Bab 1: Sahabat Rasa Pacar

4.6K 98 38
                                    

BAGIAN 1: Donie

Kebun karet bukan sekadar deretan tanaman. Ia menyimpan sebuah cerita. Menyimpan suatu dunia. Di antara daunnya yang berguguran, ada sehimpunan pengalaman yang tak terlupakan. Bergerak dan berlari di antara deretan pohon. Memukul ranting dan menerbangkan daun-daunnya. Memanjat dan bergelantungan di dahannya.

Aku akan selalu ingat masa-masa itu, ketika masih kecil dahulu. Ketika awan-awan bergerak di atas pucuk-pucuk karet yang memerah. Ketika berjalan di antara batang karet yang simetris. Saat mengambil getah dari mangkuk-mangkuk kecil yang menempel di batang pohon. Terkesima melihat getah segar putih susu yang merembes setetes demi setetes dari irisan kulitnya.

Saat ini aku seperti mengulang kenangan bertahun-tahun silam. Berdiri di tengah hamparan kebun karet yang melengkung membentuk terowongan. Mengagumi berkas-berkas cahaya matahari senja yang menembus celah-celah daun. Namun, semua keindahan dan kenangan itu seakan sirna saat Tiara melayangkan pandangannya padaku. Aku pura-pura tidak melihat pandangan menyeramkan seperti Medusa itu. Pura-pura memasang wajah polos tanpa dosa adalah pilihan terbaik untuk situasi ini. Sebisa mungkin jangan menatap matanya. Jangan pernah!

“Jadi sekarang gimana? Bagaimana sampai ke desa? Apa kau mau menyuruhku jalan kaki?” sembur Tiara marah. “Berhenti pura-pura memperbaiki. Aku tahu kau nggak bisa. Emangnya sejak kapan kau bisa memperbaiki benda seperti ini? Seorang sarjana agroekoteknologi coba-coba jadi sarjana teknik mesin? Yang ada, sepeda itu makin rusak!”

“Memperbaiki yang beginian sih, gampang. Sebentar lagi juga selesai.” Aku masih berkutat pada rantai sialan yang tiba-tiba putus. Padahal mau mengajak berkeliling sambil menikmati keindahan tempat yang terletak di salah satu Kecamatan Rimbo Bujang ini. Menikmati eksotis aliran Sungai Batanghari yang menjadi sungai terpanjang di Sumatera.

Aku menengadahkan kepala menatap matahari yang kira-kira satu jam lagi akan terbenam. Memandang pasrah pada jalan tanah kuning berdebu yang diapit pohon-pohon karet. Lengang. Tidak ada manusia yang terlihat. Lebih parahnya lagi kami sama-sama pendatang baru.

“Nggak usah memperbaiki sepeda itu lagi. Membuang waktu. Sebaiknya kita jalan kaki sebelum gelap.” Tiara mengembuskan napas kesal sambil memandang perkebunan karet.

“Tunggu sebentar lagi. Sepuluh menit lagi, oke?” Aku membalikkan sepeda sehingga posisinya bertumpu pada sadel dan setang, kemudian menatap derailleur—pemindah gigi—dengan bingung. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya agar rantai itu bisa masuk pada posisi semula.

“Don, apa kamu mau kita bermalam di sini? Lihatlah sekeliling ….” Tiara mengedarkan pandangan ke deretan batang karet lurus yang berjejer rapi. Batangnya berwarna putih keabuan serta bercabang di bagian atas, mirip barisan korek api yang tersusun tegak.

Aku memandang Tiara dengan kening berkerut. Hendak membuka mulut untuk bicara, tapi segera menutupnya kembali. Percuma saja berdebat dengan gadis yang selalu benar itu. Membuang waktu dan tenaga. “Semuanya berantakan karena sepeda ini!” Aku mendorong sepeda dengan kesal.

Tiara melotot nyaris melontarkan biji matanya. “Jangan salahkan sepeda itu! Salahkan dirimu! Bukankah Kakek udah sarankan pakai motor, tapi kau ngotot dan lagak sok romantis pakai sepeda.”

Aku mengikuti gadis dengan rambut dikuncir itu melintasi bayangan di antara batang karet yang kelabu. Sesaat, aku membalikkan tubuh, memandang sepeda pembawa sial itu. Ragu-ragu untuk membawanya kembali, karena akan menambah beban saja. Beban perasaanku saja sudah berat, apalagi beban sepeda tua itu.

“Apakah aku harus membawa sepeda itu?” tanyaku dengan super dungu yang segera kusesali ketika kata itu terloncat dari sela-sela gigiku.

Tiara langsung membalikkan tubuh dengan punggung kaku dan dagu terangkat, seperti peran antagonis di serial India. Alis kanannya melengkung, bibir terkatup rapat, serta mata nyalang menohok langsung pada mataku. Kali ini kubalas tatapannya sambil memamerkan senyum terbaik. Dia pasti luluh seperti biasanya.

Part-Time HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang