Pagi harinya, Calista deman.
Ya, tentu saja dia demam. Setelah basah kuyup karena diceburkan ke air kolam yang dingin di malam hari—terlebih ia mengenakan pakaian mini yang membuat embusan angin mengenai kulitnya langsung hingga ia masuk angin. Dan tersangka utama yang sudah membuatnya terbaring lemah tak berdaya seperti ini tidak lain dan tidak bukan adalah Steven-fucking-Bennet. Si sialan itu selalu berhasil membuat kepala Calista beruap karena emosi.
"Lemah."
What the—
Bisa-bisanya Steven mengatainya lemah setelah apa yang pria itu lakukan terhadap Calista semalam.
Boleh tidak, Calista menendang Steven ke balkon hingga tubuh pria itu jatuh dan hancur sekalian?
"Pergi," usir Calista lalu menyembunyikan seluruh tubuhnya di dalam selimut tebal.
"Begitu saja kau sudah marah." Steven menarik paksa selimut yang menutupi seluruh tubuh Calista. Membuat gadis itu mengerang kesal.
"Apa lagi?"
"Bangun. Siap-siap untuk kuajak menghadiri pertemuan di Osaka setelah ini."
Sumpah demi apa pun, Calista ingin mengirim Steven ke neraka sekarang juga.
"Matamu kelilipan tahi cicak, ya? Kau tidak lihat aku sedang sekarat? Ini juga karena ulahmu semalam, sial!" makinya.
"Dan lagi, kau kira jarak New York ke Osaka sama dengan jarak Trinity Church ke Charging Bulls? Benar-benar tidak waras," sambung Calista. Menyindir Steven yang seenaknya mengajak Calista ke Osaka Jepang yang jaraknya sangat amat jauh dari sini.
Sekadar pemberitahuan, Trinity Church adalah sebuah gereja paroki bersejarah di kawasan Wall Street, sementara Charging Bull adalah sebuah patung banteng yang ada di kawasan Wall Street pula. Setiap Calista ke Trinity Church pasti mampir ke Charging Bull juga karena jaraknya sangat dekat; sekitar 5 menit kalau jalan kaki.
"Naik jet pribadi tidak akan memakan waktu lama," balas Steven.
"Masa bodoh!" Calista mencoba menarik kembali selimutnya, namun selimut itu ditahan oleh Steven.
"Please, jangan menambah dosaku dengan membuatku memaki-maki dirimu lagi," sambungnya lelah.
Tangan Steven melepas ujung selimut tersebut, dia membalas serius, "Dua puluh menit lagi kau harus sudah siap. Kutunggu di luar. Kalau kau tidak kunjung datang akan kuseret kau paksa."
"Bangsat," umpat Calista pelan sambil memaksa senyum samar.
Steven tidak peduli lagi. Pria itu segera berbalik badan dan melangkah keluar. Meninggalkan Calista yang rasanya sudah ingin membakar seluruh mansion terkutuk ini, sekalian ia bakar bersama pemiliknya.
÷÷÷
"Aku tidak berniat memberikannya kepada siapa pun." Steven berkata serius di tengah-tengah pertemuannya dengan beberapa pimpinan mafia dari beberapa negara tersebut.
"George sudah sepakat untuk menjual berlian tersebut kepadaku," balas orang bermata sipit, tak kalah serius.
"Itu George, bukan aku," katanya sambil geleng pelan.
"Aku akan membelinya dengan harga dua kali lipat." Kali ini giliran orang berdarah Amerika Latin yang menawar.
"Sudah sangat jelas aku katakan, aku tidak akan memberikannya kepada siapa pun, dengan harga berapa pun," tegas Steven, membuat beberapa pimpinan lainnya merapatkan bibir.
Untuk ukuran pemimpin baru yang juga baru pertama kali menghadiri pertemuan tersebut, Steven bersikap cukup berani. Bayangkan saja, dia yang paling muda di sini, namun dengan arogansinya ia menolak mentah-mentah tawaran dari mereka untuk menjual berlian yang ternyata masih ia simpan.
"Bisa bicarakan topik lain?" tanya Steven sambil melirik pada salah satu dari mereka. "Kalian pasti belum tahu mengenai terbakarnya kebun ganja Tuan Takashi yang ada di kawasan Himayala India Utara. Menurut laporan anak buahku, ladang tersebut memang sengaja dibakar."
Steven masih melirik pada Takashi yang tampak terkejut mengapa Steven bisa mengetahuinya.
"Bagaimana Tuan Takashi? Apa kau sengaja membakarnya supaya kami ikut rugi karena sudah terlanjur investasi besar-besaran kepadamu?" tambah Steven.
Yang lain ikut menunggu jawaban Takashi yang kini mencoba untuk tetap tenang.
"Bukan aku yang sengaja membakarnya, tapi istriku. Dia mengirimkan orang-orangnya untuk melenyapkan seluruh ganja tersebut, tanpa sisa. Dan alasannya benar-benar mengejutkanku."
