami lebih sering?”

”Karnthe, Karnthe ....” Ninnah tertawa kecil. ”Kamu kok masih manja seperti ini. Padahal kamu sudah bukan anak kecil lagi, kan. Kamu sudah jauh lebih besar dari terakhir Ibu lihat, dulu sekali. Kamu—”

”Iya, Bu. Sudah lama sekali, bertahun-tahun lalu,” ucap Karnthe, menyiratkan kerinduannya yang amat sangat.

”Eh, kamu sudah punya kekasih? Sudah ada gadis yang kamu sukai?”

Reaksi Karnthe tidak terlalu jelas: berupa anggukan lemah yang dengan cepat disusul gelengan.

”Seumur kamu ini sudah sepantasnya membicarakan calon istri,” lanjut Ninnah. ”Yah, walaupun ayahmu sedikit terlambat sih. Dia melamar Ibu di umur yang sembilan tahun lebih tua darimu. Tapi jangan kamu tiru ya, hihihi.”

”Bu ....” Karnthe kembali merapatkan tubuhnya pada Ninnah. ”Ibu di sini saja terus ya, jangan ke mana-mana. Tetap di sini ....”

”Ibu tidak akan ke mana-mana, Karnthe, Ibu selalu di sini,” tanggap Ninnah lembut.

Untuk beberapa saat kemudian, Karnthe menikmati belaian-belaian sayang Ninnah pada rambutnya. Cahaya kuning api unggun memancar dari suatu tempat, mendatangkan kehangatan dan rasa aman. Hujan badai di luar sana belum berkurang keganasannya, tetapi sudah bukan sebuah persoalan lagi. Bunyi amukan angin dan ledakan guntur pun mulai terdengar seperti musik bagi Karnthe, semerdu nyanyian jangkrik di musim panas. Ia menutup matanya dan tersenyum, damai.

”Jangan tidur dulu, Karnthe,” bisik Ninnah.

”Mmm,” Karnthe mengerang pilu. ”Jangan ke mana-mana, Bu. Jangan pergi. Sudah lama kita tidak bertemu ....”

”Nah, nanti suatu saat kita pasti akan berjumpa lagi. Tapi sekarang kamu harus bangun; bukan saatnya tidur. Ayo, buka matamu.”

”Mmm ....”

AuderiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang