Belilah Parfait Hanya di Cafe Eferbry, Terima Kasih

1 0 0
                                    

Hi! namaku Dante Lawrence. Umurku tujuh belas tahun seperti remaja kebanyakan. Aku sekolah, aku makan, aku nongkrong menyaksikan senja sembari meminum kopi. Aku menonton di bioskop saat waktu libur, pergi ke mall, mendaki gunung lalu foto di puncaknya dan upload di Instagram, dan tak lupa, aku juga memelihara beberapa ekor cupang di apartemenku.

Namun bedanya, aku adalah mantan pembunuh nomor satu di benua Tenggara ini. Sebutkan namaku di keramaian orang. Maka orang-orang akan saling pandang dan bertanya,

"Siapa orang itu?"

"Harga ikan ini berapa?"

atau,

"Saham di perusahaan ini sedang turun!"

Dan lain sebagainya.

Ingat!. Pembunuh!. Bukan diartikan tukang pukul!. Pembunuh terbaik ialah mereka yang identitas mereka tidak diketahui. Bagaimana seorang pembunuh dapat membunuh bila identitas mereka diketahui?---entah novel apa yang orang-orang baca sehingga seringkali  mengartikan pembunuh sebagai tukang pukul?---.

Kecuali kalian mengatakan satu kata "Wiro telah datang!". Itu tiga kata sih, intinya satu kata saja "Wiro!" ,cukup. Maka, jikalau orang-orang diantara keramaian orang itu ada pembunuh professional. Maka kakinya akan bergetar. Dan menodongkan senjata ke sekitar mereka. Bersiaga jikalau aku diantara kerumunan orang-orang. Kalau orang-orang biasa mereka akan menggaruk kepala mereka kebingungan.

Intinya, sekarang aku remaja normal. Seperti yang  kalian ketahui. Bukan sebagai manusia yang membantai satu desa dengan tatapan dingin (meskipun itu pernah kulakukan sih)

Walaupun tidak sepemuhnya normal, terkadang aku tidak bisa memahami manusia normal. Maksudku ngapain manusia harus melakukan hal ini atau ada sebuah kejadian yang dimana aku tidak tau bagaimana cara menghadapinya. Seperti contoh, seorang ibu-ibu sedang naik motor. Aku sedang naik sepeda di belakangnya. Dia sen kanan. Aku pun menurutinya. Namun aku justru mendapatkan sebuah nasihat "anak muda zaman sekarang gak punya adab". Dan aku hanya bisa diam.

Seperti sekarang, kalau dulu aku memang jarang bertemu dengan perempuan (meskipun iya, mungkin aku diutus untuk membunuhnya). Sekarang kita ada di kafe Eferbry. sedang duduk santai di sini.

"Aizel?, siapa orang yang menulis di surat setebal buku di sini?"

Seorang gadis mengenakan celana legging hitam dan baju lengan panjang berwarna coklat distro. Rambutnya sendiri ia ikat tali kepang dua. Yang membuatnya terlihat seperti seorang putri kerajaan yang memakai mahkota yang terbuat dari rambut. Rambutnya sendiri berwarna merah. Dia sedang membaca surat yang tebalnya seperti buku.

Sang mentari sedang di tengah lautan langit. Panasnya sangat membara mengingat kita di garis khatulistiwa. Kami berada di kafe Eferbry untuk mendinginkan badan. Sebuah kafe yang bernuansa Italia. Aku dan gadis itu sedang duduk berduaan berdua.

"Dia temanku saat dulu aku masih jadi pembunuh." sergahku.

Muka Sinta maju beberapa senti mendekatiku. Hendak memastikan. "Ih, masa?"

Aku mengangguk gugup.

Sinta memutar kedua bola matanya. kemudian dia kembali ke tempat duduknya. "Aku masih tidak mempercayainya. 'Pemuda Bermata Tidak Mau Hidup' di depanku ini seorang pembunuh nomor satu sebenua Tenggara."

"Terserahmu sih," Tanganku mengisyaratkan memanggil pelayan kafe. "Tetapi temanku Aizel ini. Menulis surat yang sangat-sangat detail sampai-sampai hampir seperti novel. Entah dia ngarang atau tidak. Anehnya lagi, dia bercerita di dunia yang benar- benar berbada dari kita. Mungkin dia hanya berkhayal? tetapi seingatku. Ia dulu tidak menyukai kisah-kisah penyihir."

Wiro And The Seven King Of DestructionWhere stories live. Discover now