labyrinth

77 24 0
                                    

Bel istirahat pertama akhirnya   berbunyi. Semua murid yang tadinya sibuk mengerjakan tugas pun mulai kasak-kusuk untuk menyelesaikan setiap tugas yang ada agar bisa langsung minggat ke kantin untuk istirahat dan mengisi perut yang kelaparan.

Guru Bahasa Inggris tidak masuk hari ini karena harus menghadiri rapat di sekolah lain, sehingga kelas kami free. Tapi tetap saja kami diberi tugas dan harus dikumpulkan saat pelajaran pertama selesai.

Clara tidak masuk hari ini karena demam, sehingga aku harus pergi ke kantin sendirian. Bagaskara juga sedang latihan renang, sehingga sejak pagi aku belum melihat batang hidungnya.

Tidak, bukannya aku kangen atau ingin melihat cowok itu. Tapi setidaknya, kalau ada Bagas kan kami bisa ke kantin sama-sama. Walau selama di perjalanan ke kantin cowok itu hanya akan membuat aku naik darah.

Di kelas ini, aku memang hanya dekat dengan Clara dan Bagas. Pertemanan tanpa memilih-milih itu bullshit, karena nyatanya pertemanan di SMA bakal selalu geng-gengan. Dan aku terlalu malas untuk gabung ke geng siapapun, atau harus SKSD dengan siapapun. Jadi, lebih baik sendiri daripada ikut drama sana sini.

Namun, bukan berarti aku introvert juga. Kami tetap berteman, hanya saja seperti memasang gembok tak kasat, jadi kamu bakal tahu kalau kamu bakal dipersilahkan masuk atau tidak. 

Sebelum ke kantin aku mengecek ponsel sekali lagi. Aku tahu aku bakal kecewa, tapi katanya berharap kan nggak ada salahnya. Namun, ya ... Seperti biasa, harapan itu juga yang membuat aku merasakan nyeri pas di dada kiri.

Tidak akan ada yang peduli. Mungkin hidup mereka justru lebih baik saat aku meninggalkan rumah. Sejak awal memang aku seharusnya tiada.

Hah.... Aku menarik napas panjang untuk menghilangkan sesak di dada, lalu bangkit dari tempat duduk dan berjalan ke kantin karena cacing-cacing di perutku sudah berdemo minta dikasih makan. Maklum, tapi pagi aku tidak sempat sarapan dan hanya minum sekotak susu yang masih tersisa di kulkas.

Seperti biasa kantin tampak sangat penuh hingga tidak ada meja yang tersisa. Namun, untungnya sejak kemarin aku sudah memesan bapao ayam favoritku pada Ibu kantin, sehingga aku hanya tinggal mengambilnya lalu memakannya di kelas atau taman sekolah yang adem.

“Pagi, Bu! Bapao buat aku disisain kan?”

“Pagi, Mbak Luna!” Ibu kantin menjawab senyumanku dengan tersenyum, tapi kemudian keningnya berkerut dalam seperti orang yang sedang bingung. “Lho, bukannya udah diambil Mas Bagas? Katanya tadi disuruh Mbak Luna buat ambil. Jadi, ibu kasih bapao-nya ke Mas Bagas,” jelasnya dengan aksen Jawanya yang sangat kental.

Haish, si setan satu itu!

Tentu saja aku tidak pernah menyuruh Bagaskara untuk mengambil bapaoku di kantin, seharian ini kami bahkan belum bertemu karena cowok itu sudah harus latihan renang dari pagi.

Aku mengangguk mengerti, lalu akhirnya mengambil roti random yang ada di etalase dan memakannya dengan emosi.

Sungguh, saat ini mood-ku langsung anjlok. Karena hari ini nggak ada yang berjalan sesuai rencana. Semuanya berantakan, dan itu juga membuat mood-ku berantakan.

Dengan emosi yang membakar ujung kaki sampai kepala, aku pun berjalan ke arah kolam renang yang ada tepat di belakang sekolah.

Aroma kaporit yang sangat khas langsung menusuk hidungku begitu aku memasuki area kolam renang. Hari ini kolam renang tampak sangat ramai, tentu saja oleh anak-anak yang latihan renang untuk mewakili Pekan Olahraga Nasional bulan depan, dan beberapa anak yang memang punya jatah olahraga.

Berenang bukan olahraga favoritku. Aku benci berlama-lama di air, karena akan membuat tubuhku menggigil kedinginan. Aku benci dingin, karena mengingatkanku pada malam-malam panjang yang harus aku lewati sendirian saat masih kecil.

Anak-anak club renang tampak sudah selesai latihan dan saat ini hanya sedang melakukan peregangan. Dan di pinggir kolam, terlihat Bagas dan teman-temannya tengah bercanda bersama. Sampai cekikikan dan tertawa berbarengan.

“Kak Dimassssssssss!” teriakku seraya berjalan ke arah ketua OSIS dengan langkah cepat. Dan saat melewati Bagas, aku sengaja menyenggol tubuh cowok itu yang tengah berdiri di samping kolam sehingga tubuhnya yang sudah kering, kembali jatuh ke kolam dan tentu saja langsung basah kuyup.

“Kenapa Luna?” tanya Kak Dimas seraya mengerutkan keningnya bingung.

“Cuma mau bilang, kalo laporan kas OSIS udah gue kirim lewat email ya.”

“Oh, iya. Udah gue cek kok tadi pagi, gue udah konfirmasi lewat chat juga. Tapi lo, lho, yang nggak bales,” ujar Dimas yang sontak membuatku cengengesan.

Memang sih, Kak Dimas tadi pagi sempat mengirim pesan. Tapi karena nggak minat balesin WhatsApp, jadinya belum aku buka.

“Heh, kampret! Lo sengaja kan jatohin gue ke kolam?” seru Bagas seraya menyugar rambutnya yang basah ke belakang.

Aku membenci cowok ini sepenuh hati, tapi sungguh aku harus tetap mengakui kalau saat ini ... He's hot as hell. Tubuh pubertas seorang Bagaskara benar-benar berkembang dengan sempurna.

Aku mengalihkan pandangan dari Bagas karena itu membuatku gagal fokus. Lalu aku berdehem seraya berkacak pinggang. “Idih, kepedean banget! Nggaklah, gue ke sini kan mau ketemu Kak Dimas buat bahas soal kas OSIS. Lagian lo lemah banget sih, Gas! Masa kesenggol dikit aja langsung jatuh!”

“Kesenggol dikit kepalamu! Udah jelas lo sengaja dorong gue dari samping!”

“Idih nuduh-nuduh! Emangnya punya buktiiiiii?” tanyaku melotot seraya mendongak untuk menatap mata cowok itu.

Untuk beberapa saat kami hanya saling bertatapan dengan emosi yang terpancar di mata masing-masing.

“Ha-ha lo pikir gue percaya lo bakal repot-repot ke sini cuma buat laporan kas OSIS?” tanyanya sarkas, karena Bagaskara tahu sekali kalau aku pasti selalu mengirim laporan apapun yang berhubungan dengan OSIS lewat email.

“Hah? Kenapa nggak percaya? Toh buktinya gue ke sini? Lagian nggak usah lebay deh! Tinggal lo keringin lagi aja badan lo!” Aku mengambil handuk kering dari bahu Kak Dimas. Lalu melemparnya tepat ke kepala Bagas, hingga kini handuk itu menggantung di kepala cowok itu. Sampai menutupi seluruh wajahnya.

Setelah itu aku segera lari keluar area kolam renang sebelum Bagas menyingkirkan handuk dari kepalanya.

“Heh! Lunaaaaaaaaa! Awas lo nanti!” teriak cowok itu saat melihat aku sudah kabur lebih dulu sebelum cowok itu membalas setiap perbuatanku.

“Anjir! Gue nggak bawa sempak cadangan lagi! Masa gue ikut pelajaran pake sempak basah!” teriak Bagaskara yang sontak membuat aku ngakak parah.

Mampus! Makan tuh bapaoooooo! Makanya nggak usah nyebelin!

Lalu aku berjalan ke arah kelas seraya senyum-senyum sendiri seperti orang idiot. Seharian mood-ku hancur lebur, tapi setelah bertemu Bagaskara mood-ku jadi naik lagi.

Ternyata, mengganggu cowok itu seru juga.

Sesampainya di kelas, aku pun langsung berjalan ke mejaku. Dan keningku berkerut saat aku melihat bapao ayam ada di atas meja.

“Oh, Lun, tadi ada adik kelas dari club renang yang nganter itu. Tapi karena lo udah cabut, jadinya gue suruh taruh meja aja!” teriak Nila dari mejanya yang sontak membuatku mengangguk mengerti seraya bilang terima kasih.

Lalu aku melihat bapao yang ada di meja dengan tatapan bersalah. Haish, aku sama sekali tidak bisa mengerti seorang Bagaskara. Pikiran cowok itu benar-benar lebih rumit daripada labirin manapun.

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang