Wonwoo sedang duduk di sebuah kursi di dalam sebuah ruangan yang lumayan besar. Ruangan itu terbagi dua dan bersekat-sekat. Selain itu dibatasi oleh kaca transparan yang terlihat sangat tebal. Sudah hampir sepuluh menit pemuda bermata biru itu duduk di sana di salah satu bilik. Mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan yang sedikit membuatnya penasaran.
Hingga tidak lama kemudian, dari kaca yang ada di depannya dapat ia lihat dua orang pria baru saja muncul dari balik pintu besi di sana. Seorang yang tampak gagah dengan seragam sipir, sedangkan satu orang lain tampak renta dengan baju dan celana dengan warna senada yaitu biru, lengkap dengan beberapa kombinasi angka yang tertempel di dada sebelah kirinya. Pria itu terlihat terkejut ketika melihat kedatangan Wonwoo. Pun dengan Wonwoo. Lagi-lagi mata birunya tampak indah karena air mata yang sudah menggenang di sana.
"Appa!" seru Wonwoo ketika pria yang sudah beruban itu telah duduk di kursi yang ada di seberang biliknya.
Jeon Seong Hun. Iya, benar. Yang sedang ditemui oleh Wonwoo siang ini memanglah sang ayah. Pria yang juga berkaca-kaca itu lalu meraih gagang telepon yang ada di depannya. Menempelkannya ke telinga dan mengucapkan sesuatu sesaat setelah Wonwoo melakukan hal yang sama.
"Wonwoo-ya?" Suara itu terdengar berat dan bergetar. Wonwoo yang akhirnya bisa mendengar suara sang ayah setelah sekian lama pun tidak bisa lagi untuk menahan tangisnya. Meskipun tanpa isakan, tapi terlihat sangat menyayat hati siapapun yang melihatnya. Terlepas dari semua yang sudah terjadi, perasaan rindu yang sangat mendalam tentu tidak bisa ditutupi begitu saja oleh Wonwoo dan ayahnya, Seong Hun.
Butuh beberapa waktu untuk keduanya menstabilkan perasaan masing-masing. Hanya saling tatap dalam diam. Wonwoo mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
"Appa, waegeurae?" Wonwoo mulai membuka pembicaraan. Suaranya lirih dan masih sedikit bergetar. Ekspresi wajahnya pun kini berbeda. Sama sekali berbeda dari pertama kali tadi ia melihat wajah sang ayah. Sekarang sedikit lebih datar dan juga dingin.
"Wonwoo-ya,"
"Katakan padaku jika semua yang aku dengar itu tidaklah benar, Appa! Kumohon!" Wonwoo mulai menaikkan nada bicaranya. Air matanya pun kembali membasahi kedua pipinya yang bahkan belum kering.
"Mianhae, Adeul. Maafkan ayahmu ini." Seong Hun tertunduk. Ia sangat malu atas apa yang sudah dilakukannya selama ini. Air mata pria itu juga mengalir deras di wajahnya yang mulai berkeriput.
Seong Hun yang tidak mungkin lagi bisa berbohong kepada Wonwoo, akhirnya mulai menceritakan semuanya secara detail. Bagaimana semuanya bisa terjadi seperti ini. Seong Hun menjelaskan semuanya. Wonwoo yang mendengarkan, tidak berucap barang sekata. Tidak ingin memotong, hanya ingin mendengar. Karena memang sekarang ini yang ia butuhkan hanyalah sebuah penjelasan.
"Appa benar-benar menyesal, Wonwoo-ya. Seharusnya appa menanggung semuanya sendiri, tapi appa malah membuat kau dan ibumu menderita seperti ini. Mianhae, jeongmal mianhae, Wonwoo-ya." Ujar Seong Hun di akhir ceritanya. Tangisnya tidak putus-putus saat bercerita. Terdengar sesak tidak hanya di telinga, namun juga di hati.
"Benar. Seharusnya appa yang mati, bukannya eomma!" tukas Wonwoo dengan mata yang tajam. Seong Hun menatap sang putra nanar. Membiarkan Wonwoo melampiaskan kemarahan dan kekecewaan yang dirasakannya selama ini. Karena bagaimanapun memang sudah seharusnya ia mendapatkan perlakuan seperti itu. Toh, ia juga sudah memprediksi dan siap dengan semua ini. Hingga ketika ia menyadari sesuatu yang aneh terjadi pada diri Wonwoo. Ia memicingkan matanya ketika jelas melihat kedua mata Wonwoo yang berkilat indah.
"Won-woo-ya, a-apa yang terjadi dengan matamu?" Seong Hun tampak terkejut dengan hal yang baru saja dilihatnya. Ia memang sudah mendengar dari Bibi Cha tentang perubahan mata Wonwoo itu, tapi ia tidak menyangka jika hal itu benar adanya. Ditambah lagi, mata biru itu berkilat sangat cantik tadi.
"Ah, benar juga. Apa appa juga tahu aku begitu menderita dengan berubahnya mataku ini?! Apa appa tahu, aku sama sekali tidak bisa hidup tenang karena ini?!"
"Wonwoo-ya, mianhae. Appa-ga mianhae."
