breath

68 19 0
                                    

“Sumpah, gue udah baik-baik aja, Lun. Nggak perlu istirahat di UKS,” protes Clara saat aku membawanya—ralat menyeretnya—ke ruang kesehatan—karena cewek itu tampak masih pucat tapi memaksa ingin ikut olahraga.

“Udahlah, lagian hari ini olahraganya juga renang. Lo nggak bakalan ikut nyemplung ke kolam, jadi ngapain lo nunggu di kolam renang? Mending turu!”

“Heh! Cuci matalah, Sis! Kan jarang-karang Pak Budi adain olahraga renang.”

“Nggak ada yang bisa buat cuci mata di sini. Yang ada bikin butek mata! Udahlah istirahat aja oke Claraaaaa? Gue janji bakal ngajak lo berenang kalo lo udah sembuh. Sekarang bobo cantik, nanti pas istirahat gue bangunin,” ujarku seraya menjatuhkan tubuh Clara di kasur UKS yang minimalis.

Walau sambil manyun, akhirnya Clara pasrah dan setuju untuk istirahat di UKS. Setelah memastikan sahabatku itu istirahat dengan nyaman, aku pun segera meninggalkan ruangan yang memiliki aroma khas obat-obatan itu.

Aku mengerutkan kening saat melihat Kak Kenzo berjalan di koridor dengan gaya cool-nya seperti biasa. Cowok itu membawa tentengan yang berisi susu, roti, dan lainnya. Dan saat aku melihat cowok itu memasuki UKS, sepertinya aku paham yang akan terjadi. Atau mungkin justru aku tidak paham sama sekali.

Hah, ya ... Jatuh cinta memang kadang serumit ini.

***

Begitu aku memasuki kolam renang, aroma kaporit yang sangat khas langsung menusuk hidungku. Jujur saja, aroma kaporit selalu mengangguku, makanya berenang tidak pernah jadi olahraga favoritku.

Di sekitar kolam tampak teman-teman sekelasku sudah berganti baju dengan baju renangnya masing-masing, ada beberapa siswa yang sedang pemanasan di sekitaran kolam dan ada juga yang sudah nyemplung dan renang sana-sini.

Aku adalah tipe yang males pemanasan apalagi masuk ke kolam renang, oleh karena itu sambil menunggu Pak Budi—guru olahraga datang, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di pinggir kolam renang sambil memasukkan kedua kakiku ke dalam air.

Air kolam yang dingin begitu kontras dengan panasnya lantai yang tengah aku duduki. Aku bisa membayangkan kalau menyebur ke kolam pasti bakal segar sekali, tapi jujur saja aku malas basah-basahan. Sehingga aku menunda lama keinginanku untuk nyebur ke air.

Tapi, ya ... memang tidak semua hal berjalan sesuai rencana.

Karena tiba-tiba ada yang menarikku kedua kakiku ke dalam air sehingga kini tubuhku jadi basah kuyup.

Aku mengalungkan kedua lenganku pada seseorang yang berdiri di depanku, lalu mengambil napas dalam-dalam begitu kepalaku kembali ke permukaan.

Aku menyugar rambut panjangku ke belakang, lalu melotot kepada Bagaskara yang kini tengah menatapku dengan senyuman kemenangan di wajahnya. Dan aku langsung tahu, kalau cowok itulah yang tadi menarikku ke kolam.

Aku menarik rambut belakang Bagaskara yang basah, dan hal itu langsung membuat cowok itu protes kesakitan. Mampus!

“Lo kenapa sih nggak bisa biarin hidup gue tenang sebentar ajaaaaaa?” protesku seraya melotot ke arahnya.

“Gigi dibalas gigi. Darah dibalas darah. Nyawa dibalas nyawa. Dan diceburin tentu dibalas diceburin. Forget and forgive? Na-ah, jangan harap! Ini balas dendam gue karena lo nyeburin gue waktu itu!”

“Gue nggak bakal cari gara-gara kalo lo nggak duluan, ya!”

“Emangnya waktu itu gue ngapain?”

Tentu saja soal bapao ayam! Tapi aku ogah mengakuinya, karena waktu itu aku sendiri yang salah paham.

