Bab VIII

42.1K 2.3K 8
                                    

Bi iyem berlari keluar rumah dengan wajah panik. Qila yang sudah pucat setengah mati diseret tanpa perasaan. Berapa kali pun rintihan sakit Qila utarakan, ayah seolah tuli.

"Tuan... kenapa Neng Qila diseret begitu." Bi iyem menggosokkan kedua tangan, jalan terpogoh-pogoh dengan wajah menahan tangis. "Tolong dilepas tuan, neng Qila kesakitan."

"Minggir bi! Saya harus kasih pelajaran buat dia!"

"Bibi...." Qila meremas tangan Bi iyem meminta pertolongan.

Namun percuma saja Bi iyem tidak bisa membantu lebih. Qila tidak bisa mengorbankan pekerjaan Bi iyem hanya untuk membantunya. Ayah adalah pribadi tegas, dia tidak bisa goyah oleh siapapun.

Qila mengusap air mata yang mengucur deras, disaat seperti ini ayah akan tambah murka jika Qila menangis.

"Ternyata makin liar perbuatan kamu setelah masuk sekolah gak jelas itu!" Akbar mendorong Qila masuk ke dalam kamar kecil di loteng.

Kamar yang khusus dibuat sebagai tempat hukuman untuk anak-anaknya yang berbuat nakal. Naasnya Qila adalah orang yang selalu itu.

"Ayah... ayah aku bisa jelasin. Qila gak sengaja ayah... dia duluan yang ambil foto bunda. Dia ejek bunda. Aku gak terima bunda diejek."

Akbar tak memperdulikan rentetan kalimat yang Qila ucapkan. Di matanya Qila tetap salah, anak itu sudah membuat namanya malu. Sangat sangat malu.

"Belum cukup karena kebodohan kamu sampai masuk sekolah biasa. Sekarang kamu mau bikin ayah tambah malu karena kelakuan kriminal kamu!"

Qila menggeleng dengan air mata yang membanjiri wajahnya. "Enggak ayah... aku gak mau bikin ayah malu. Aku pengen bikin ayah bangga. Ayah tolong... maafin Qila."

Akbar bersidekap dada merasa pusing dengan kelakuan Qila yang selalu salah di matanya. "Kamu ini bocah SD atau apa? Kenapa kamu gak pernah pake otak saat lakuin sesuatu. Kamu gak mikir gimana jadinya anak itu kalau sampai buta! Kamu mikir sampai sana enggak Aquila!"

Qila bergetar mendengar bentakan demi bentakan yang ayah lontarkan. Sampai kapanpun ia tak terbiasa berhadapan dengan ayah.

Setiap kali Qila ingin membela diri, perkataan itu selalu tersangkut di tenggorokan. Qila tersiksa karena tidak bisa membela dirinya sendiri.

"Kamu gak liat saudaramu yang lain? Mereka berprestasi! Bukan biang onar seperti kamu. Apa yang bisa ayah harapkan dari anak seperti kamu? Ayah cukup lunak membiarkan kamu memilih SMA itu."

"Tapi-"

"-Jangan potong ucapan ayah saat sedang bicara!" Qila tersentak lalu kembali menundukkan kepala.

"Kamu ini perempuan tapi tingkahmu lebih brutal daripada saudara laki-lakimu yang lain. Harus berapa kali ayah marah sama kamu!"

Ayah jarang sekali berbicara dengan Qila. Setiap kali bicara panjang pasti saat memarahinya seperti ini.

Badan Qila bergetar ketakutan, dia meremas roknya dan sesekali menghapus air matanya yang jatuh.

"Kalau sudah begini kamu cuma bisa nangis nangis dan nangis. Kamu kira dengan bertindak ceroboh seperti itu masalah akan selesai? Hanya karena masalah sepele kamu jadi seperti hewan liar! Memalukan!"

Dada Qila menyempit saat ayah mengatakan bahwa foto bunda yang menjadi bahan ejekan itu adalah masalah sepele. Qila mendongak menatap wajah ayahnya dengan raut tak percaya.

"Hanya? Apa bunda emang seremeh itu di mata ayah?"

Akbar mengusap wajahnya kasar. "Jangan menambah masalah Aquila."

Paradise (Segera Terbit)Where stories live. Discover now