Sang Shazin - Ther Melian Fan Fiction

671 32 11
  • Dedicated to Shienny Megawati Sutanto
                                    

Namaku Karth. Aku adalah anggota Shazin, sebuah klan pembunuh gelap yang juga adalah pasukan elit di Legiun Falthemnar.

Walau menjadi Shazin bukan pekerjaan terhormat, aku terus menjalaninya bertahun-tahun penuh pengabdian. Prinsipku, siapapun yang terbukti adalah sumber masalah atau bahaya di Negeri Elvar harus dilenyapkan.

Jadi di sinilah aku, berkelebat nyaris tanpa suara, searah dan seiring hembusan angin. Melompati pohon demi pohon seperti kera, kadang berayun di akar-akar rambat yang bergelantungan. Sosokku yang tinggi, ramping dan cukup berotot membuat gerakanku lebih lincah dan lentur. Rambut kelabuku yang panjang berikat berkibar bagai ekor rubah.

Di Hutan Telssier ini, tiap batang dan daun pepohonan, semak-belukar, tiap ceruk tanah, aliran air dan pergerakan udara kumanfaatkan agar selalu tersamar tiap saat. Walhasil, makhluk manapun akan sulit mengenali sosokku, mendengar gemersik gerakku, bahkan bau tubuhku.

Tak terkecuali sasaranku kali ini, seorang pria parobaya yang berdiri seorang diri di tepi telaga. Ia berkumis tebal, mengenakan bandana, sepasang anting besar dan rompi bersulam. Matanya tampak berkaca-kaca, sepenuhnya tertuju pada sebuah pusara tak jauh dari batas air.

Saat berikutnya, terdengar suara lembut pria manusia itu. “Ayah datang lagi, Lyra. Tak terasa, sudah bertahun-tahun sejak kau beristirahat selama-lamanya…”

Sang ayah tak mampu lagi menahan air matanya yang membuncah.

“Ya, Lyra, selama itu pula waktu serasa terhenti. Ayah tahu, ayah harus merelakanmu, seperti halnya ibumu saat penyakit merenggutnya. Saat ternyata kau menyusul ibumu, hati ayah hancur luluh. Bahkan suamimupun hilang tak tentu rimba.

Kini ayah sudah lelah, Lyra. Lelah. Ayah tak tahan lagi hidup tanpa keluarga tercinta. Katakanlah, Lyra, ayah harus bagaimana?”

“Mudah saja. Jangan bergerak dan sambutlah kematianmu, Olaf.” Kata-kata itu meluncur dari bibirku sederas tubuhku yang terjun dari pohon terdekat. Belatiku terayun, siap mengiris leher calon korbanku itu.

Tak kusangka, Olaf malah membenturkan kepalanya pada kepalaku persis di belakangnya. Kakiku tersurut mundur dua langkah, kepalaku pening bukan kepalang.

Olaf menghunus sebilah pedang pendek dan berseru, “Jadi kau ingin mengantarku ke akhirat? Hmm, setahuku aku tak punya musuh.”

“Kau punya, Olaf,” jawabku tenang. “Jangan tanyakan siapa, karena aku takkan mengatakannya.”

“Tak masalah,” tanggap Olaf sambil menepuk dada. “Ambil nyawaku, kalau bisa.” Pria kekar itu maju sambil menyabet-nyabetkan pedangnya.

Dengan lincah aku berkelit ke samping, sepenuhnya menghindari terjangan. Tiba-tiba Olaf memutar tubuh sambil bertumpu pada satu kaki, sabetan pedang deras menerpa ke arah tubuhku.

Aku bereaksi dengan mundur menghindar. Sebagian daya sabetan ditahan baju kulitku, sebagian menggores dadaku.

Baik, saatnya main keras. Kuhunus senjata andalanku, pedang berbilah tipis yang membelit pinggangku bagai sabuk. Pedang lembut ini lantas kugerakkan meliuk-liuk bagai ular. Olaf berusaha menangkis, namun lebih banyak ujung pedangku mematuki tubuhnya daripada yang berdenting di bilah pedang si gipsi.

Mulai putus asa, Olaf dengan nekad mengulurkan tangannya, menangkap bilah pedang lembut.

“Bodoh, kaukira semudah itu merebut senjataku?” Kuhentakkan tanganku, kutarik pedang sekuat tenaga. Tanpa disadari lawan, pedang lembut tiba-tiba terulur makin panjang. Bilah-bilahnya terbagi-bagi, setiap bagiannya tersambung dengan semacam benang.

“Waktunya kau mati.” Secepat kilat aku bergerak memutar, membelitkan bilah pedang cambuk ke sekujur leher Olaf. Terkesiap, Olaf berusaha melepaskan pegangan pada bilah pedang, namun terlambat. Wajah tegangnya mengendur, berganti senyuman damai.

SANG SHAZIN dan Hikayat Alam FantasiWhere stories live. Discover now