Menalar Intuisi

Bởi nikniknuraeni

1K 71 29

Membatalkan rencana pernikahan merupakan keputusan tergila yang pernah Via ambil. Ia merasa ada yang salah pa... Xem Thêm

1 | Mimpi
2 | Hōmu Livin
3 | Intuisi
4 | Sahabat

5 | Bastian

118 17 3
Bởi nikniknuraeni

Bastian Wijaya. Laki-laki yang memiliki manik mata hitam dengan sorot tajam itu pertama kali datang ke dalam kehidupan Via saat tiga tahun yang lalu.

"Gue baru nyampe stasiun, nih, mau beli makan dulu. Laper," tukas Via pada Airin di sambungan teleponnya. Dia sudah berdiri mengantre di depan kasir untuk memesan Oden dan Ice Matcha Latte.

"Lo udah laper lagi?" Suara Airin terdengar mencibir.

"Pizza di perut gue tadi udah menguap selama di jalan." Via terkekeh, merasa geli sendiri.

"Dikira perut lo panci air panas? Pake nguap segala." Airin ikut terkekeh.

"Eh bentar, ya, gue mesen dulu." Via menurunkan ponselnya tanpa menutup sambungan telepon. Ia menyebutkan beberapa item Oden dan meminta untuk ditambahkan kuah pedas. Sambil menunggu petugas kasir menyiapkan minuman, tangannya segera merogoh tas untuk mengambil dompet.

Perasaan aneh bercampur keringat dingin seketika mendera. Via merasa tubuhnya seperti tersengat aliran listrik dan menegang. Tangannya kembali berusaha mencari, tapi hasilnya masih tetap nihil. Hingga isi tasnya hampir tercecer keluar karena ia mengaduknya dalam posisi horizontal, keberadaan dompet itu masih belum terlihat. Sadar akan usahanya yang sia-sia, Via memejamkan mata sejenak, lalu kembali menghadap petugas kasir.

"Maaf, Mbak." Via meringis saat petugas itu menatapnya sekilas dan kembali fokus menghitung pesanan yang harus Via bayar. "Dompet saya kayaknya ketinggalan. Ini mau minta tolong teman untuk antarkan. Jadi, belanjaan saya bisa ditunda dan dilanjutkan dengan pesanan lain?" Via melihat petugas itu sedikit terkejut. "Pasti saya bayar, kok," lanjutnya yang kemudian diangguki petugas. Via lantas menepi dan mempersilahkan pembeli di belakangnya untuk maju, lalu mengangguk pada sang kasir, "Terima kasih."

"Rin," panggil Via, "lo liat dompet gue, nggak?" tanyanya sambil menaikkan tangan dengan maksud menutupi area kosong antara ponsel dengan mulut, supaya suaranya tidak terlalu mencuri perhatian pengunjung lain yang sudah mulai memperperhatikannya semenjak mengaduk tas di depan kasir tadi.

"Apaan, dompet? Nah lo tadi naik Gojek sama masuk stasiun pake apa?"

"Tadi kan gue bayar pake Gopay. Masuk stasiun juga pake kartu yang biasa gue selip di casing HP. Seriusan. Lo liat dompet gue, nggak? Cariin, dong! Duh, gue malu nih dah mesen. Nggak enak kan kalau di-cancel. Mana gue tadi pesen kuahnya pedes." Via melirik petugas yang sudah sibuk melayani pesanan lain.

Tawa Airin membahana, membuat Via harus menjauhkan ponsel dari telinganya. "Lo jajan pake nggak ngecek dompet dulu? Malu-maluin, deh, lo!" Suara tawa di seberang telepon kembali terdengar. "Bentar! Gue cek dulu di meja," lanjutnya sambil tidak berhenti tertawa.

Via menunggu sambil menggigit bibirnya. "Buruan!"

"Ada, nih!" seru Airin yang diikuti binar terang di mata Via.

"Anterin ke sini, ya! Please! Gue nggak bisa keluar, takut disangkain mau kabur," bisik Via sambil mendekatkan mulut pada ponselnya.

"Tambah ngerjain gue lagi, lo!" Airin kembali terkekeh.

Via beringsut kembali menuju meja kasir. "Mbak, maaf, ya. Dompet saya baru mau diantar, paling tujuh menitan. Nggak apa-apa, ya?" Via merasa wajahnya sudah sudah seperti udang rebus. Merah, menahan malu.

"Pesanan Kakak udah dibayarin sama Kakak yang barusan." Petugas kasir itu menunjuk laki-laki yang baru saja meninggalkan minimarket. Senyumnya malah mengembang begitu melihat Via yang kebingungan.

"Sudah dibayarin?" Kepala Via mendadak blank.

"Iya. Sama Kakak yang barusan," jawabnya lagi. Wanita itu kembali menekuri mesin kasir dan melanjutkan aktivitas menghitung belanjaan wanita muda di hadapannya.

"Oh? Makasih, Mbak." Via segera berbalik, tapi sang kasir mengingatkannya untuk membawa pesananan yang sudah dibayar itu.

"Maaf." Via yang kerepotan berlari sambil menenteng mangkuk Oden dan gelas Ice Matcha Latte-nya berhasil membuat laki-laki di depannya menghentikan langkah.

"Ya?"

Via terdiam sejenak ketika laki-laki itu menoleh. Entah karena pengaruh napas yang tersenggal akibat berlari atau karena laki-laki dihadapannya yang membuat terkesima, Via kehilangan fokus. Setelah laki-laki itu mengernyit kebingungan karena Via hanya mematung, ia mulai tersadar akan kebodohannya. Sayangnya, itu merupakan kebodohannya yang kedua di hari ini.

Via menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran yang sempat berkelana pada raut wajah yang memiliki rahang kuat dan alis tebal yang proporsional itu. Sedikit belahan di dagu laki-laki itu memang sempat mencuri perhatiannya. Namun, sekarang bukan saatnya untuk mengagumi ketampanan seseorang, yakin Via pada diri sendiri.

"Emm, maaf, tadi kamu yang bayar pesanan saya?"

Laki-laki itu mengangguk.

"Tunggu sebentar, ya. Teman saya sedang jalan ke sini, bawain dompet yang ketinggalan."

Laki-laki itu tersenyum.

Via baru tahu jika laki-laki itu juga memiliki lesung pipit yang manis.

"Nggak apa-apa. Nggak usah dibayar," jawabnya sopan. "Permisi." Ia sudah berbalik hendak melanjutkan langkah, ketika Via kembali menjegalnya.

"Maaf, jangan begitu!" Sebetulnya Via merasa tidak enak, tapi suaranya malah meninggi. "Saya mau bayar, karena—"

"Kalau begitu," ia menjeda kalimat sambil berpikir, "berikan HP kamu." Laki-laki itu mengulurkan tangan yang diikuti tatapan ke arah ponsel yang sedang Via pegang. Percakapannya dengan Airin sudah terputus sejak beberapa menit lalu ketika Via hasru berlari mengejar.

Meski sempat melongo untuk beberapa detik, Via mengulurkan ponsel yang disambut laki-laki itu dengan senyuman.

Setelah menekan beberapa nomor, laki-laki itu menyerahkan kembali ponselnya. "Tian. Bastian Wijaya," katanya. "Hubungi di nomor itu kalau mau membayar. Untuk sekarang, maaf, saya sedang terburu-buru." Sebuah senyum kembali mengembang, sebelum akhirnya laki-laki berkemeja biru muda itu beranjak.

"Maaf mengganggu." Sebuah suara bariton menyapa tiga sekawan dengan sedikit canggung. Laki-laki yang barusan dilamunananya itu sudah berdiri tepat di samping Via. "Aku mau pinjam Via sebentar, boleh?" Senyumnya yang ramah menyapa berkeliling.

"Tentu saja," ujar Airin cepat-cepat. Ia lalu mengedipkan sebelah matanya kepada Via. "Iya, kan?"

"Untuk apa?" tanya Via. Beberapa saat kemudian ia mengaduh, ketika Airin sengaja menginjak kakinya di bawah meja.

Bola mata Airin membulat ke arah Via, lalu beralih kepada Tian dengan tatapan manisnya. "Via cuma kaget lihat Mas Tian di sini. Iya, kan?" Tatapan Airin kembali kepada Via.

Via malah melengos. Sejak kapan Airin panggil Tian dengan panggilan 'Mas'?

Tian kembali mengulas senyum sebelum menjawab pertanyaan Via. "Ibu bilang hari ini kita ada jadwal fitting baju."

Via menatap Tian sambil mengernyit. "Tadi Ibu nggak bilang." Terlebih, pagi ini Ibu tidak mau berbicara sedikit pun denganku, pikirnya.

Laki-laki itu menggaruk tengkuknya, mencari alasan. "Mungkin Ibu lupa."

"Ya udah, tinggal berangkat aja, Via. Lagian kita udah selesai makan." Nindy mengambil tas hitam di atas meja dan meletakkannya di atas pangkuan wanita yang mengenakan tunik saliwah itu.

Via melirik Nindy sejenak dan menatapnya dengan penuh permohonan. Namun, Nindy malah mengibas dan menyuruh Via untuk segera bangun.

"Hati-hati di jalan, ya."

Airin sengaja melambai dengan ceria saat Tian berpamitan, membuat Via kembali menoleh dan melayangkan tatapan mengancam bermakna awas-lo yang ditanggapi kedikan cuek serta senyuman tanpa dosa.

Via menyerah. Berdebat dengan Tian di depan banyak orang, terutama di hadapan kedua sahabatnya, bukan pilihan yang bijak, mengingat dirinya dalam posisi yang tidak menguntungkan. Setengah menyeret langkah, Via berjalan menuju parkiran dengan pikiran yang dipenuhi pertanyaan.

"Kamu nggak berpikir kalau aku main-main dengan keputusan itu, kan?" Via berhenti dan menatap Tian yang hendak membukakan pintu mobil untuknya.

Tian menghela napas panjang. "Aku juga nggak main-main buat pertahankan hubungan kita."

"Dengan asumsi aku selingkuh?"

"Aku nggak bermaksud seperti itu."

"Tapi sikapmu mengatakannya seperti itu."

Tian berdehem. "Tidak ada yang akan berubah di antara kita, Via. Aku nggak akan begitu saja lepasin kamu."

"Untuk itu kamu mau kasih kesempatan? Tahu, nggak? Sikapmu hanya akan membuat kita semakin nggak nyaman."

"Itu karena aku tahu kalau kamu nggak sepenuhnya ingin kita berpisah."

Via mendengkus keras. "Tian, yang kamu lakukan hanya akan membuatmu semakin terluka. Aku tahu kalau aku terlalu egois, tapi aku nggak mau menghancurkan masa depan kita, apa lagi kalau memaksakan diri dengan melanjutkan pernikahan ini."

"Kita nggak memaksakannya, Via. Kita hanya menjalankannya sesuai rencana."

Via berpaling, entah harus bagaimana menanggapi dan meyakinkan Tian.

"Oke, kalau begitu." Tian mulai melunakkan suaranya. "Aku kasih kamu waktu buat buktikan kesalahan apa yang membuat pernikahan kita harus dibatalkan. Kalau tidak ada penjelaskannya secara logis, pernikahan kita harus tetap berlangsung seperti rencana semula. Aku rasa ini lebih fair buat kita,khususnya buat aku."

Via menatap Tian dengan tatapan menilai, sembari meyakinkan diri bahwa apa yang dikatakan oleh Tian benar. Setelah menimbangnya cukup lama, akhirnya Via mengangguk.

"Tapi selama itu," lanjut Tian, "kita akan mengikuti alur dari rencana yang sudah kita sepakati sebelumnya. Kita akan tetap melakukan semua per—"

"Itu akan jadi nggak netral," potong Via.

"Kita nggak bisa menghindarinya, kecuali kalau bisa meyakinkan Ibu dan Bunda."

"Bukankah itu juga akan lebih menyakiti hati mereka?"

Tian mengusap bagian depan rambutnya dengan kasar. "Apa yang kamu putuskan kemarin itu nggak lebih menyakitkan?" Tubuhnya dicondongkan ke arah Via dan membuat wanita itu memundurkan langkah. "Kenapa tiba-tiba bertanya mana yang akan lebih menyakitkan?"

Via tertohok, hingga kehilangan kalimatnya. Wajah putihnya sudah memucat sepias kapas. Ia bahkan tertegun dan masih tidak mempercayai pendengarannya. Mengira kata-kata semacam itu tidak akan pernah keluar dari mulut Tian.

"Benar kata Ayah. Tidak semudah itu membatalkan rencana pernikahan. Akan ada efek domino. Bukan hanya mencoreng nama baik kamu, tapi juga nama baik keluarga, meski kamu sendiri yang memilihnya seperti itu. Setidaknya, jika alasan pembatalan itu bisa sedikit lebih masuk akal, akan meminimalisir kesalahpahaman di kemudian hari," lanjut Tian yang membuat Via semakin tercenung di tempatnya berdiri. "Jadi, menurutmu sebaiknya kita tetap seperti ini saja."

Via masih bergeming sambil menatap Tian, sedikit terkesima. Usulan Tian memang terdengar masuk akal, tapi tidak juga seluruhnya benar. Walau semua telah diputuskan bersama, Via tetap memiliki hak untuk menentukan kehidupannya sendiri.

Via bukan orang yang mudah menerima pemikiran orang lain, tapi juga bukan oang yang terbiasa memaksakan kehendaknya. Kesepakatan pernikahan memang tidak diputuskannya sendiri, melainkan melibatkan banyak pihak. Jadi, ia juga harus berlapang dada ketika Tian meminta sebuah kesepakatan lain sebelum pernikahan itu resmi dibatalkan.

Sepertinya Tian tidak perlu banyak lagi menerka. Bola mata yang bergerak gelisah dan mulut yang terbuka lebar tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, mengisyaratkan jika Via tengah kesulitan dalam memilin kata.

Lantas Tian segera mengambil kesempatan. Tanpa menunggu tanggapan, laki-laki yang memiliki tubuh atletis karena rutin melakukan jogging itu segera membukakan pintu.

Namun, ia harus mendesah karena Via tidak juga beranjak dari tempatnya. "Kita lanjutkan di dalam?" tanyanya sambil menunjuk kursi di samping kemudi dengan ekor mata.

Sebelum mengiakan, Via mengedarkan pandangannya berkeliling. Ia mendapati beberapa pasang mata yang tengah mengamati mereka berdua, walau tidak dari jarak dekat.

Benar saja dugaan Via. Setelah berada si dalam mobil, kecanggunan kembali membuat jarak yang lebih terasa. Tian memang sudah terlihat lebih tenang, tapi tidak sehangat biasanya, meski Via sendiri tidak terlalu berharap akan perlakuan yang lebih baik daripada itu.

Sesekali Tian mencoba memancing obrolan ringan, tapi Via masih menjawab dengan seperlunya.

"Pulangnya nanti kita mampir ke—"

Sebuah nada panggilan menjeda kalimat Tian. Ia menoleh lalu mengangguk, memberi izin pada Via yang hanya memandangi layar ponselnya tanpa berniat mengangkat.

