Nayyara, Lost in Marriage

By fey_ann

716K 49.6K 1.2K

Nayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. P... More

Prolog
Chapter 1: Oase di Gurun Pasir
Chapter 2: Not That Close
Chapter 3: Kumbang Lalu
Chapter 4: Her for Him
Chapter 5: The in Laws
Chapter 6: Bukan Urusanku!
Chapter 7: Jackpot
Chapter 8: Kayla Azzahra
Chapter 10: Surprise
Chapter 11: Liburan, Yuk!
Chapter 12: Perjalanan Tak Terduga
Chapter 13: Lullaby
Chapter 14: Maya
chapter 15: Ketemu
Chapter 16: Bukan Aku
Chapter 17: Bad Daughter in Law
Chapter 18: Unexpected
chapter 19: garis dua lagi
chapter 20: Kenyataan Lain
Chapter 21: Aku Cemburu
chapter 22: Aku Pergi
Chapter 23: Tempat Berlindung
"bukan update"
Chapter 24: Tentang Kamu (Kata Rayyan)
Chapter 25: Kayla (Kata Rayyan)
not an update
Chapter 26
Chapter 27: Menikah Itu Pilihan
Chapter 28: Keputusan Besar
Chapter 29: Rahasia Eyang
Chapter 30: Closure
Chapter 31: I, Want, You
Chapter 32: Sayang, Aku Rindu
Chapter 33: Make Her Back
not an update: curhat dooong
Chapter 34: Duh!
Chapter 35: Savage
Chapter 36: Tulip Putih
Chapter 37: PENANTIAN
Chapter 38: PENANTIAN RAYYAN POV
CHAPTER 39: BERAKHIR TIDAK?
CHAPTER 40: Akhir Dari Segalanya
Epilog

Chapter 9: Melepas Kenangan

11.6K 1.1K 32
By fey_ann

Chapter 9
Melepas Kenangan

Ketika menjalani sesuatu dengan rasa gembira, apa yang ada di hadapan kita akan berwarna lebih cerah. Pagi ini aku melihat dedaunan hijau yang basah karena embun. Mendung pagi bergelayut tapi entah kenapa, rasanya bukan seperti membuat beban bagi siapa saja yang berada di bawahnya. Tanah basah, paving terasa basah, sisa hujan semalam. Bulan desember memang jagonya membuat suasana terasa syahdu.

Desember, saatnya bagiku mengucapkan selamat tinggal pada apa yang selama ini menjadi tempatku melarikan diri.

Sedari shubuh, aku sudah bersiap di tempat kos Alina. Aku menginap semalam, karena memburu waktu untuk berdandan pagi. Alina jago memakaikan make-up, jadi aku tidak perlu susah payah harus menyewa perias untuk menyambut hari ini.

Momen special. Hari ini adalah hari wisuda kami.

Setelah masa skripsi yang memuakkanku berakhir, aku langsung mendaftar untuk yudisium bulan lalu. Skripsi yang sungguh menyiksa dan ingin segera kuselesaikan tak peduli berakhir dengan hasil memuaskan atau tidak. Aku sudah tak peduli dengan nilai, yang penting aku bisa segera lulus.

Aku jengah, dengan sindiran mama mertuaku yang seringkali tidak menyukai aku menghabiskan waktu di kamar untuk mengerjakan draft skripsiku. Mas Ray tidak keberatan sebenarnya, bahkan dia memfasilitasiku dengan laptop dan printer lengkap untuk menunjang garapanku. Tapi aku yang tidak enak hati. Setelah kejadian mama drop karena aku, sebisa mungkin aku tidak membuat beliau merasa kesal.

Di tempat Alina, aku bisa tertawa. Karena sahabatku satu ini, selalu memiliki cara untuk membuatku merasa tidak sendiri. Padahal, dia tidak pernah mengetahui bagaimana kehidupanku setelah menikah. Yang dia tahu, aku sudah bahagia memiliki suami ganteng, baik hati dan penyayang.

Itulah alasan kenapa aku bisa merasa senang sekali pagi ini. Karena pagi ini, aku memulainya dengan gembira tanpa beban.

“Keluargamu datang, Nay?” bisik Alina di telingaku disela-sela barisan kami yang mulai ramai.

“Palingan mas Rayyan sih, yang datang,” jawabku berbisik juga. Siapa lagi? Rasanya tidak ada lagi yang peduli dengan kehidupanku selain lelaki itu.

“Orangtuamu? Mertuamu? Keluargamu kan dobel sekarang, Nay… harusnya yang datang semakin ramai, dong!”

Alina tak pernah tahu, bagaimana kondisi keluargaku. Dia hanya tahu, aku tidak kerasan di rumah orangtuaku. Mungkin dia menganggap wajar, karena dianggapnya aku sedang dalam usia tidak nyaman berdekatan dengan keluarga. Sedang dalam masa memberontak, sok dewasa, dan ingin mandiri. Biar saja, dia tidak perlu tahu sesungguhnya. Cukup dia menghiburku dengan keceriaannya.

Dan dia bahagia, saat melihatku menikah. Walau dia juga tidak tahu, bagaimana kondisi sebenarnya kehidupan pernikahanku yang dianggapnya “indah” itu.

“Yeeee… emangnya lagi hajatan apa? Wisuda gini doang.”

“Ehhhh jangan salah. Bukan cuma wisuda doang, tapi ini momen tahu! Momen dimana kita bisa diakui masyarakat sebagai manusia dewasa. Dimana-mana wisuda itu mengharukan! Momen sakral!”

“Kamu emang belum diakui sebagai orang dewasa, Lin!” gurauku

Welcome to the jungle, gitu mereka selalu bilang,”

Aku terkikik dengan candaannya.

She is something. I love her more than my own sister. She always carries joys to me. Semoga persahabatanku dengan Alina bisa sampai tua nanti.

“Kapan-kapan, kamu musti ke Solo ya! Bulan madu kek disana. Masa habis nikah ngga ada liburan bulan madu sama sekali, sih? Terus jangan lupa, mampir ke rumahku. Hehehe…” Alina terkekeh.

“InsyaAllah,” balasku sambil mengedarkan pandang ke arah luar barisan para calon wisudawan waisudawati. Aku mencari sosok yang kukenal, tapi tak menemukan siapapun. Di ponselku juga tidak ada notifikasi apa-apa. Benarkah dia datang seperti yang dijanjikannya?

Ah, sudahlah, lebih baik tidak usah berharap lebih. Daripada harus merasa kecewa jika yang kuharapkan tidak terwujud. 

“Wisudawan dan wisudawati dipersilahkan memasuki ruangan.” 

Suara menggema memanggil kami untuk segera masuk mengisi ruang kosong di aula dengan diiringi paduan suara yang menyambut kami. Sekali lagi aku mengecek ponselku. Kosong, tak ada notifikasi apapun.

Baiklah, lebih baik aku menjalani prosesi wisuda ini dengan tenang tanpa harap apapun. Ponsel kumatikan biar aku sendiri tak tergoda untuk selalu mengeceknya tiap beberapa saat. Aku bisa pulang sendiri naik taksi nanti dengan sebelumnya menghapus semua riasan ini lalu berganti pakaian dengan yang lebih nyaman kupakai. Itu rencananya.

Wisuda ini, adalah saat terakhir aku bisa menjalani kehidupanku sendiri. Tempat kuliah ini, adalah satu-satunya tempat aku bisa meluangkan waktu dengan kemauanku sendiri. Setelah ini, tiada lagi tempat aku bisa melarikan diri dari rumah maupun rumah mertuaku. Pasrah saja. Ini pilihanku untuk menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak mencintaiku demi pergi dari rumah orangtuaku. Jadi memang konsekwensiku, harus berhadapan dengan keluarga yang memang tidak pantas aku berada di tengah-tengahnya.

Aku harus kuat. Aku harus kuat. Pasrah saja. Ikhlaskan saja. Pasti aku bisa menghadapinya. Aku pasti bisa bertahan, seperti aku bertahan di rumah orangtuaku selama ini.

Lagipula, pagi ini pagi yang baik, bukan? Pagi yang sudah kumulai dengan rasa  senang, aku tak boleh menyia-nyiakannya.

***

Aku resmi lulus!

Alhamdulillah. Antara senang, lega, dan juga rasa sedih, sepertinya bercampur jadi satu hingga aku tak bisa membedakannya. Aku senang, karena akhirnya aku resmi bisa menyandang gelar sebagai Sarjana Sastra walau dengan nilai pas-pasan. 

Lega, karena akhirnya aku tak harus pusing dengan tugas dan diktat, sekaligus karena akhirnya tanggung jawab papa membiayai aku sekolah sudah berakhir. Yah, benar. Sampai masa wisuda ini, papa yang membiayai semuanya. Mas Ray sempat meminta tanggung jawab itu, tapi papa menolaknya. Papa yang tetap mengeluarkan seluruh biaya belajarku, hingga masa kelulusanku. 

Tapi aku hari ini sekaligus kehilangan, karena ini adalah hari terakhir aku bisa main ke tempat kos Alina. Hari terakhir aku bisa ke kampus, sebagai alasan pelarianku. 

Home sweet home, bukan?

Kesanalah aku akan melanjutkan ujianku. 

Melihat Alina berlari ke pelukan orangtuanya yang datang dengan sebuket bunga merayakan kelulusannya, sedikit membuatku iri. Dia memiliki keluarga yang bahagia. Kedua orangtuanya sangat menyayanginya dan menghujaninya dengan cinta yang sangat luas. Wajar saja, jika dia tumbuh menjadi wanita yang periang, yang selalu menyebarkan senyumannya.

Ah, sudahlah. Cukup

Aku memalingkan muka ingin segera beranjak dari tempat ini, dan tidak perlu memupuk rasa iri terhadap kebahagiaan sahabatku. 

Baru saja aku berniat pergi, tapi ketika aku berbalik langkahku langsung terhenti karena sosok yang tiba-tiba berdiri di depanku. Aku tertegun. Orang yang sama sekali tak kuduga akan bertemu lagi, malah ada di hadapanku.

“Selamat hari wisuda, Nay!” serunya dengan suaranya yang berat dan riang.

Oh, tidak.

Dadaku langsung berdegup kencang. Lelaki ini membawa buket bunga tulip ungu yang sangat kusuka. Bukan berarti aku selalu mendapatkan bunga ini, aku hanya menyukainya dan selalu kujadikan wallpaper di laptopku. Dan saat ini, aku malah melihatnya di depanku. 

Eh, tunggu. Bunga ini untukku, kah? Dia datang menemuiku, kah? Atau menemui kenalan lainnya yang juga sedang berwisuda di sini?

“Hei, kok bengong?” Dia mengibaskan tangannya di depanku.

“Eh, eh.. iya, Rif. Kaget aja. Ngga nyangka ketemu kamu di sini,” jujurku. “Lagi nemuin siapa?”

“Hehehehe iya… emang mau bikin kejutan, kok.” Dia terkekeh. “Mau ketemu yang lagi wisuda di sini, hehehe.”

“Ohya? Jurusan apa?” tanyaku berdebar-debar.

“Duh, kamu tuh, ya…” Rifky menghela pelan. “Nay, aku nunggu sms dan telepon dari kamu, lho. Nomer yang dulu kukasih masih kamu simpan, kan?”

“Oh, eh…” gugup aku dibuatnya. Tak mungkin kan kalau kubilang sudah kubuang?

“Ngga peduli, ya, pokoknya sekarang aku minta pertanggung jawaban. Aku harus dapat nomer kamu. Mana ponselmu?” Rifky merebut ponsel mati di genggamanku.

“Sampai di matiin segala, bener-bener taat aturan prosesi, yah?” dia menggodaku sambil terkekeh. Seenaknya dia menghidupkan ponselku dan setelah stand by langsung mengetikkan sesuatu di dalamnya.

“By the way, kamu cantik banget, hari ini,” dia melirikku sambil tersenyum. Dan aku bisa melihat wajahnya yang blushing saat memujiku.

Ya Allah, kenapa aku jadi terus berdebar seperti ini? Cepat-cepat kubuang muka. Aku tak mau dia melihat wajahku yang mulai memerah mendengar pujian seperti itu. Baru kali ini aku dikatakan cantik oleh seorang lelaki. Sudah kubilang, kan, wajahku yang mirip papa lebih menunjukkan sisi maskulinku. Tak mungkin aku bisa dibilang secantik perempuan pada umumnya. Dan memujiku ganteng juga pasti terdengar aneh.

Makanya, mendengar seorang lelaki yang dulu sempat singgah begitu lama di hatiku memujiku cantik, harus kah aku terbuai? Atau seharusnya aku marah, karena kini aku adalah wanita bersuami.

Kriiingggggggg

Dering ponselku menyadarkanku dari lamunan.

Rifky tertawa.

“Nada deringmu jadul banget nih, kaya telpon dulu dulu. Ada telpon masuk, nih,” Rifky mengulurkan ponselku. “Siapa Mas Ray?”

Deg. Langsung kurebut ponselku dari tangan Rifky.

Suamiku menelponku. Aku menelan ludah. Apa dia ada di sini? Aku mengedarkan pandangan tapi tak menemukan siapapun yang kukenal lagi.

“Assalamua’alaikum,” aku menjawab telpon mas Ray hati-hati.

“Wa’alaikumsalam. Kenapa lama sekali ngangkatnya? Kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi dari tadi?” suara di seberang sana terdengar tidak sabar. “Kenapa nengok-nengok kesana kemari? Dia lagi ngomong apa sama kamu?”

Aku menahan nafas. Mas Ray pasti melihatku berdiri berdua bersama Rifky. 

“Mas Ray dimana?” Sekali lagi aku mengedarkan pandangan, memicingkan mata, mencari dengan lebih seksama sosok mas Ray di antara ribuan orang yang berkumpul di halaman aula kampusku.

“Apa aku harus kesana? Aku udah bilang, kan, mau ngenalin diri properly as your lawful husband ke dia?” berondongnya tak mengacuhkan pertanyaanku.

“Mas…”

“Siapa yang telpon, Nay?” Tanya Rifky penasaran. Dia mengamati kebingunganku. Ikut mengedarkan pandang ke kanan ke kiri, melihatku berjinjit demi mendapatkan view yang lebih luas, walau dia tak tahu siapa yang sedang kucari.

“Dia itu bukan seperti yang kamu kira, Mas… bukan seperti itu,” suaraku tertahan mengacuhkan pertanyaan Rifky.

Aku bisa merasakan Rifky sedang menatapku lekat. Dia pasti menyadari bahwa dialah yang sedang kami bicarakan. Tapi mas Ray salah paham. Kalau dia tiba-tiba muncul dan menjelaskan segalanya, Rifky pasti kebingungan. Rifky tidak boleh tahu, aku pernah menyukainya. Atau sebenernya masih suka padanya?

“Jelas-jelas dia suka sama kamu. Dia suka sama istri orang! Tidak mungkin dia datang ke wisudamu kalau tanpa punya perasaan apa-apa,” mas Ray berbisik dengan keras demi membuatku cukup mendengarnya dengan jelas. Kalau dia berteriak di tengah keramaian seperti ini, pasti akan memalukan, bukan?

“Atau, jangan-jangan kamu juga masih suka sama dia?” desisnya.

Seenaknya dia menuduhku. Padahal sendirinya juga masih menyimpan rasa untuk perempuan lain. Mas Ray tidak berhak menghakimiku. “Kamu ngomong apa, sih, Mas?” bisikku kesal.

“Aku kesana,” pungkasnya menutup telpon sebelum aku sempat membela diri.

Aku menghela pasrah. Aku tak menemukan sosok mas Ray dimanapun. Rupanya dia menemukan sudut yang pas untuk bisa melihat kami, tapi tanpa bisa kulihat. Entah berada dimana tadi dia berdiri, seperti begitu jelas melihatku mengobrol bersama Rifky hingga membuat kesimpulan seperti itu. Tidak mungkin kan mas Ray akan marah-marah di sini? Masa iya dia bakal senekat itu mengajak berantem di tengah banyak orang seperti ini? Lagipula, ini hanya salah paham. 

Duh, tapi salah paham apa? Apa yang mau dijelaskan? Kenapa juga dia terdengar begitu marah?

“Siapa, sih, Nay? Kamu keliatan terganggu banget?”

“Ky,” kutoleh dia dengan lelah, “kamu kesini mau ketemu siapa, sih?”

“Mau nemuin kamu,” jelasnya, membuatku menghela tertahan. “Kenapa, emangnya? Siapa sih, mas Ray? Abang kamu? Dia ngga suka kamu kudekatin begini? Tadi… di telpon… kalian ngomongin aku, kan?”

“Maksud kamu apa? Deketin aku?”

Rifky tersenyum simpul, berdehem kecil yang entah malah membuatku merasa tidak nyaman.

“Jadi, sebenarnya, aku… udah sejak lama pingin ngomong ini ke kamu. Tapi aku ngga pernah bisa punya waktu yang tepat.  Aku udah nyari kamu sejak lama, Nay, sejak lulus sekolah. Tapi aku ngga tau dimana rumah kamu, nggak tahu gimana cara hubungin kamu. Pokoknya, aku bingung gimana bisa nemuin kamu. Beberapa bulan yang lalu, aku beneran seneng waktu ketemu kamu di gramedia. Kupikir, akhirnya aku bisa berhubungan lagi sama kamu, tapi ternyata kamu sama sekali ngga ada kabar lagi setelah itu. Jadi…”

“Ky, please, jangan muter-muter. Aku bingung. Kamu mau ngomong apa?” potongku. Aku ingin dia selesai mengutarakan maksudnya, lalu segera pergi sebelum mas Ray datang. 

“Karena kita udah sama-sama dewasa, aku punya niatan mau ngelamar kamu,”

Apa?

Apa????

“Kamu kaget, ya?” Rifky tertawa kecil terlihat malu-malu. Tidak. Dia tidak sungguh-sungguh kan? Dia ngomong apa, tadi?

“Aku udah lama suka sama kamu, Nay. Sejak SMA dulu. Kita sekolah bareng, satu kelas sejak kelas 1 SMP. Tapi, aku baru sadar aku suka sama kamu sejak kita mau lulusan SMA. Aku mungkin telat waktu itu, karena setelah lulus, kita sama sekali ngga saling kontak. Kupikir, dengan berlalunya waktu aku bakal bisa ngelupain kamu. Tapi ternyata nggak. Aku masih keingat terus sama kamu, walau jujur, beberapa kali aku pacaran sama cewe lain, setelah putus, aku langsung keinget kamu lagi. Aku sering stalking FB kamu, Nay,” lagi-lagi dia tertawa janggal. “Maaf ya. Tapi dari situ, aku juga tahu, kamu ngga menjalin hubungan dengan siapapun. Aku tanya teman-teman yang sekiranya tahu kabarmu, katanya juga kamu ngga lagi pacaran dengan siapapun. Betah jomblo,” dia menyeringai dengan leluconnya yang sungguh saat ini sama sekali tidak terdengar tidak lucu bagiku.

Tentu saja tidak ada yang tahu, kalau aku berhubungan dengan siapa saja, karena aku jarang mengunggah foto-foto di FB. Tentu saja teman-temanku sekolah dulu tak ada yang tahu aku menikah, karena pernikahanku sangat sederhana, tidak ada teman yang datang kecuali Alina dan teman sekelas satu offering jurusan. Pernikahanku yang sangat sederhana, hingga tak banyak yang tahu.

“Baguslah. Jika kamu menerimaku, itu artinya, aku jadi lelaki pertamamu, ya kan?” 

Di titik ini, rasanya aku ingin menangis. Tapi sepertinya air mataku tertahan, tak sanggup lagi keluar. Mungkin terlalu angkuh untuk mengakui bahwa aku sungguh tak berdaya. Untuk pertama kalinya lelaki yang diam-diam kuidamkan menyatakan cinta untukku. Pernyataan cinta pertama untukku. Untukku sendiri. 

Tapi sama sekali tak bisa kumiliki.

“Tentu saja, tidak,” 

Aku sudah tak sanggup lagi berhadapan dengan Rifky. Aku berhasil menemukan sosok mas Ray yang berjalan mendekat dari arah belakang Rifky. Tapi rupanya dia kesulitan karena berdesakan begitu rapat dengan para manusia yang jumlahnya bisa ribuan orang ini.

“Maaf ya, Ky. Aku ngga bisa.”

“Kenapa, Nay?” dia seperti terkejut dengan jawabanku. Aku tersenyum sinis. Apa dia tidak terbiasa ditolak?

“Aku tahu kok, kamu juga menyukaiku, kan? Kamu mencintaiku, kan? Aku bisa merasakannya, Nay!” Rifky hendak  menggamit kedua tanganku, yang dengan segera kutarik.

“Nay?”

“Aku…” aku bingung harus mengatakan apa. “Mas Ray, yang tadi menelponku,” aku mengangkat ponselku, “dia suamiku.”

Kedua mata Rifky membulat lebar karena terkejut. “Apa? Kamu bohong, ya? Kamu kenapa ngomong seperti itu? Tunggu, Nay!” Rifky menarik tanganku sekali lagi.

“Aku, perempuan yang sudah menikah, Ky…” lirihku. Kuputur tanganku yang berada di genggamannya, dan kutunjukkan cincin yang melingkar di jari manisku. Cincin emas dengan model sederhana, mungil dan hanya bertahtakan satu butir berlian kecil sebagai pemanis. Cincin pernikahanku. 

Rifky melepaskan tanganku. Dia menunduk, masih dengan keterkejutannya, hingga tak menyadari aku yang segera berlalu dari hadapannya.

Aku melawan arus manusia, bersusah payah menghampiri lelaki yang juga berusaha mendekat sambil terus mengamati kami.

Perasaanku campur aduk. 

Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Dia tidak seharusnya hadir lagi, bukan? Seharusnya Rifky sudah mati bagiku. Aku sudah membunuh perasaanku padanya begitu lama. Aku yang tak berani lagi menyimpan rasa padanya, membuat keputusan menikah dengan mas Ray menjadi keputusan terbaik. Aku sama sekali tak membayangkan akan begini akhirnya. 

Seharusnya dia tidak boleh mengatakan itu semua. Dia tidak boleh mengutarakan rasa cintanya padaku. Tidak, ketika aku sudah menjadi istri orang lain, walau tanpa ada cinta di antara kami.

Bullshit tentang cinta. 

Aku muak.

“Aku benar, kan?” mas Ray sudah berdiri di hadapanku. Dia menatapku bukan dengan pandangan marah apalagi murka. Dia terlihat khawatir, dan, sedih?

Benarkah dia terlihat sedih? Kenapa air mukanya terlihat begitu sedih?

“Boleh aku memelukmu sekali saja?” pintaku lirih.

Mas Ray menghela. Terlihat kikuk dia mengulurkan tangannya meraihku. Serasa canggung, dia membawaku dalam pelukannya yang kaku. Untuk pertama kalinya, suamiku memelukku, walau atas permintaanku. Untuk pertama kalinya, kulabuhkan diriku dalam hangat tubuhnya, mencium aroma tubuhnya yang ternyata sudah sangat kukenal, tapi begini terasa begitu dekat. Aku bisa mendengar degup jantungnya, yang semakin lama semakin tidak berirama.

Inilah suamiku. Lelaki yang halal kusentuh. Satu-satunya lelaki yang melihat air mataku jatuh. Lelaki yang seharusnya bisa kucintai, dan halal untuk kucintai. Walau aku tak tahu sampai kapan hubungan ini akan bertahan, tapi selama belum ada kata talaq, dialah sumber surgaku. Aku tak tahu sampai kapan dia tetap halal untukku, tapi selama belum ada perpisahan, dialah suamiku. Bukan lelaki lain. Bukan pula Rifky. 

Bullshit dengan cinta. 

Apa pentingnya cinta? Apa bagusnya meraih bahagia? Jalani saja kehidupan ini.

Diam-diam kuhapus anak sungai kecil yang sempat keluar dari peraduannya. Kurapatkan pelukanku, walau kurasakan pelukan yang dia berikan masih terasa canggung.

Aku hanya ingin memeluknya, untuk memastikan, aku masih berdiri di bumi yang benar.

***

Continue Reading

You'll Also Like

13.8M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
20.1M 2M 55
Sudah terbit dan tersebar di seluruh Gramedia Indonesia -Satu dari seratus sekian hati yang pernah singgah. Kamu, yang terakhir kalinya yang bakal si...
7.2M 660K 76
Dia Kayla Lavanya Ainsley, sosok gadis remaja berusia 18 tahun yang harus terpaksa menikah dengan Rakadenza Zayn Haiden sang saudara tiri akibat wasi...
15.8M 991K 35
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...