Call Me, Sebastian [END]

By DevaAryanti121

82.4K 9K 147

Fantasy - Romance - thriller • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Sebastian Logan Tyler. Cowok misterius yan... More

p r o l o g u e
01. Just Friend
02. Misterious Man
03. Ready for Play
04. Follow You
05. Start
06. Jinx
07. Tell me
08. Attention
09. Really Crazy
10. Whatever
11. Wake Up
12. Stay away to me
13. Start to the near
15. I'm sorry, Sarah
16. He's the culprit?
17. Black robed Man
18. Began to Know
19. Black blood
20. a Little secret
21. Who is the culprit?
22. the program
23. Can i say something?
24. the Program [2]
25. Brent is the Culprit?
26. I Love You more
27. Orphanage
28. Wk_nd
29. With you
30. Yes, Honey
31. One kiss for one trip
32. Homicide
33. Wrong
34. Then who is it?
35. about the Full Moon
36. Help me!
37. Disclosed
38. the Truth
39. Please say that I'm dreaming
40. Don't hurt her
41. Almost every moment
42. I will kill You
43. Memory
44. Sunshine
45. Want to go home
46. Thankyou, Caroline.
47. Madness Nick
48. Basically
49. Almost ended
50. It's over
e p i l o g u e

14. Mom?

1.5K 179 4
By DevaAryanti121

14. Ibu?

Malamnya, seperti di waktu-waktu sebelumnya--Caroline tengah duduk berselonjor di ranjang dengan tatapan yang tak beralih dari televisi. Namun tak lama, pintu yang seketika terbuka membuat Caroline menoleh ke arahnya hingga mendapatkan sesosok lelaki berjaket putih tengah berjalan ke arahnya.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" Brent memberhentikan langkahnya tepat di samping ranjang Caroline.

Caroline menyuruh ketiga pelayan yang berada di sana pergi keluar ruangan. Setelah itu ia membalas tatapan Brent yang kini nampak tersenyum untuk melihatnya.

Pikiran Caroline berputar--mengingat kalimat yang sempat dilontarkan oleh Sebastian kepadanya.

Follow my willingness or him who will die?

Caroline tahu, Sebastian tidak main-main dengan ucapannya. Ia melarang Caroline untuk tidak berdekatan dengan Brent. Sebenarnya Caroline juga tidak tahu kenapa Sebastian melarangnya seperti itu. Tapi, yang terpenting sekarang adalah ia tidak boleh berdekatan dengan Brent terlebih dahulu.

Caroline terhenyak ketika Brent menjentikkan jari tepat di depan wajahnya. "Apa yang kau pikirkan, hm?" tanyanya.

Caroline berdehem lalu membenarkan posisi duduknya. "Tidak ada. Kenapa kau datang ke sini?"

Salah satu alis Brent terangkat. "Kenapa? Kau tanya kenapa? Sudah jelas Aku ingin menjenguk sahabatku," jawab Brent kemudian.

Caroline mengusap lehernya dengan ekspresi kikuk. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang untuk bisa mengusir Brent dari sini. Ia hanya takut, Sebastian akan melihatnya dan ... argh!

"Sebaiknya kau pergi. Kau datang disaat aku ingin beristirahat," imbuh Caroline, mengusir Brent secara halus.

"Ya ... beristirahatlah. Aku akan tetap di sini untuk menjagamu, Line."

Caroline menggerutu dalam hati. Ia benar-benar dilanda kebingungan sekarang. "Aku tidak mau diganggu, Brent," rengeknya--berusaha membujuk Brent agar lelaki ini mau keluar dari ruangan dengan sendirinya.

Brent mengulum senyum lalu mencubit pipi Caroline, membuat Caroline secara refleks menepis tangannya. "Aku tidak akan mengganggu. Cepatlah, beristirahat! Aku sudah lama tidak melihat wajah menggemaskanmu saat tertidur," ucap Brent seraya membenarkan posisi bantal di balik punggung Caroline agar gadis itu bisa tertidur dengan nyaman.

Caroline menggeleng pelan. "Tidak, Brent. Sudah ada pelayan yang akan menemaniku. Sebaiknya kau pergi! Kehadiranmu membuatku tidak bisa tertidur," alibinya.

Alis Brent bertaut. "Kenapa Aku merasa bahwa kau tengah mengusirku, Line?"

Pertanyaan itu sukses membuat Caroline jadi gelagapan. Apa yang harus ia katakan?

"Kau tidak suka dengan kehadiranku? Kenapa?"

Oh ayolah, kenapa Caroline menjadi merasa bersalah seperti ini? Apalagi melihat Brent yang kini memasang wajah lugu, membuat Caroline tak tahan lagi.

"Aku ... aku hanya ingin beristirahat. Kau jangan berpikiran seperti itu," cicit Caroline seraya menunduk--memainkan kuku jemarinya dengan asal.

Brent menghela nafasnya dan menarik dagu Caroline agar gadis itu mau membalas tatapannya. "Apa Aku melakukan sebuah kesalahan?"

Caroline menggelengkan kepalanya dengan cepat. Brent terlalu baik sehingga Caroline tak dapat menyalahkannya dalam situasi apapun. "Aku sudah bilang bahwa Aku ingin beristirahat dan tidak mau diganggu. Itu saja."

Brent berdehem lalu mengangguk kecil. "Baiklah, Aku mengerti," balasnya.

"Kau tidak marah kan?"

Brent tertawa renyah. "Tidak ada alasan Aku untuk marah, Line. Kau mungkin lelah, dan ... yah, di saat-saat seperti ini Aku mengerti bahwa kau sangat membutuhkan ketenangan," jelasnya kemudian.

Caroline tersenyum kecil. Brent memang selalu mengerti dengan keadaannya. Itulah yang Caroline suka dari Brent.

"Oh iya, besok Aku tidak bisa menjengukmu. Ada pertandingan football dan Aku harus berlatih. Mungkin jika sempat, Aku akan mampir ke sini." Caroline mengangguk, mencoba untuk mengerti.

Gadis ini kemudian merubah posisinya menjadi tidur dan membuat Brent langsung menutupi tubuhnya dengan selimut. "I'm leaving. You'r not what, I live?"

"Tentu tidak. Terimakasih karena telah berkunjung." Brent tersenyum lalu mencium kening Caroline sekilas.

"Jaga dirimu baik-baik." Setelah mengucapkan itu, Brent melangkah pergi dari sana--membuat ketiga pelayan tersebut kembali menampakkan diri.

Caroline menghela nafas dengan panjang. Kepalanya bergerak untuk menoleh ke arah pelayan yang sudah berdiri di samping ranjangnya. "Papa tidak akan datang ke sini?"

Salah satu dari pelayan tersebut menggeleng pelan. "Tidak, Nona. Tuan sangat sibuk. Mungkin besok beliau akan ke mari."

Caroline berdehem lalu beranjak untuk menatap langit-langit. Sedetik kemudian ia memejamkan mata dan mencoba untuk tertidur.

***

Caroline tersentak kaget ketika dirinya sadar, bahwa ia kini tengah berada di sebuah ruangan. Dahi Caroline mengernyit, seingatnya, tadi ia tertidur di kamar--di rumah sakit. Tetapi sekarang? Bagaimana ia bisa sampai di ruangan yang gelap ini?

Angin berhembus sangat kencang, membuat Caroline memeluk dirinya sendiri. Dengan memberanikan diri, akhirnya Caroline melangkahkan kakinya untuk menyusuri ruangan tersebut. Tangannya kini menarik tali lampu hingga membuat ruangan itu tak gelap lagi.

"Mom?" Mata Caroline membulat ketika ia melihat Ibunya--Loren tengah duduk bersimpuh di hadapan sesosok lelaki berjubah hitam yang tengah duduk di sebuah kursi besar.

Sepertinya mereka tidak menyadari kehadiran Caroline saat ini. Hal tersebut membuat Caroline melangkahkan kakinya untuk mendekati Loren. Ia kini menutup mulutnya seraya mengerjap-ngerjap tak percaya. Ibunya itu ... belum mati?

"Mommy?" cicit Caroline, namun tak berhasil membuat wanita itu menoleh ke arahnya.

"Kau boleh ambil nyawaku, tapi jangan Anakku," ucap Loren, menatap tajam ke arah lelaki berjubah yang kini bangkit dari duduknya.

Dahi Caroline mengernyit. Pandangannya beralih untuk menatap ke arah sesosok lelaki berambut silver yang kini terlihat berjalan mendekati Ibunya.

Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke arah Loren. "Aku tidak butuh nyawamu. Aku hanya ingin anakmu. Kenapa kau sangat keras kepala?" ujarnya.

Caroline benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan sekarang?

Loren bangkit dari duduknya dan menatap lelaki itu dengan tatapan tajam. "Sampai kapanpun Aku tidak akan memberikan Anakku kepadamu! Kau ingat, kita sudah membuat perjanjian bahwa sebelum Caroline lahir--kau berkata, bahwa kau tidak akan menyakitinya," ucap Loren dengan penuh penekanan.

"Perjanjian?" Caroline bergumam. Ia benar-benar dibuat bingung sekarang. Mereka ... Ibunya dan lelaki itu tengah membicarakan dirinya?

"Aku memang tidak akan menyakitinya. Kau tahu sendiri, bahwa Aku juga menyayanginya," balas lelaki tersebut.

"Lalu apa yang kau mau dengan merebut Caroline dariku?" tanya Loren.

Lelaki itu tersenyum smirk sebelum memanggil seseorang untuk bergabung dengan mereka. Di sana, nampaklah seorang anak kecil berumur tujuh tahun dengan lesung pipit di pipi dan iris mata berwarna cokelat sempurna kini berjalan mendekati Lelaki tersebut.

"Siapa dia?" tanya Loren, menatap lelaki kecil tersebut dengan tatapan tak suka.

"Dia yang akan membuat hidup anakmu bahagia, Loren." Mendengarnya, Loren menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Anakku bisa bahagia dengan caranya sendiri. Dia tidak membutuhkan bantuanmu, ataupun dari anak kecil ini!" Seruan Loren menggema di setiap sudut ruangan, membuat lelaki tersebut menggeram dan mulai diselimuti amarah.

"Aku sudah berusaha bersikap baik kepadamu, tetapi nampaknya kau memang harus diperlakukan secara kasar." Lelaki tersebut kini mencengkram lengan Loren hingga membuat wanita itu meringis kesakitan.

"Mungkin cara inilah yang terbaik. Maafkan Aku." Setelah berucap seperti itu, Lelaki berjubah ini langsung menancapkan taringnya di leher Loren lalu mulai menghisap darahnya.

Nafas Caroline tercekat. Dengan sekali gerakan ia berlari untuk menyelamatkan Loren seraya berteriak,

"MOMMY!"

.

"MOMMY!" Seketika Caroline merubah posisinya menjadi duduk. Pelipisnya sudah dibanjiri oleh keringat dengan nafas yang menggebu-gebu.

"Caroline, hei?"

Pemandangan pertama yang ia lihat adalah ruangan di mana dirinya di rawat di beberapa hari ini. Caroline menolehkan kepalanya ke arah samping dan mendapatkan Sebastian yang telah berdiri di sampingnya dengan raut wajah khawatir.

Caroline mengatur nafasnya sesaat setelah dirinya menyadari bahwa semua itu hanyalah mimpi. Yah, nampaknya tadi ia bermimpi buruk tentang ... mommynya? Ah, mengingat hal itu membuat kepala Caroline menjadi sakit.

"Apa yang terjadi, hm?" Sebastian kembali bertanya. Tangannya kini mengusap pipi Caroline dengan lembut sehingga Caroline kembali membalas tatapannya.

"Aku ... aku mimpi buruk," cicit Caroline kemudian.

Melihat raut gelisah dari wajah Caroline, Sebastian tanpa asa-asa menarik gadis itu ke dalam dekapannya. "Tenanglah, itu hanya mimpi, kan?"

Caroline mengangguk kecil. Ia kini menenggelamkan kepalanya di dada bidang Sebastian. Entah kenapa ... Caroline merasa bahwa mimpi itu terasa sangat nyata.

Ah, ada yang janggal.

_________________________________

Continue Reading

You'll Also Like

9.8M 1.1M 60
🔥 belum sempat revisi dan cerita ini termasuk cerita pertama saya. Mohon dimaklumi kalau ada banyak kesalahan dalam penulisan. Air mata terus menga...
9.6M 1.1M 67
Tidak ada perlawanan ketika tubuhnya dihempaskan ke lautan luas tersebut. Otaknya tidak merespon bahwa ia berada dalam keadaan berbahaya, tidak ada r...
14.7M 1.5M 53
[Part Lengkap] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Reinkarnasi #01] Aurellia mati dibunuh oleh Dion, cowok yang ia cintai karena mencoba menabrak Jihan, cewek...
2.9M 314K 56
Fantasy-Romance (COMPLETED) Azreal, Prince of NECROMANCER, satu-satunya putra mahkota yang memiliki darah pangeran kegelapan. Pria dengan tubuh tingg...