Shaka's Ending āœ”

By dimplesfeel

330K 33.6K 2.1K

Shaka tidak pernah meletakkan kepentingannya di atas kepentingan orang lain. Shaka bahkan tidak memiliki rapa... More

prologue: The One Who Lost Himself.
Arus 1
Arus 2
Arus 3
Arus 4
Arus 5
Arus 6
Arus 7
Arus 8
Arus 9
Arus 10
Jeram 11
Jeram 12
Jeram 13
Jeram 14
Jeram 15
Jeram 16
Jeram 17
Jeram 18
Jeram 20
Waterfall 21
Waterfall 22
Waterfall 23
Waterfall 24
Waterfall 25
Waterfall 26
Waterfall 27
Waterfall 28
Waterfall 29
epilogue: FINAL DESTINATION
Side story: London, Shaka, Rayyan dan Mahendra

Jeram 19

6.9K 885 14
By dimplesfeel

Tap your star! 🌟

Somebody speak to me
'Cause I'm feeling like hell
Need you to answer me
I'm overwhelmed
I need a voice to echo
I need a light to take me home
I need a star to follow

-Demi Lovato









Siang ini begitu terik, sampai beberapa siswa melepaskan seragam mereka saat bermain basket dilapangan agar tidak terkena keringat. Keringat sebiji semangka bergilir terjun dari pelipisnya, seiring dengan bola yang ia giring menuju ring diujung lapangan. Benar-benar panas sampai wajah mereka memerah dibakar matahari, belum lagi semangat muda mereka juga ikut berapi-api saat merebut bola.

Mahen melambungkan bola oranye itu dari jarak satu meter tanpa banyak tenaga, bola itu terpantul dari ring dan kembali kelapangan, meski meleset ia sedikitpun tidak kecewa atau memang ia hanya tengah ingin melempar sesuatu.

Dibandingkan yang lain, Mahen hari ini bermain cukup kacau. Pergerakkannya berantakan, tidak seperti biasanya. Teman-teman yang lain mendorongnya ketepi lapangan, memintanya untuk istirahat sebentar sementara mereka menabung angka dipapan skor.

Mahen tepar dibangku penonton sembari menegak air mineral milik anak kelas 10 yang beberapa waktu lalu memberinya air mineral dengan Cuma-Cuma. Matanya tidak bisa sama sekali menghindari lantai dua, kelas Shaka. Biasanya anak itu yang ia tau duduk ditepi jendela menatap langit-langit atau lapangan dengan mata kosongnya atau terkadang Mahen hanya dapat melihat belakang kepalanya bila anak itu tidur siang. Tapi kali ini, bangku itu kosong.

Cowok yang sedang bermandikan keringat itu memejamkan matanya, seketika pening menyerang kepalanya. Lagi pula lucu juga skenario hidup yang tengah ia jalani. Setidaknya ia tidak sampai buta dunia seperti Shaka. Anak itu benar-benar lupa bila ia sedang hidup karena terlalu sibuk membuat orang lain hidup.

"Mahen!" panggil salah satu anak laki-laki ditengah lapangan.

"Pulang ini kita mau ke warnet, ikut gak?" tanyanya. Mahen berfikir sejenak, kemudian tatapannya beralih kekelas Shaka lalu membalas tatapan temannya.

"Gue ada urusan pulang ini. Gue skip!"

Anak laki-laki itu akhirnya mengangkat bahu lalu kembali kelapangan. Sedangkan Mahen segera mengeluarkan ponselnya dan membuka ruang obrolan dengan seseorang yang sudah lama tidak ia buka sejak terakhir kali.

Shaka

Lo kenapa gak sekolah?

Nanti ada waktu gak? Gue mau ketemu.

Ada bang. Dimana?

Jam 9 malam, di dermaga.

Oke!

Mahen menghela nafas pelan kemudian kembali menikmati permainan kawan sekelasnya sembari berfikir,

"Apa Shaka bertindak sesuai keinginannya?"

***



Didepan cermin dilemari dengan cahaya remang oleh matahari sore yang Shaka tutupi tirai. Shaka mengamati tubuhnya. Ini lebih parah dari yang ia duga. Punggungnya benar-benar kelihatan jelek, lehernya ada jejak kebiruan, pipinya juga memerah. Ia melirik jam weker diatas meja, harusnya sebentar lagi ia menjemput Rayyan dirumah nenek. Namun mengingat apa yang sudah terjadi dan perjanjian yang sudah ia buat dengan Harun, nampaknya Rayyan harus bertahan beberapa hari lagi dirumah nenek sampai Harun lebih tenang.

Sudah berbagai macam baju ia kenakan, bekas kebiruan dilehernya tetap tidak mampu ia tutupi. Hingga Shaka meraih baju dengan potongan leher yang panjang yang seharusnya ia pakai untuk musim dingin diluar negeri untuk ia kenakan. Shaka mengamati lagi, pipinya, ia berfikir untuk menggunakan masker.

Satu sweter turtle neck dibalut jaket tipis kemudian masker putih yang menutupi setengah wajahnya. Shaka kembali mengamati setiap detailnya. Jangan sampai satu luka kelihatan, pikirnya. Sampai akhirnya ia berhenti memilih dan menghempas tubuhnya sendiri kertas kasur sambil melepas maskernya sembarang arah.

"Gue gak bakalan mati dianiayakan?" gumamnya pada diri sendiri. Namun berujung kekehan pelan lolos dari bibirnya.

"Gimanapun juga dia Papa gue. Gue gak bisa laporin dia, ck!" decaknya, kedua tangannya sudah menangkup seluruh wajahnya. Kemudian diliriknya tirai yang diintip sinar oranye yang perlahan menggelap.

"Hhhh, gue kangen Rayyan."

*



"Ma?" panggil Shaka. Cowok yang sudah mengganti pakaiannya dengan kaos pendek hitam polos itu berdiri kaku didepan pintu sang Mama. Sudah kesekian kalinya ia memanggil, namun belum ada jawaban ataupun suara dari dalam sana.

"Shaka masuk yah?" kemudian saat pintu cokelat itu terbuka, yang ia temukan justru Mamanya tengah menangis diatas lantai sembari memeluk foto keluarga mereka. Wanita itu menangis dalam diam, bahkan Shaka tidak mndengar isakannya sekalipun.

"Ma?" panggil Shaka. Cowok itu mencoba membawa Mamanya ke dalam pelukan, dan wanita itu spontan melepas bingkainya dan meraih tubuh Shaka dan menangis di dalam sana.

"Papa kamu pasti pulang? Iyakan?" Shaka menenggelamkan kepalanya diantara helai rambut Mama yang basah.

"Papa gak akan ketemu tante Miranda lagi. Papa bakalan di sini terus, makanya Mama gak usah nangis lagi."

Nadin menangis setelahnya. Ia berteriak, memukul dada Shaka bahkan mengeratkan rematannya pada punggung Shaka. Namun cowok itu tidak bergeming meski ia sudah cukup kesakitan, rasanya melihat Mamanya melampiaskan emosinya sendiri sudah membawa ketenangan lain dalam diri Shaka. Bila orang lain bisa lebih baik dengan menghancurkan tubuhnya, Shaka tidak pernah menolak.

Maka dari itu, semenjak dirinyapun butuh tempat bersandar, Shaka ikut mengeratkan pelukannya pada Nadin meski air matanya enggan jatuh, meski hatinyapun tengah nyeri.

Shaka tau, dari sekian banyak cara Mama berlagak tidak mencintai Papanya, ia tau wanita itu justru sangat tidak ingin Harun pergi. Ia yakin Harun hanya sedang tidak dijalan pulang. Harun mungkin tersangkut diarus lain, ia butuh seseorang untuk membantunya keluar dan kembali kejalan pulang.

***

Yang pertama kali Mahen lihat saat ia sampai didermaga adalah anak laki-laki yang dibalut setelan musim gugur juga masker diwajah tengah berdiri ditepi laut dibantu sinar remang bulan yang nyaris purnama. Kemejanya melayang-layang tertiup angin, begitu juga dengan rambut hitamnya melambai-lambai. Bahkan saat tubuhnya sudah mendekat, anak itu masih diam sembari memejamkan mata seolah tengah menikmati bunyi ombak dan angin laut menerpa kulit wajahnya.

Kendati menyapa, Mahen justru duduk disampingnya sambil mengamati anak itu hingga kegiatannya selesai. Mahen mengamati kelopak mata Shaka perlahan terbuka, lalu tanpa menatap kearahnya ia menunjuk mercusuar diseberang dengan wajah datar.

"Gue pingin ke sana," katanya. Mahen melirik anak itu dan mercusuar bergantian lalu menghela nafas pendek.

"Sekarang?"

"Gak, nanti. Tunggu gue udah yakin."

"Yakin apa?" tanya Mahen. Namun anak itu justru menoleh kearahnya dan terlihat mata anak itu sedikit menyipit. Mungkin dibalik maskernya anak itu tengah tersenyum lebar.

"Terakhir kali kita janjian gak jadi. Malah Mama gue pulang nangis-nangis," ucap Shaka. Ia mengambil tempat disamping Mahen sambil melempar pandangan kelautan lagi.

"Sorry."

"Bukan salah Bang Mahen! Harus gue bilang berapa kali, sih?!"

Kemudian keduanya kembali dibekuk sunyi. Hanya bunyi ombak yang meraup satu sama lain, kemudian burung-burung laut yang berterbangan ke sana-kemari juga bunyi petir kecil yang merayap pendengaran mereka. Malam ini memang sedikit mendung, kelihatannya hanya mendung. Mungkin gerimis akan turun, tapi Shaka lihat tidak akan sampai hujan. Shaka punya pengamatan yang sedikit ngawur sebenarnya.

Padahal Mahen datang untuk mengklaim kepemilikannya juga. Namun anak ini lagi-lagi terlihat lifeless dimatanya. Entah bagaimana ini bermulai, namun Shaka terlihat benar-benar memprihatinkan. Meski hanya diterangi cahaya bulan dan lentera dibelakang mereka, lingkar hitam dibawah mata anak itu kelihatan jelas. Lagi pula kenapa ia pakai masker malam-malam begini. Orang didermaga bahkan tidak sampai 10 orang.

"Lo kenapa gak sekolah?"

"Bang Mahen kenapa ajak ketemuan?" Mahen seketika diam sejenak, menerobos netra gelap Shaka. Pupilnya tidak bergerak sama sekali, seolah seluruh tubuhnyapun juga ikut mati.

Apa dia barusan menghindari pertanyaan?

"Oh..g-gue...lo apa kabar?"

Apa Shaka tau bahwa Harun juga Ayahnya?

Dan yang Mahen lihat setelah itu Shaka justru melepas maskernya, lalu meletakkannya disaku celana. "Gue...baik? hhh, gak tau, kayaknya sama aja."

"Pipi lo kenapa?"

"Mau teh kotak gak?" lagi-lagi Shaka membanting pertanyaan membuat Mahen lagi-lagi menghela nafas. Mengapa hatinya ikut sakit begini?

"Lo dari tadi menghindari pertanyaan gue. Sebenernya kenapa?" tanya Mahen akhirnya. Ia sendiri sudah tidak tahan dengan sikap anak ini, menghindar, menutupi.

Mahen membuat tubuhnya dan Shaka saling berhadap-hadapan. Dibawah remang sinar rembulan lautan menjadi saksi bisu tentang dua anak laki-laki yang tengah terluka melawan takdir. Shaka yang membalas tatapan Mahen dengan tatapan kosongnya.

"Kenapa Shak?"

"Apa keliatannya lagi baik-baik aja, Bang?" Mahen menggeleng pelan, dan lagi-lagi ia dibuat bungkam dengan retak yang Shaka sampaikan lewat tatapan matanya.

________________
Haiii long time no see yah wkwkwkw.
Aku suka bgt loh chapter ini. Uwuu, dua org ini akhirnya ketemu T_T










Wed. Aug. 19
HR 💛

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 135K 22
"tante aku mau ngelamar tante" "hah...? gimana?" "iya, tante mau nggak jadi mama aku?" "hah?" "aku nggak nakal kok tante, aku juga punya uang artinya...
948K 77.8K 35
"Papa?" ujar gadis kecil itu sambil mengerjapkan matanya bingung "Iya, panggil aku papa mulai sekarang." Karena aku akan menjaga mu mulai dari sekara...
2.6M 335K 74
[TERBIT] "Bagaimana bisa pria iblis itu mengadopsi seorang putri?!" Begitulah Dunia mengatakan tentang keputusan gila seorang pria yang sangat berpen...