Gurl's [Omega High School]

By lailifitri662

788 80 15

Azalea Maharani : Si perfeksionis yang berambisi Anne Selene Cayapata : Si ceroboh yang malang Argani Ziva La... More

Part 1 : The Beginning
Part 2 : The beginning (2)
Part 3 : Duty Of Destiny
Part 4 : Interview
Part 5 : XI-MIPA 1
Part 6 : Wealth Is Wasted
Part 7 : Secretum
Part 8 : Bad guy
Part 9 : Memory With Love
Part 10 : Love Me Like You Do
Part 11 : Brochures
Part 12 : Beginning Forever
Part 13 : Bogus
Part 14 : D1
Part 15 : GURL'S
Part 16 : Shouts
Part 18 : Kidnapping by Gurl's [for Gurl's]
Part 19 : A Day of Cinderella

Part 17 : End of D1

15 2 0
By lailifitri662

"Lo nggak lagi halu 'kok! Gue yang ngikutin."

Sontak Lea menoleh ke sumber suara yang berada tepat di sampingnya. "A-apa yang kau lakukan disini?"

"Mau bayar utang." singkat Devan.

Lea mengernyit bingung. Perasaan selama ia masuk sekolah ini, tak pernah sekalipun meminjamkan uang pada siswa lain.

Di sisi lain Devan melangkah menuju salah satu kursi yang berada dua meter dari tempat mereka berdiri. Langsung didudukkan pantatnya di permukaan kursi itu. Menoleh kearah Lea yang masih setia berdiri di tempatnya. Satu sudut bibir Devan terangkat, tersenyum gemas. "Mau dibayar sama apa?"

Lea membuang napas kasar, menggeleng tak paham. Ia berniat mengabaikan lelaki tidak jelas yang terus membahas tentang bayar utang ini. Tapi baru sekali melangkah, niatnya diurungkan oleh satu kalimat yang terucap dari lelaki itu. "Lo masih pacar gue!"

Mata Lea melotot penuh. Ia baru ingat kejadian menyebalkan yang ada di depan kamar mandi waktu itu. Jangan lupakan kejadian ia dilabrak beberapa ciwi-ciwi di depan kelas waktu itu. Tangan Lea mengepal kuat. Rasa geramnya muncul mengingat kejadian waktu itu. Matanya memicing kearah lelaki yang duduk santai dihadapannya.

"Jadi gimana? Gue utang budi waktu itu, dibayarnya mau pake apaan?"

Satu ide terbesit di otak Lea. Dan mungkin itu memang satu-satunya jalan agar semua berhenti disini. "Kita putus."

Raut wajah Devan seketika datar. Entah kenapa rasanya seperti ada yang tersayat di dalam hatinya. Padahal ia sendiri tahu kalau semua ini hanya palsu. Sebelum gadis dihadapannya pergi, tanpa ia sadari, satu kalimat godaan muncul di mulutnya. "Jadi selama ini lo anggep kita pacaran beneran?"

Semoga tak ada yang tau wajah Lea memerah saat ini. Tapi ia tetap tak mau kalah. "Kau itu mau apa sih? Tadi nanya mau bayar utang pake apa, sekarang malah dianggep candaan."

Jleb

Devan menggaruk leher belakangnya. Kenapa jadi ia yang kalah telak sekarang? Malu sekali rasanya. Yang bisa ia terima sekarang adalah gadis, ralat, mantan gadisnya yang melangkah pergi menjauhinya. Sedikit rasa kecewa karena ia tak bisa menahannya lebih lama. Tanpa disadari, ia senang berada di dekat gadis itu. Dan ia memastikan bahwa ia akan mengejarnya.

■■■

"PERHATIAAN!! BUAT SEMUA YANG ADA DI KANTIN INI MOHON PERHATIANNYAA!! BUAT HARI INI SEMUA MAKANAN YANG KALIAN BELI BAKAL DIBAYAR SAMA KEENAAN DALAM RANGKA KEMENANGAN TIM FUTSAL!"
Roni berkacak pinggang sok diatas salah satu meja kantin. Ia mengatur napasnya setelah berteriak-teriak.

Seluruh penghuni kantin bersorak gembira. Ada yang berseru senang menyebut nama Keenan, ada yang menari puas, juga pastinya yang berebut mengambil makanan di kantin. Kesempatan seperti ini mana ada datang selalu 'kan?

Di sisi lain Keenan yang baru dari kamar mandi kebingungan saat memasuki kantin. Pasalnya tiba-tiba ia mendapat ucapan terima kasih, selamat, dan bahkan ada yang menyalami tangannya. Ia melangkah menuju meja Angkasa dan kawanannya. "Woi, ini makhluk pada kenapa semua?"

"Udahlah Ken, sini duduk dulu sini!" Roni menarik tangan Keenan untuk duduk di sebelahnya. Ia pun bersiap memijat bahu Keenan untuk sogokan. "Sesekali, kita itu harus berbuat baik, apalagi sama temen kita sendiri. Ya 'kan?"

Kenaan melirik Angkasa yang hanya tersenyum kecut. "Ini semua kesambet setan kantin ya?"

Roni hanya tersenyum untuk membalasnya. Tiba-tiba saja ada gadis menggebrak meja Kenaan dkk.

"Kamu yang namanya Keenan 'kan?!"
Itu dia Anne.

"Lu siapa?" Keenan mengernyitkan dahi. Ada masalah apa lagi ini?

"Kalo mau syukuran yang niat dong! Masa iya gara-gara traktiran dadakanmu, semua permen yupi yang dijual direbut habis semua. 'Kan jatah Anne jadi nggak ada!!"

Keenan semakin bingung dibuatnya. Syukuran? Traktiran dadakan? Dirinya?

"Jawab! Ini terus gimana permen yupi-nyaaa?!!!" Anne berteriak sedikit kencang. Mencuri perhatian hampir semua penghuni yang ada di kantin.

"Setan, berisik lo!!!" Keenan menutup telinganya. "Lu tu siapa si? Dateng marah-marah minta yupi! Syuting iklan lo?!"

"Tunggu bentar! Lo Anne yang tadi bukan? Penyiar radio sekolah juga?"

"Iya! Kita lagi bahas yupi ya ini!"

"Yupi lagi sih! Yang syukuran tuh siapa TOA?!!" Geram Kenaan jadi ikut berdiri.

"NYEB---" mulut Anne tiba-tiba saja dibekap sesuatu. "Ne, udah jangan malu-maluiin!"

"Mmmmpppp--" Anne sekuat tenaga melepaskan tangan Risa dari mulutnya.

"Heh spiker mesjid! Mau lu ape sih?!" berlanjutlah drama kecil-kecilan Kenaan dan Anne.

Ziva setelah habis satu mangkok mie ayam dan segelas es teh milik Risa, ia bangkit melangkah menuju meja anak buahnya. Waktunya ia ikut bergabung. Ia sendiri tau bahwa Roni memang sengaja mengerjai Kenaan. "Oy bruh!"

Keenan dan Anne sontak menoleh bersamaan. Tangan Risa dimulut Anne juga dilepaskan. Ziva datang-datang merangkul bahu Keenan dan menjitak kepalanya. "Heh! Siapa yang ngajarin lo bentak-bentak cewek hah?!"

"Lah Bu Bos? Lo bisa bedain gender ternyata?" ucap Keenan yang masih diapit oleh Ziva. "Heh lepas dulu! Bengek ini gue!!"

"Sekalian aja biar gak usah napas! Sia-sia Tuhan ngasih oksigen gratis buat makhluk kayak lo!" Ziva tak ada niatan melepas apitannya.

"Tai lu! Lepasin gak?!" Keena menepuk tangan Ziva berkali-kali. Sampai satu ide muncul di otak cerdasnya.

"Aaa!! Setan!!" Ziva mengelus lengan merah bekas gigitan anak buahnya itu.

"Kok malah kalian yang berantem sih?" Anne berkacak pinggang. "Ini yupi nya gimana haah?!!!"

Keenan masih tak habis pikir pada Anne. "Udah gila kali lu ya?"

Suasana ricuh masih menyelimuti bangku Keenan dkk. Satu dua siswa yang tadinya asyik menonton mulai hilang minatnya. Mereka memilih untuk melanjutkan makan atau kegiatan lainnya. Biarkan saja Keenan dan ratu lambe turah beradu mulut. Lebih baik menyantap berbagai menu yang ada di kantin. Kapan lagi makan gratis?

Kriiiinggg...

Bel pulang berbunyi nyaring hingga terdengar di setiap sudut sekolah. Menandakan berakhirnya festival hari pertama ini. Meskipun terik matahari yang tetap kukuh tak mau mengalah, canda tawa mereka senantiasa berlanjut hingga jarak puluhan meter dari sekolah.

Satu per satu siswa yang telah puas menghabiskan seisi kantin mulai beranjak pulang. Tak lupa beberapa diantaranya mengucapkan terima kasih saat melewati bangku Keenan dkk. Yang diucapi malah abai dan memilih tetap fokus pada game yang ia mainkan. Pertengkaran dengan si penyiar radio membuatnya hampir kehilangan akal. Ditambah ia heran sendiri dengan temannya yang tiba-tiba hari ini memesan banyak makanan. Kadang bisik-bisik lalu tertawa. Aneh. Tapi Keenan memilih tak peduli. Sampai..

"Permisi, ini kira-kira kapan yah dibayar semua? Saya mau tutup, mau pulang." ucap penjual jus buah.

Melihat Keenan yang tak peduli, Ziva dengan sengaja mengambil hp yang ada di tangan Keenan. "Woi, kalo ada orang ngomong tu dengerin kambing!"

"Heh, kotoran kebo, gue itu mau menang!" Keenan berseru berusaha mengambil hp nya.

Ziva mematikan daya hp Keenan. "Bayar dulu itu Bu Rani-penjual jus buah, setan!"

"Lah, kenapa jadi gue yang bayar anjir!?"

Mata Keenan menyusuri meja yang ia duduki bersama teman-temannya. Bahkan ia tak menemukan adanya gelas jus buah atau yang bersangkutan dengan apa yang dijual Bu Rani. "Ada yang mesen jus kalian?"

Mereka semua hanya mengangkat bahu menahan tawa.

"Bu Rani yang awet muda cantik nan jelita, Ibu salah meja kali? Disini nggak ada yang mesen jus buah bu." jelas Keenan.

Bu Rani menatap bingung satu-satu siswa yang ada di depannya. "Loh, kata semua anak bayarnya ada di meja ini atas nama Keenan.."

Uhuk uuhukk..
Keenan tersedak dengan air liurnya sendiri. Ditatapnya kawan tak beradab di sekitarnya. Mereka semua tak bisa menahan tawa lagi karena komuk Keenan. Pecah tawa mereka memenuhi ruangan kantin. Bahkan Roni tertawa terpingkal dengan tangan memukul Angkasa di sampingnya.

Dan Keenan telah memahami situasi yang terjadi. "BANGSAT KALIAN SEMUA!"

Mereka semua semakin tertawa saat semua penjual di kantin mulai berdatangan ke meja mereka. Keenan yang berniat kabur kedua tangan dan kakinya ditahan oleh Roni dan
Lio. Nasib oh nasib, batin Keenan.

Tapi kawan tetaplah kawan. Sebagaimanapun mereka usil, pasti bukan sengaja untuk melakukan kejahatan atau yang kalian sebut sebagai bully-an. Setelah puas tertawa, mereka serempak mengeluarkan dompet dan isinya. Sampai uang terkumpul, mereka memberikannya kepada para penjual sesuai jumlah tagihan. Mereka lumayan terkejut karena uangnya pas tak tersisa satu koin pun.

Beberapa menit kemudian mereka memutuskan beranjak dan melanjutkan nongkrong di kafe langganan. Bukannya tak enak karena nongkrong di sekolah, tapi karena makanan telah habis. Uang mereka pun menipis.

Belum sempat semua berdiri, seorang pedagang dari kantin mereka mendekat. Dia tampak seperti wanita baya yang berjalan dengan bantuan tongkat. Mereka merasa baru pertama kali melihatnya. Dan ternyata benar, nenek itu baru bergabung di kantin sekolah mereka. Nenek itu mendekat dan menagih jualannya. Semua anak saling bertatapan karena uang tunai mereka tak ada. Harus pergi ke atm dulu untuk mengambilnya. Untung saja saat itu ada siswi datang. Dan Ziva mengenalnya.

"Lea!!"

Yang merasa memiliki nama menoleh. "Kenapa, Ziv?"

"Bawa uang cash nggak?"

"Bentar," Lea merogoh sakunya. "Ada, buat apa?"

"Pinjem dulu dong buat bayar nenek ini." Ziva menatap nenek-nenek yang masih setia berdiri dengan tongkatnya.

Lea ikut menoleh ke arah pandang Ziva. "Loh neneknya emang kenapa?"

"Nanti gue ceritain, deh! Buruan!"

"Iya iya!" Lea menatap sang nenek. "Berapa nek uangnya?"

Nenek itu tersenyum, "Tidak banyak, Nak. Dagangan nenek cuma laku 20 ribu kok."

Seruan kesal keluar dari Keenan dkk. Lea dan Ziva sontak menatap mereka tajam bermaksud agar mereka diam. Dengan cepat Lea menyerahkan lembar seratus ribu dan memberikannya pada sang nenek. Nenek itu terkejut dan mengatakan bahwa ia tak punya kembalian.

"Simpan aja buat nenek." Lea tersenyum penuh arti.

Sang nenek bukannya senang seperti harapan Lea, tapi raut mukanya seperti menampakkan kecewa bercampur marah. "Kamu pikir saya pengemis?!"

Mereka semua terkejut bukan main. Bukannya berterima kasih malah marah-marah.

Ziva menyenggol bahu Lea pelan dan membisikkan sesuatu, "Udah biarin aja nggak usah dipeduliin. Itu kayaknya uangnya kur--"

"Sstt!" Lea menyenggol balik Ziva. Kemudia ditatapnya lagi sang nenek. "Begini saja nek, simpan saja uang itu dulu, siapa tau saya nanti lupa nggak bawa uang, saya bisa ke kedai nenek beli kue. Bagaimana?"

Nenek itu tampak berpikir sejenak, masuk akal juga. Akhirnya ia menyetujuinya dan beranjak pergi setelah mengucap terima kasih. Giliran Keenan dkk mengumpat kepadanya. Tak lupa mereka juga berterima kasih pada Lea yang telah membantunya. Terbesit rasa kagum juga karena Lea bisa menghadapi nenek-nenek menyebalkan itu. Sebelum Lea pamit undur diri, Lea segera menyuruh mereka semua untuk segera meninggalkan sekolah. Ia juga menolak tawaran Ziva yang mengajaknya untuk ikut nongkrong. Yang benar saja. Dan berakhirlah percakapan mereka siang itu.

■■■

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 235K 63
⚠️ Ini cerita BL Askar Riendra. Seorang pemuda workaholic, yang mati karena terlalu lelah bekerja. Bukannya ke alam baka, dia malah terbangun ditubuh...
2.4M 133K 29
Madava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dike...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.3M 73.7K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
1.8M 196K 52
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...