P r o l o g

122K 6.9K 83
                                    

"Kamu serius? Tapi, kenapa? We were doing great! Apa aku buat salah sama kamu?"

Lelaki itu bungkam dan menunduk penuh rasa bersalah. Ia tak mampu menatap wanita di hadapannya sama sekali. "Maaf. Aku kira aku bisa melupakannya dengan bersama kamu. Ini sepenuhnya kesalahanku."

Wanita itu tertawa getir sambil memandangi pria yang ia cintai, tatapannya sarat akan rasa sakit. "Dia yang namanya tanpa sengaja selalu kamu sebut?"

Hening, tapi itu cukup sebagai jawabannya.

"Kita udah pacaran satu tahun lebih! Gak adakah posisi aku di hatimu? Sedikit saja.... Aku cinta kamu."

"Maaf, Na. Aku hanya akan membuat kamu sakit. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik."

"Tapi, yang aku cinta itu kamu, Yan!" Wanita itu menatapnya terluka. "Sedikit saja. Apa kamu bener-bener gak bisa buka hati untukku? Demi satu tahun lebih yang udah kita jalani bersama."

Lelaki itu menggelengkan kepala penuh penyesalan. "Kamu hanya akan merasa sakit, Na. Percaya sama aku. Kamu akan menemukan seseorang yang lebih baik." Hatinya dihantui rasa bersalah selama berbulan-bulan ketika ia mulai menyadari bahwa perasaannya untuk wanita di hadapannya ini tidak lebih dari rasa peduli terhadap teman.

Memikirkan wanita ini tidak membuatnya diam-diam tersenyum.

Memikirkan wanita ini tidak membuat perutnya dipenuhi sensasi aneh.

Memikirkan perempuan ini hanya membuatnya nyaman. Hanya itu. Dan itu tidak cukup. Hatinya telah dimiliki oleh wanita lain sejak lama.

Bodohnya lelaki itu. Ia pikir, dengan menjalin hubungan dengan wanita lain akan membuatnya lupa pada sosok di masa lalu.

Lelaki itu bahkan sudah tidak pernah melihat wanita yang berada di hatinya selama berbulan-bulan. Mereka tidak pernah dekat. Namun, ajaib sekali efeknya. Dahsyat, terasa hingga sekarang.

Obsesi itu masih ada.

"Maaf, Na. Kita harus berhenti di sini. Semoga suatu hari, kamu bisa memaafkanku."

Lelaki itu menginjak pedal gas, meninggalkan wanita yang tengah terisak di depan rumahnya sendirian.

*****

"Gimana percobaan ujian kamu? Bagus hasilnya?"

Gadis remaja itu mengangguk antusias dan menunjukkan hasil ujian percobaannya dengan bangga. "Ranking tiga di kelas, Ma!" ujarnya bersemangat.

"Wah, hebat sekali anak Mama!"

"Iya, dong!" Gadis itu sumringah. Ia bersyukur, dalam keadaan seperti ini pun, ia masih bisa membanggakan wanita hebat yang sangat ia sayangi itu. Namun, senyuman di wajahnya harus diganti dengan rona merah malu ketika perutnya berbunyi nyaring.

"Aduh! Mama lupa memberi kamu bekal tadi pagi, ya?" Wanita itu menepuk jidat. "Ayo, makan sekarang! Mama gak mau kamu kelaperan."

Gadis itu hanya nyengir sambil mengikuti ibunya dengan semangat ke dapur.

Tak lama, seporsi telur dadar tipis dan mie goreng telah tersaji. Wanita itu meletakkan dua piring nasi putih yang masih mengepul di meja. "Makan ini aja gak apa-apa, kan? Mama belum ada pesanan katering lagi belakangan ini."

Raut rasa bersalah terlihat jelas di wajahnya yang tampak lebih tua dari aslinya karena banyak pikiran. Belum adanya pesanan katering bulan ini membuatnya belum bisa menyediakan makanan yang bergizi di rumah. Jangankan makanan bergizi, satu bungkus mie dan sebutir telur pun harus mereka bagi dua supaya persediaan makanan mereka cukup sampai akhir bulan.

"Gak apa-apa, Ma." Gadis itu tersenyum sambil mencuci tangan, lalu bergabung dengan ibunya di meja makan. "Ini juga cukup, kok! Apa lagi Mama yang masak. Beuh.... Enak!"

Wanita tua itu tertawa pelan melihat gadis remajanya makan dengan lahap. Dirinya merasa lega dan bersyukur memiliki putri yang sangat paham akan keadaan. Putrinya tidak pernah mengeluh jika ia harus ke sekolah jalan kaki. Atau hanya berbekal nasi dari rumah. Bahkan, kadang ia tidak memiliki uang saku sama sekali. Segala keterbatasan mereka tidak dijadikan alasan untuk terpuruk.

Dengan menu sederhana, siang itu mereka makan dengan khidmat.

***

Revisi

24 April 2021

ZelianWhere stories live. Discover now