"Apa?"
"Istriku ingin aku bertobat dan menjadi pemuka agama, menjadi penjaga di kuil dewa. Itu karena ramalan yang berkata bahwa aku akan segera mati. Hahah, menggelikan sekali. Tapi, yah, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan istriku membakar ladang ganja itu. Kalian tahu? Aku tipe suami yang akan melakukan apa pun untuk membahagiakan seorang istri, disuruh meninggalkan bisnis gelap ini pun akan aku turuti. Dan sepertinya setelah dari sini aku benar-benar akan jadi pemuka agama dan hidup sederhana, hahah."
Yang lain masih memasang wajah serius, membiarkan Takashi tertawa sendirian sambil berandai dirinya hidup sederhana menjadi penjaga kuil dewa. Berikutnya Takashi berdeham, kembali menjaga sikap.
"Tenang saja, aku akan mengembalikan investasi kalian semua," tuturnya.
Pembahasan kembali berlanjut, dan baru selesai ketika hari menjelang sore. Sebelum keluar, Steven mendekat kepada Takashi dan berbicara pelan, hampir berbisik.
"Apa yang biasanya kau lakukan untuk menyenangkan hati istrimu?"
"Kau mau menikah?!" tanya Takashi senang, tidak sadar bahwa suaranya terlampau keras hingga didengar oleh beberapa orang.
"Maaf," ucapnya setelah tahu Steven mendengus kasar.
"Karena dia orang religius, aku sering mengajaknya keliling dunia untuk melakukan wisata rohani dan beribadah di berbagai kuil yang kami kunjungi. Saranku untukmu, berikan apa yang menjadi kesenangan calon istrimu. Tanyakan apa kegemarannya."
"Makanan," gumam Steven.
"Apa?"
"Dia suka makan."
"Mau aku rekomendasikan tempat yang menjadi surganya makanan di Osaka?"
"Di mana?"
"Dotonbori."
"Hm, baiklah."
"Dan saat sudah di sana, kau wajib mencoba takoyaki dan kushikatsu, itu makanan paling populer di sana."
Steven hanya mengangguk.
"Oke, selamat bersenang-senang. Kudoakan semoga sukses saat melamarnya," pungkas Takashi lalu berlalu pergi.
Steven tersenyum samar. Melamar?
Bahkan dia masih sangat gengsi untuk menyatakan bahwa dirinya telah jatuh cinta pada Calista.
÷÷÷
"Menunggu lama?"
Calista yang awalnya duduk di sebuah bar table sambil menikmati segelas tequila itu menoleh dan mendongak pada Steven.
"Tidak. Hanya sekitar empat jam."
Calista menciptakan senyum yang ia buat-buat, lalu dalam sekejap kembali memasang wajah kesal.
"You look so damn pretty."
Calista yang pada hari ini memakai A-line dress berwarna hitam kontras dengan warna kulitnya itu bangkit dari duduknya. Menatap tepat pada manik Steven. Kemudian menarik dasi pria itu hingga wajah Steven hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya sendiri.
"Katakan sekali lagi."
"Tidak ada pengulangan, Nona Lim."
"Kalau mau mengatakannya lagi, aku punya hadiah untukmu," bisik Calista.
"Apa hadiahnya?"
"Katakan dulu."
"Apakah harus?"
"Iyaaa."
"Kau terlihat sangat cantik."
"Louder."
"Jangan melunjak."
"Maaf, hadiahnya hangus kalau begitu," kata Calista sambil melepaskan tangannya dari dasi Steven lalu melipat tangan di dada.
"Oke."
Steven menghela napas dalam, lalu berkata kencang, "You look so fuckin’ beauty, Miss Calista Lim!"
Calista puas mengetahui orang-orang serempak menoleh dan mengalihkan atensi kepada Steven. Tentu saja, Steven malu, dan Calista cukup senang mengetahui itu.
Steven mendesis pelan, "Kau sengaja membuatku malu ternyata. Sekarang, mana hadiahku?"
"Hadiah apa?" Calista pura-pura tidak ingat.
"Jangan mempermainkanku, Calista."
"Iya-iya, aku bercanda."
Calista membuka sling bag yang menggantung di pundaknya, mencari sesuatu di dalam tas kecil tersebut.
Sambil menyerahkan jimat yang ia dapat dari tempat ibadah, Calista berkata, "Bawa terus jimat itu bersamamu supaya setan yang ada di tubuhmu kepanasan dan akhirnya memilih keluar."
"Apa?" tanya Steven dengan mulut terbuka sambil melihat jimat di tangannya serta Calista bergantian.
"Tapi kalau tidak berhasil ya berarti kau sendiri setannya." Lalu berlalu menuju keluar, meninggalkan Steven yang sudah mengeluarkan uap panas karena emosi.
"Calista Lim, kubunuh kau!"
-
double up-nya hari ini, tepatnya jam 12 WIB nanti
pantau yaa ❤