Aku berdeham untuk menetralisir rasa malu yang bergejolak di dadaku. “Ya, lo nyebelin aja!”

“Nahkan akhirnya ngaku, kalo lo waktu itu sengaja!”

Aku memutar kedua bola mataku, karena sudah malas berdebat. “Dan gigi dibales gigi, kan? Puas kan lo udah balas dendam hari ini?”

Dan senyuman setan kembali terbit di bibir cowok itu. “Oh, tentu saja tuan putri,” ujarnya puas yang tentu saja langsung membuat aku dongkol setengah mati.

Aku melepaskan kedua lenganku yang menggantung di leher Bagas saat Pak Budi meniup peluit tanda berkumpul.

Lalu dengan gerakan renang yang kacau balau aku bergerak ke pinggiran kolam dan naik ke atas. Setelah itu kami berbaris menurut urutan absen masing-masing dan mendengarkan Pak Budi yang mengoceh soal penilaian olahraga hari ini.

***

Setelah berenang dari sudut ke sudut dengan semangat, penuh tenaga, dan pantang menyerah akhirnya penilaian renangku beres juga. Walau ya ... Nilaiku tetap jelek karena aku beneran nggak jago dalam olahraga satu ini.

Hingga kini Pak Budi memanggilku untuk menemuinya setelah aku berganti pakaian. Pak Budi memberikan wejangan dan menuntutku untuk berenang lebih baik lagi di ujian praktek terakhir agar aku dapat nilai memuaskan. Supaya beasiswaku di kelas 12 aman karena untuk memenuhi beasiswa semesteran, nilai harus selalu stabil.

Aku mendengarkan nasihat Pak Budi dengan seksama, lalu berjanji akan berusaha lebih baik dipertemuan selanjutnya. Setelah Pak Budi memberiku semangat, akhirnya aku boleh langsung istirahat.

Sebelum ke kelas aku mengeringkan rambutku yang basa sekali lagi. Suasana kolam renang sudah lengang, wajar saja karena renang memang selalu membuat perut keroncongan. Jadi bisa aku tebak, teman-temanku sudah ngacir ke kantin untuk mengisi perut yang kelaparan.

Sudah tidak ada siapapun di kolam renang ini, hingga aroma kaporit yang memenuhi udara semakin menyenangat.

Namun, ada yang aneh. Karena sejak tadi seperti ada yang mengambang di dalam air tapi tidak bergerak sama sekali. Dan begitu aku lihat lebih jelas, baju renang itu begitu familiar.

Itu Bagas. Aku yakin itu adalah seorang Bagaskara.

Shit! Bagas nggak kenapa-napa kan? Dia nggak tiba-tiba pingsan dalam air atau tenggelam karena kram kannnn?

Lalu tanpa berpikir panjang, aku pun langsung menyebur dalam air dengan jantung yang menggedor dada dengan brutal.

“Bagassss! Lo nggak papa?”

Dan begitu aku mendekat, tiba-tiba cowok itu menampakkan kepalanya ke permukaan. Mata cowok itu merah, dan napasnya tampak memburu. Aku melihat banyak ekspresi Bagas, mulai dari yang menyebalkan level 1 sampai menyebalkan level 10000. Tapi ekspresi ini nggak pernah aku lihat sama sekali.

Mata itu tampak ... Begitu kosong.

“Lo nggak papa?” tanyaku dengan suara tersendat karena panik.

Ekspresi Bagas akhirnya kembali seperti biasanya, lalu ia mendekat ke arahku. Dan aku yakin ekspresiku sendirilah yang kini kacau balau. Karena jujur saja aku seperti lupa cara bernapas karena begitu panik.

“Luna?” Bagas meraih pundakku dan menundukkan wajahnya hingga kini matanya bertatapan dengan mataku.

“Hei, breath. Baby, breath.”

Dan menuruti instuksi Bagas, akhirnya aku bisa bernapas dengan normal kembali.

Hahhhhhhh,

Aku seperti baru saja memasuki planet baru yang tidak pernah aku jelajahi sebelumnya. Bagas yang tadi, betulan tidak aku kenal sama sekali.

august. (Completed)Where stories live. Discover now