Wonwoo menunduk. Rasanya ia sudah tidak kuat lagi. Dadanya sangat sesak karena terlalu banyak menangis. Bahkan tangan kanannya yang sedari tadi memegang gagang telepon yang menghubungkannya dengan ayahnya itu, mendadak lunglai dan jatuh begitu saja di meja saking lemasnya ia sekarang. Sedangkan ayahnya kini sedang menatap dirinya dengan tatapan penuh penyesalan. Pria itu tidak tahu lagi harus bagaimana untuk mengutarakan penyesalannya. Dan tanpa disadari oleh keduanya, sosok roh Hoshi sudah berdiri di belakang Wonwoo hanya selang beberapa detik kilatan di mata Wonwoo muncul. Menatap ayah dan anak itu dengan wajah tanpa ekspresi. Namun tidak lama kemudian, roh Hoshi pun menghilang dalam sekejap.
Setelah kembali menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, Wonwoo kembali mengangkat kepalanya dan mulai menatap ayahnya lagi. Menghapus kasar air matanya dengan sisi tangannya yang lain. Baru kemudian kembali menempelkan gagang telepon itu di telinganya.
"Appa belum menceritakan satu hal terakhir, bukan?" tanya Wonwoo dengan nada yang sudah menurun, namun masih tegas di setiap kata yang dikatakannya. Seong Hun yang mendengar itu sedikit tersentak. Mengernyit dan menatap sedikit kebingungan pada Wonwoo. Tatapan mata itu seolah sedang menyiratkan sebuah pertanyaan yang ditujukan untuk putra satu-satunya itu. Hingga beberapa detik kemudian ia teringat oleh suatu hal.
"Wonwoo-ya, itu-"
"Appa tidak bermaksud untuk menyembunyikannya dariku, kan?" tanya Wonwoo lagi yang memotong kalimat yang hendak diucapkan sang ayah. "Siapa orang yang juga menjadi korban atas kecelakaan yang appa buat, eoh?"
"Itu,"
"Katakan, Appa! Setidaknya biarkan aku mengatakan permintaan maaf dan penyesalanku untuk orang tersebut, Appa. Jebal. Katakan padaku siapa orang yang appa sebutkan juga mengalami koma itu, Appa!" Untuk kesekian kalinya, Wonwoo tampak tidak bisa mengontrol emosinya. Membuat Seong Hun yang sudah renta itu semakin merasa tertekan. Menelan ludahnya beberapa kali karena bingung harus berkata apa dan bagaimana.
"Baiklah, Wonwoo. Appa akan mengatakannya. Tapi appa mohon, tenanglah. Appa tidak bisa melihatmu seperti ini, Wonwoo-ya."
"Kalau begitu, katakan. Agar penyesalanku ini bisa sedikit berkurang, Appa." Wonwoo mengatakan itu sembari meremas kuat pakaiannya di bagian dada. Sesak. Sangat sesak.
"Dia-"
***
Wonwoo keluar melewati pintu besi itu dengan langkah gontai. Wajahnya sudah pucat, sembab, lengkap dengan kedua mata yang terlihat bengkak karena terlalu banyak menangis. Langkah Wonwoo akhirnya membawanya sampai di sebuah pemberhentian bus yang tidak jauh jaraknya dari rumah tahanan tempat di mana ayahnya dipenjara. Tidak butuh lama ia menunggu, sebuah bus tiba di halte tersebut. Wonwoo pun naik dan seperti biasa memilih tempat duduk di pojok paling belakang. Menyandarkan kepalanya ke dinding bus dan menutup matanya. Ia tampak sangat tidak bersemangat.
Setelah beberapa waktu menaiki bus, Wonwoo pun sampai di halte terdekat dengan tempat tujuannya. Bukan di rumah sakit Seoul, melainkan rumah Bibi Cha. Wonwoo pun tidak langsung pergi dari sana. Setelah turun dari bus, ia malah duduk di kursi tunggu halte tersebut. Ia sejenak melamun di sana, sampai akhirnya beberapa orang datang dan menatap Wonwoo dengan tatapan yang ia tidak suka. Ia buru-buru pergi dari tempat itu dan bergegas menuju rumah Bibi Cha.
Tidak sampai di situ, bukannya langsung masuk ke dalam rumah, Wonwoo memilih untuk duduk di ayunan tempat pertama kali ia bertemu dengan Yu Jeong. Iya, si hantu kecil yang menyeramkan itu. Yang hampir membuat nyawa Wonwoo melayang begitu saja. Lagi dan lagi, pemuda itu melamun. Sesuatu yang tadi didengarnya dari sang ayah, terus saja terngiang di pikirannya. Karena hal itu adalah yang begitu mengejutkan baginya.
"Kenapa kau di sini?" Suara yang sangat familir itu tiba-tiba terdengar, sedetik setelah kedua mata biru Wonwoo berkilat. Wonwoo lalu menatap ke arah pohon tempat bergelantungnya ayunan yang sedang ia naiki itu, yang berasal dari sanalah suara tersebut berasal. Di sana sudah duduk melipat kaki seorang Hoshi.
"Ho-Hoshi-ya?" Wonwoo tampak sedikit tergagap ketika menyadari kehadiran Hoshi.
"Kenapa kau tidak kembali ke rumah sakit? Bagaimana tadi pertemuan dengan ayahmu?"
To be Continued!
6 September 2020