Via lebih memilih mengabaikannya dengan menekan tombol merah. Namun, setelah ponselnya kembali berdering dan coba Via abaikan, dengan terpaksa wanita itu menggulir tombol hijau.

"Ya?" tanya Via. Ia sempat menoleh pada Tian yang sudah kembali berfokus pada jalan di hadapannya. "Kenapa?"

"Kunci jadi aku taruh di bawah pot, titip ke ibu penjaga kosan, atau aku jadikan cendera mata, nih?"

Via memutar bola matanya ke atas.

Harus banget nanyain itu di saat sedang seperti ini?

"Terserah," jawab Via dengan sedikit ketus. Bukan seratus persen salahnya kalau kekesalan yang sempat ditahannya hari ini bisa dilampiaskan kepada orang di seberang telepon sana, bukan?

"Jadi, aku nggak bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi setelahnya, ya," jawab suara itu dengan enteng.

"Jangan berpikir bisa berbuat yang macam-macam," ancam Via.

"Semoga."

Via mengerang. "Kamu di mana?"

"Di kosan."

"Kosan kamu?"

"Kosan kamu."

"Kosan aku?" tanya Via panik. Namun, kesadaran akan kehadiran Tian di sampingnya—yang masih fokus menyetir— berhasil membuatnya kembali mengendalikan diri. "Setelah disimpan, sebaiknya kamu segera pulang." Suara Via sudah terdengar datar tanpa penekanan apapun.

"Aku mau sekalian taruh tas kamu."

Via menepuk dahi. Salahnya sendiri kemarin mau menitipkan tas dan perlengkapan yang terpaksa dibawa ke bandara saat bertemu dengan Kemal yang entah sedang apa di sana. Salahnya juga karena terlupa jika kunci kamar kosan tertinggal di tas yang dititipkannya itu. Masih salah Via pula karena meminta tolong Kemal menyimpan kuncinya di tempat yang aman.

Via kembali mengerang, menyesali triple kesalahannya.

"Aku masih punya martabat sebagai laki-laki terhormat untuk mengacak kamar kamu," terang Kemal dengan santai. "Kecuali kalau kamu yang minta."

Oke, kesabaran Via sedang tidak bisa mentolerir kelakuan konyol Kemal.

Setelah menghela napas panjang, Via berujar, "Lakukan seperti pria bermartabat saja, oke? Lalu segera angkat kaki sebelum ada yang menyangka maling." Via harus mengucapkannya dengan nada datar supaya Kemal tidak merasa menang dan akan semakin berulah.

"Siap," jawab laki-laki itu dan berhasil membuat Via bisa kembali bernapas dengan lega. Entah mengapa, Kemal selalu berhasil menggoda dan memancing emosinya.

Sejenak, Via disibukkan dengan gerutuan tidak jelas, sebelum menyadari bahwa Tian kini tengah mengamatinya.

"Siapa?" tanyanya setelah Via memasukkan kembali ponsel ke dalam tas.

"Kemal. Teman kantor. Kayaknya aku dulu pernah cerita."

"Oh," komentar Tian, tanpa memancing pertanyaan lebih lanjut lagi.

Via lalu terdiam,menyadari perubahan suasana hati Tian dalam diamnya.

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

OneShoot 🔞 Bởi ItchyPussy

Tiểu Thuyết Chung

1.5M 7.1K 10
Kocok terus sampe muncrat!!..
Cinta Sang Prajurit Bởi Nst

Tiểu Thuyết Chung

94.6K 7.5K 84
Ini hanya sebuah fiksi dan jangan sangkut pautkan kepada real life. Selamat membaca. Jangan lupa untuk votenya.
174K 823 17
Yang orang tau Kiara Falisha adalah gadis lugu, imut, lucu, menggemaskan juga lemot. Tapi di depan seorang Faidhan Doni Advik tidak seperti itu. Pun...
3.9M 87.4K 54
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...