31. KEPUTUSAN TERBAIK

992 90 37
                                    

Sore ini sepasang suami istri duduk di tengah-tengah hamparan pasir yang luas, dan tepat di hadapan mereka adalah laut lepas. Hembusan angin dan suara deru ombak membuat suasana kian terasa nyaman.

Pantai ini benar-benar sepi. Tidak ada orang selain sepasang suami istri itu, karena mungkin tepat wisata ini sudah lama di tutup. Walaupun sudah lama tutup, tak mengurangi keindahan pemandangan di sore ini.

Tadi pagi Reva sudah kembali ke Jakarta, dan Lina sudah berangkat ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Sore ini dirinya dan Zayyan memutuskan ke pantai untuk menenangkan pikiran.

"Mas Zayyan suka pantai?" tanya Sekar yang menyenderkan kepalanya di bahu Zayyan.

Tangan Zayyan bergerak mengelus lembut kepala Sekar yang tertutup oleh hijab. "Enggak."

"Suka senja?" tanya Sekar kembali.

"Enggak," jawab Zayyan.

Mendengar itu membuat Sekar mendongak dan menatap wajah Zayyan dari jarak dekat. "Jadi kenapa mau diajak ke sini?"

Laki-laki itu tersenyum tipis sembari menatap wajah perempuan di depannya. Ia mendekatkan bibirnya ke kening Sekar lalu menempelkannya sejenak.

"Karena kamu yang ajak, Mas."

"Kalo nggak suka 'kan bisa ngomong," ucap Sekar.

"Tadinya emang enggak terlalu suka. Tapi karena kamu suka, jadi Mas ikut suka," balas Zayyan jujur.

Mendengar itu Sekar tersenyum tipis, ia kembali menatap laut yang ada di depannya. Langit yang perlahan mulai berubah warna, dan senja yang terlihat jelas di depan mata.

Sekar menghela napas panjang, ia menutup matanya sembari merasakan elusan lembut di kepalanya. Sungguh dirinya merasa nyaman berada di posisi seperti ini.

"Mas Zayyan pengen Sekar ngerelain beasiswa itu?" celetuk Sekar tiba-tiba.

Hening.

Zayyan masih diam, tak ada sepatah kata yang keluar dari bibir laki-laki itu. Dirinya masih setia menatap matahari yang akan terbenam, karena tugasnya hari ini sudah selesai dan akan digantikan dengan bulan.

"Mas," panggil Sekar karena tak mendapat jawaban dari suaminya.

"Hm?"

"Mas pengen Sekar ngerelain beasiswa itu?" tanyanya kembali.

"Iya," jawab Zayyan mantap. Ia menyenderkan kepalanya di atas kepala Sekar yang ada di bahunya.

"Selama ini Mas selalu dukung keputusan kamu. Mas nggak pernah sekalipun menentang apa yang udah jadi pilihan kamu. Tapi kali ini aja nurut sama Mas, ya? Kalo kamu bilang Mas egois, enggak apa-apa, dan kali ini Mas memang egois. Bukannya Mas nggak dukung kamu buat ngejar cita-cita itu, tapi kalo di posisi ini Mas nggak bisa dukung kamu buat ngejar cita-cita kamu," kata Zayyan.

Memang benar selama ini Zayyan selalu mendukung keputusannya. Apa mungkin ini memang keputusan terbaik? Ia juga tidak bisa mengugurkan bayi yang ada di kandungannya karena anak ini tidak salah apa-apa.

"Kalau kamu memang tetap ingin mewujudkan keinginan kamu sama Bapak, kamu harus nunggu anak kita lahir. Setelah lahir kamu boleh melanjutkan pendidikan kamu, dan Mas akan membiayai semuanya sampai kamu menjadi seorang dokter. Syaratnya harus nunggu anak kita lahir," kata Zayyan kembali.

Sekar menghembuskan nafasnya panjang. Ia menegakkan tubuhnya lalu menatap Zayyan, ia tersenyum tipis sembari mengangguk. "Oke, aku bakalan ngerelain beasiswa itu. Tapi setelah anak ini lahir aku bakalan lanjutin pendidikan aku."

Zayyan tersenyum senang mendengar keputusan dari istrinya, ia mengangguk cepat. "Makasih udah mau nurut sama, Mas," ucapnya yang memeluk Sekar erat.

"Mas," panggil Sekar yang membuat Zayyan melepaskan pelukannya.

Promise MeWhere stories live. Discover now