Chapter 08.

36.4K 3.4K 47
                                    

Hari-hari tentram berhasil dilalui oleh keluarga kecil yang sudah terusir dari desa tempat awal mereka tinggal. Alera sekarang sedang berada di area hutan bersama dengan Enzi. Ia berencana untuk mengumpulkan tanaman yang sekiranya bisa dibuat menjadi sabun.

Setelah dipikir-pikir lagi, Alera dapat membangun bisnis sendiri yaitu membuat sabun. Ya, memang Alera bukanlah penemu sabun, namun tidak apa-apa 'kan? Mengklaim hal tersebut demi kelangsungan hidup.

Beruntung, pada masa menginjak sekolah menengah atas, Alera pernah melakukan praktik membuat sabun melalui pelajaran kimia, baik yang alami maupun yang instan.

Tentu Alera memilih untuk membuat sabun menggunakan cara alami karena tidak mungkin ia bisa menemukan cairan kimia di sini. Ya, walau menggunakan cara alami tergolong lama. Tapi setidaknya hal tersebut membuahkan hasil.

Cukup jauh sepasang ibu dan anak itu mencari tanaman yang menjadi komposisi dalam membuat sabun, sehingga tanpa sadar mereka telah tiba di dekat desa.

"Kamu lelah, Enzi?" tanya Alera pada sang anak seraya berjongkok.

Anak laki-laki itu menggeleng. "Tidak, rasanya sangat seru. Seperti berpetualang," ujarnya riang.

Alera terkekeh kecil. Ia mengusap rambut halus sang putra. Meski tidak melahirkannya secara langsung, tapi Alera sudah sangat menyayangi anak ini.

"Enzi sayang Ibu yang sekarang!" Tiba-tiba Enzi memeluk tubuh sang ibu dengan erat sehingga sang empu tersentak kaget. "Ibu jangan pernah seperti dulu lagi. Tetap seperti ini..." lanjutnya lirih.

Meski kaget, Alera tetap membalas pelukan sang anak. Dapat ia rasakan baju lusuh yang ia kenakan menjadi basah. Tampaknya enzi menangis di dalam pelukannya membuat pelukan yang ia berikan mengerat. "Ibu tidak akan berubah," bisik Alera.

Enzi mendongak menatap wajah cantik sang ibu. "Janji?"

"Janji, Sayang."

Anak laki-laki itu tersenyum, membuat Alera turut tersenyum. "Mari kita pulang, sepertinya tanamannya sudah cukup."

Alera bangkit seraya menggandeng tangan sang anak. Saat mereka hendak melangkah, suara keributan yang sepertinya berasal dari desa, memasuki gendang telinga mereka. Sontak saja, Alera membatalkan niatnya dengan cara berbalik menuju desa.

"Kenapa itu, Ibu?" Alera menunduk menatap sang anak seraya menggeleng.

"Ibu juga tidak tahu," balasnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Alera dan Enzi berjalan semakin mendekati desa. Suara teriakan warga dengan bau-bauan terbakar semakin menusuk indra mereka.

"Ibu, Enzi takut," gumam Enzi.

Alera tak menjawab. Sejujurnya ia pun merasa sedikit takut dengan teriakan yang terdengar memilukan tersebut. Namun, rasa penasaran lebih tinggi dibandingkan dengan rasa takut yang tak seberapa itu.

Saat hampir keluar dari hutan, mata Alera terbelalak kaget melihat kondisi desa yang sudah kacau balau. Para orang asing dengan baju zirah tampak dengan beringas membantai para warga bahkan membakar rumah-rumah mereka.

"Ini... Kenapa?" batin Alera. Ia menyembunyikan tubuhnya di balik pohon begitupun dengan Enzi. Mengintip, itulah yang mereka lakukan saat ini.

"Hancurkan desa ini. Biarkan dia keluar dari persembunyiannya," ujar lantang salah satu dari mereka. Suara mereka terdengar dengan jelas di telinga Alera karena memang jarak mereka tidak terlalu jauh.

Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu menyipitkan matanya saat melihat lambang familier di baju zirah yang orang-orang itu kenakan. "Lambang kerajaan?"

Berbagai pertanyaan mulai bergelayut di benaknya. Ada apa dengan semua ini? Kenapa mereka membantai para warga serta menghancurkan desa ini? Alera benar-benar bingung.

Namun, Alera tidak ingin ambil pusing. Ia menggendong anaknya yang tampak telah menutup mata karena merasa takut. "Sayang, kita pulang saja," bisik Alera teramat pelan, agar tidak di dengar oleh prajurit-prajurit kerajaan itu.

Enzi sontak membuka matanya seraya mengangguk senang. "Ayo, Bu. Kita pulang," balasnya dengan berbisik pula. Ia cukup mengerti dengan keadaan saat ini.

Dengan hati-hati Alera berjalan menjauh, helaan nafas mulai keluar dari mulutnya saat merasa dirinya sudah aman dari para prajurit itu. Tetapi tampaknya ia salah, Alera tak sengaja menginjak ranting sehingga menimbulkan suara yang cukup nyaring.

"Siapa di sana!" teriak seorang prajurit membuat jantung Alera terasa seakan berhenti berdetak.

"Anjing!"

TBC.

Farmer's Wife (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang