Nayyara, Lost in Marriage

By fey_ann

716K 49.6K 1.2K

Nayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. P... More

Prolog
Chapter 1: Oase di Gurun Pasir
Chapter 2: Not That Close
Chapter 3: Kumbang Lalu
Chapter 4: Her for Him
Chapter 5: The in Laws
Chapter 6: Bukan Urusanku!
Chapter 8: Kayla Azzahra
Chapter 9: Melepas Kenangan
Chapter 10: Surprise
Chapter 11: Liburan, Yuk!
Chapter 12: Perjalanan Tak Terduga
Chapter 13: Lullaby
Chapter 14: Maya
chapter 15: Ketemu
Chapter 16: Bukan Aku
Chapter 17: Bad Daughter in Law
Chapter 18: Unexpected
chapter 19: garis dua lagi
chapter 20: Kenyataan Lain
Chapter 21: Aku Cemburu
chapter 22: Aku Pergi
Chapter 23: Tempat Berlindung
"bukan update"
Chapter 24: Tentang Kamu (Kata Rayyan)
Chapter 25: Kayla (Kata Rayyan)
not an update
Chapter 26
Chapter 27: Menikah Itu Pilihan
Chapter 28: Keputusan Besar
Chapter 29: Rahasia Eyang
Chapter 30: Closure
Chapter 31: I, Want, You
Chapter 32: Sayang, Aku Rindu
Chapter 33: Make Her Back
not an update: curhat dooong
Chapter 34: Duh!
Chapter 35: Savage
Chapter 36: Tulip Putih
Chapter 37: PENANTIAN
Chapter 38: PENANTIAN RAYYAN POV
CHAPTER 39: BERAKHIR TIDAK?
CHAPTER 40: Akhir Dari Segalanya
Epilog

Chapter 7: Jackpot

11.1K 1.1K 24
By fey_ann

CHAPTER 7

JACKPOT

Duduk di depan meja kasir, dengan laptop dan tumpukan diktat di hadapanku, membuatku seperti anak kuliahan yang sedang kerja sambilan dan sedang memanfaatkan waktu luang mengerjakan tugas.

Sejak kejadian mama masuk rumah sakit, aku memilih untuk seminimal mungkin berada di dalam rumah. Aku akan mencari alasan untuk bisa pergi ke kampus hampir setiap hari. Atau tidak, seperti sekarang ini, ikut ke café dan menghabiskan waktu sebanyak mungkin di sini.

Sebenarnya, bukan hal baru aku berkunjung ke café d’Troya milik mas Ray. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya bagiku berkunjung sebagai istri dari owner café. Beberapa pekerja yang mengenalku, jadi sibuk menggodaku yang sudah berganti status. 

“Duh, Mbak Naya, sering-sering kesini, Mbak… Bapak itu suka banyak yang godain! Sebagai istri, Mbak Naya itu kudu bisa menjaga suaminya,” bisik salah satu pelayan yang menghampiriku di meja kasir. Café sedang tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung saja kalau masih pagi begini.

“Ah, Mas Tris ngarang, nih… mana ada sih, yang mau sama Mas Ray?” 

“Beneran, Mbak… Bapak itu baiknya suka kelewatan. Suka senyum-senyum sama orang. Apalagi sama perempuan.”

“Lha kalau ngga senyum, dibilang jutek dong? Nanti café-nya jadi sepi gara-gara ownernya ngga ramah! Gaji mas Tris jadi kurang, lho…” godaku balik.

“Wah, ya jangan, Mbak… nanti saya ngga bisa bayar kos, diusir sama ibu kos, tinggal dimana, Mbak?”

Aku menahan tawa. Mas Tris ini, laki-laki, tapi suka lebay. Dia salah satu pekerja café yang blater dari sejak awal kerja. Tapi kekurangannya, suka gossip dan hiperbolanya kebangetan.

“Udah, jangan nggosip terus. Minta tolong pesenin frappuchino, ya, Mas? Sama schotel. Buat Naya,” pintaku. Dia segera sigap dan mengantarkan pesananku ke dapur. Berpikir dan mengetik membuatku lapar.

Suasana café yang lagi sepi seperti ini, membuatku bisa berkonsentrasi. Masih pukul 10. Belum jam makan siang. Yang datang hanya anak-anak kampus yang sedang menghabiskan waktu menunggu mata kuliah berikutnya dengan nongkrong dan menumpang jaringan wifi yang memang disediakan untuk pengunjung. Aku bisa menyelesaikan tugasku sebelum jadwal bimbingan esok.

Agak siang menjelang, beberapa pengunjung akan asyik memenuhi  pojok baca. Satu sudut ruangan café yang didesain lesehan dengan rak-rak pendek berisi penuh buku bacaan yang hanya bisa dibaca di sini sembari menikmati pesanan mereka. Saat mulai sore, pengunjung yang mulai santai akan melepas penat di  skecth corner. Mas Ray meletakkan beberapa canvas kecil kosongan dan alat lukis dan gambar yang bebas dipakai siapa saja yang iseng ingin menuangkan seni. Beberapa canvas yang sudah terpakai, dan bagus, akan dipajang mas Ray. Kalau ada yang ingin membawa pulang, harus menggantinya dengan sejumlah uang.

Konsep café ini bukan biasa, sebenarnya. Unik dan menarik, serta menjadi tempat tujuan segala usia. Selain menu ringannya yang beragam, pengunjung juga bisa menghabiskan waktu dengan buku dan lukisan. Ini bukan café murahan, yang beromset rendah seperti yang menjadi dugaan orangtua mas Ray selama ini.

Owner dari café ini sendiri, juga bukan pengangguran yang hanya duduk diam dibalik meja kasir. Mas Ray itu, seorang pengusaha muda. Dia berinvestasi di banyak lini bisnis lainnya selain sekedar menjadi pemiliki café. Sisi ini yang tak pernah sekalipun ditunjukkan kepada mama dan papa mertuaku. 

Yes. My husband is a real busy businessman. Dia sedang sibuk meeting berkali-kali di ruangannya dengan orang yang berbeda sedari pagi, dan istrinya ini menggantikannya duduk manis di balik meja kasir.

Tak apalah. Masih mending daripada aku stress di rumah memikirkan cara menghindari segala protes Mama Ratih terhadapku. Kupikir-pikir, aku seperti déjà vu. Seperti kembali ke masa dulu saat aku masih belum menikah. Aku dulu sibuk menghabiskan waktu di luar rumah, agar bisa seminimal mungkin berinteraksi dengan keluargaku. Dan tak jarang juga, aku menghabiskan waktu di sini bersama Alina sepulang kuliah.

Tring

Sebuah notifikasi muncul di ponselku mengalihkan pandanganku dari nota-nota pesanan yang ada di atas meja. Laptopku sudah tersimpan sejak pengunjung mulai ramai datang silih berganti. Hanya ada buku materi untuk bahan skripsiku dan nota pesanan di atas meja kasir. Ada pesan yang masuk.

[Terima kasih, Istriku… kamu bantu banget hari ini! Nanti kita ngedate lagi, yuk!]

Aku menahan geli. Masih saja aku tidak terbiasa dengan panggilan itu. Kutoleh ruangan mas Ray yang sedikit terbuka. Kutemukan dia yang tengah memandang ke arahku, tersenyum tipis dengan kepala sedikit dimiringkan dan ponsel di tangannya. Jemarinya melambai pelan, membuat rekan bisnis yang duduk didepannya ikut menoleh padaku.

Malu, segera kupalingkan muka dari ruangan itu. 

Tring

Masuk pesan lagi.

[Yey or Nai?]

Aku tidak membalasnya. Dia itu ngapain, sih? Katanya meeting, kok malah ditinggal chating?

Tring

[Masa ditolak, sih? Ayolah… ngedate kedua. Janji kali ini tempatnya lebih enak!]

Tring

Lagi-lagi. Kali ini aku tidak repot-repot membukanya. Aku kasihan dengan kliennya itu. Pasti menyebalkan sekali lagi enak-enak bicara, malah ditinggal sibuk dengan ponselnya.

Kali ini bukan lagi notifikasi pesan yang masuk. Tapi nada dering telepon! Duh, Mas Ray… Ini keterlaluan namanya! Ngga kasihan dengan kliennya apa? Aku harus membuatnya berhenti.

“Mas, udah dong… taruh hapenya!” aku menerima panggilannya dan langsung mengomel dengan bisikan tertahan. Aku bahkan tak repot menoleh ke ruangannya.

“Lha kamu ngga balas pesanku,” rajuknya di ujung sana.

“Kamu kan lagi meeting. Kan bisa nanti aja, bilangnya. Tunggu temanmu pulang dulu kan bisa, sih? Kenapa—”

Bersamaan denganku mengatakan itu, orang yang kulihat tadi ada di dalam ruangan mas Ray berjalan melewatiku lalu keluar meninggalkan café. Lho? Sudah pulang beneran? Terus ngapain telpon?

“Nay…”

Aku berdiri, dan bermaksud berpaling ke ruangan mas Ray. Tapi langkahku terhenti. Sedikit terkejut hampir saja menjatuhkan ponsel yang masih tersemat di telingaku.

Mas Ray sudah berdiri agak membungkuk bersandar di kubikel samping meja kasir. Ponselnya sendiri juga masih ada ditelinganya.

“Kita ngedate, ya?”

Suaranya bergema jelas. Terdengar dari head speaker ponsel yang belum mati di telingaku, dan juga dari hadapanku langsung. Bedanya, walau sedang bertelepon, aku bisa melihat ekspresi jahilnya yang menahan senyuman geli menyaksikan aku yang sebal sendiri dengan sikapnya tadi.

Tring

[Belum dijawab, lho! Ayo kita ngedate!]

Aku mendelik membaca pesan masuk. Mas Ray malah senyum-senyum geli di depanku.

“Duuuh… Mas… Iyaaaa! Bawel! Kudu banget dijawab, ta?”

***

Ketika mas Ray mengatakan ingin berkencan, seharusnya aku sudah bisa menduganya. Tempat yang akan kami datangi, pastilah tempat yang pernah bersejarah baginya. Suatu tempat dimana dia pernah mengukir kenangan bersama Kayla. Pasti.

Entah apakah karena aku sudah tidak lagi mengharapkan sesuatu yang istimewa, ataukah karena sudah mengantisipasinya. Mau bagaimana lagi. Terlalu banyak kenangan di Malang ini bagi mas Ray dan Kayla. Tentu saja, setiap sudutnya akan menjadi memori yang khusus tersimpan. Aku tidak akan diam-diam menyalahkannya lagi, apalagi merasa muak seperti pertama kali dulu.

“Wah… Mas nya sudah lama ya ngga mampir kesini,” ramah pelayan rumah makan Bebek Bakar Wong Solo yang kami datangi kali ini. Sepertinya mas Ray lumayan sering kesini, sampai-sampai pelayannya hapal dengannya.

“Mau pesan apa, Mas? Seperti biasanya?”

“Iya dong! Bebek Bakar khas nya sini satu. Sama teh anget satu.” Mas Ray menjawab mantap tanpa repot melihat menu. “Kamu pingin makan apa, Nay? Yang pake nasi ya? Tadi siang kamu Cuma makan schotel aja.”

“Kok tahu?” 

“Tahulah…” selorohnya singkat tanpa berniat menjelaskan bagaimana dia bisa tahu. Padahal dia, kan, seharian sibuk di ruangannya terus?

“Halah, palingan mas Tris yang bilang.” Cibiranku membuatnya tergelak.

“Buat pacar barunya Mas Rayan, cobain menu baru ini, Mbak. Bebek Sungging Betutu. Kalau Mbak-nya seneng pedes, mantep bener ini. Bukan Cuma ayam saja yang dimasak betutu. Bebek juga bisa enak, lho! Mau coba?” 

Si pelayan itu turun tangan menawarkan, mungkin karena melihatku kebingungan dengan pilihan menunya. Tapi yang membuatku mengerjap takjub, bukan karena cara promosinya yang mantap saja. Tapi juga sebutan dia terhadapku. Pacar baru mas Ray? Bahkan aku sampai tak sadar ikut mengucapkannya tanpa suara.

“Gimana, Mbak?”

“Eh… boleh, deh.” Aku meringis. “Sama jeruk hangat.”

“Oke. Bebek Bakar satu, Bebek Sungging Betutu satu, teh anget dan jeruk anget masing-masing satu juga. Ditunggu pesanannya ya, Mas Rayyan dan Mbak Pacar…”

Hampir tergelak aku dibuatnya. “Emang aku keliatan kaya pacar kamu ya, Mas?”

Mas Ray hanya mengendikkan bahu enggan menjawab.

“Wah… ngga bener ini. Hayooo… siapa aja nih, yang pernah kamu bawa kesini? Masa itu orang langsung nyebut aku pacar barumu, Mas? Kalau ada pacar baru, berarti ada pacar lama, kan?”

“Udah, ngga usah diladenin. Orangnya memang suka kepo, kok! Sok tahu juga. Mana ada pacar baru? Yang ada malah istri baru.”

“Yeee… ngeles nih, ngeles…” tak mau kalah aku malah lebih asyik menganggu mas Ray, “siapa sih, pacar-pacar lama yang suka kesini juga? Dih… dasar playboy. Ck, ck, ck… ngakunya aja dulu ngga mau pacaran. Ngga pernah kencan? Puih… Ini bukti otentik, lho! Pelayan Bebek Bakar saksinya!”

Mas Ray menepuk pelan mukaku dengan papan menu karena gemas. Aku malah semakin semangat mencibir menggodanya.

“Aku tuh kesini suka sama klien kerja. Bosen kan kalau meetingnya di café tok terus-terusan. Ya… sekali-kali ta ajak keluar, makan-makan.”

“Bohong banget.”

“Iya, Mbak… bohong nih, Mas Ray-nya.” Si pelayan ramah itu kembali datang dengan membawa nampan menghampiri kami. Sambil meletakkan pesanan-pesanan kami, dia bercerita, “Yang saya inget banget itu, satu-satunya pacar yang dibawa Mas Ray sebelum Mbak Pacar. Cantik, orangnya. Berjilbab, anggun banget. Ngga kaya Mbak ini, kan ngga pakai jilbab. Tapi Mbak juga cantik, kok. Tenang saja… cuman selera Mas Ray berubah ya, sekarang? Beda banget dengan yang dulu.”

Gelakku menghilang, hanya menyisakan senyuman saja. “Memang beda sekali, ya, Mas?” tanyaku pada si pelayan yang sangat ramah itu. Sedangkan mataku menatap mas Ray yang mulai terlihat tidak nyaman.

“Udah, Mas… ngga usah dibuka lagi… nanti dia ngambeg, lho…” sergah mas Ray.

“Kalau Mas-nya ingat, jangan-jangan namanya Kayla, ya, Mas, pacar cantik yang berjilbab itu?” 

“Eh… kok Mbak Pacar, tahu? Kenal, ya?”

Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Kenal dong. Mbak Kayla kan kakakku, dan Mas Ray ini kan abangku.”

Pelayan itu meminta maaf padaku karena sudah sangka dan segera berlalu dari tempat kami. Tapi aku tak yakin dia benar-benar merasa bersalah.

“Apa-apaan, sih, Nay!” Mas Ray nampak sedikit emosi. Sepertinya dia tidak menyukai pernyataan terakhirku ke pelayan tadi.

Aku Cuma mengulum senyum. “Makan, yuk! Enak nih kayaknya Ayam Betutu.”

“Bebek Betutu.” Mas Ray mengkoreksi.

“Aku tahu. Aku hanya menganggapnya ayam saja karena tidak terbiasa makan bebek dibumbu betutu. Anggap saja ayam.” Sama seperti aku yang tidak terbiasa disebut istri Rayyan, anggap saja aku adik Rayyan.

“Ck, seharusnya kita ngga usah kesini, dari tadi.” 

“Kenapa? Aku menikmatinya. Aku juga akan menikmati setiap tempat yang akan kamu tuju. Hanya saja aku ngga tahu alasan kamu sebenarnya apa.” Dan aku benar-benar ingin menikmati hidangan di depanku kali ini. Tidak seperti terakhir kali, ketika aku kehilangan selera.

“Alasan apa?”

“Alasan kenapa kamu ngajak aku ke tempat-tempat kamu dan Kayla saat masih sama-sama.”

Kening mas Ray berkerut. Kurasa, kali ini dia yang kehilangan selera makan. Bebek Bakar di hadapannya itu masih mengepulkan asap dan utuh tak tersentuh sama sekali. Padahal aku sudah menyuapkan betutu untuk kesekian kalinya ke dalam mulutku.

“Ngga ada.”

“Terserah…”

“Aku bilang ngga ada! Jangan sensitive, dan punya perasaan macam-macam. Kebetulan saja lima tahun lalu aku pernah kesana kemari dengan dia. Tapi bukan berarti aku sengaja ngajak kamu ke tempat yang sama.”

“Iya… terserah…”

Mas Ray menghela. Sejenak dia terdiam sebelum menanyakan hal yang membuatku tersedak karena tak menduga sama sekali. “Kamu cemburu, kah, Nay?”

Terbatuk-batuk dan panas sekali tenggorokan, hidung dan telingaku. Mataku sampai berair. Tersedak sambal betutu dan terkejut, sama-sama tidak enak rasanya. Mas Ray mengaduk jeruk hangat dan mendekatkannya padaku sebelum kuminum.

Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya menatapku. Mungkin menunggu jawaban dari pertanyaan absurdnya.

“Jangan ngaco!” sergahku begitu batukku mereda. “Ngga ada alasan buat aku cemburu. Ngawur.”

Alis Mas Ray terangkat keduanya, lalu dia mengangguk pelan-pelan. “Hm… ngga ada alasan, ya?”

Sejurus kemudian, dia mulai menyantap makanannya tanpa berbicara lagi. Aku tak tahu, apakah dia benar menikmatinya atau tidak. 

Sebenarnya aku menyesal sudah menyinggung Kayla, membuat dia mungkin teringat lagi, terkenang lagi, dan mungkin merasa sedih lagi. Tapi ini juga dia sendiri yang cari gara-gara, kan? Sengaja membawaku ke tempat-tempat yang penuh kenangan buat mereka berdua. Aku tidak bodoh, aku masih mengingat dengan jelas, semua cerita yang sudah berlalu lima tahun lamanya. Terkubur, mungkin. Tapi tak terlupakan.

“Boleh aku minta satu hal?” Dia bersuara diantara diam panjangnya.

“Apa?”

“Jangan bahas Kayla lagi.”

Deg.

“Tapi, Mas…”

“Dia sudah berlalu, Nay. Episodeku bersamanya sudah berakhir. Udah ngga ada cerita. Ngga perlu diungkit lagi. Kamu bisa diam selama lima tahun ini tanpa bertanya apa-apa. Jadi kuharap, sebagai istri, kamu bisa jaga perasaanmu juga untuk tidak membahas masa laluku.”

“Dulu aku ngga pernah nanya, karena khawatir sama kamu. Tapi bukan berarti aku ngga penasaran, Mas. Dan lagi, dulu bukannya kamu bisa bebas cerita apa aja tentang pacar-pacar kamu yang lainnya. Masa lalu kamu—“

“Tapi bukan untuk dibahas dengan istriku!” suara Mas Ray sedikit meninggi, tapi masih dalam jarak aman. Tidak sampai membuat orang lain menoleh.

“Apa dengan aku menjadi istrimu, membuat kenyamanan kita untuk jujur, berubah?”

Mas Ray mengangkat wajahnya. Beralih dari piringnya yang sudah separuh kosong, menatapku lekat, tak berpindah lagi. Kedua sorotnya yang diam tajam menembus netraku. Aku serasa dihujam pandang yang mengaduk perasaan. Aku sendiri bertanya-tanya, apa yang saat ini ada di benaknya. Yang jelas kutahu, dia sedang menahan emosinya terhadapku.

“Aku mungkin memang istrimu. Tapi aku ini temanmu. Aku sahabatmu selama bertahun-tahun ini, Mas. Aku seng paling ngerti gimana perasaan Mas Ray. Yang paling ngerti tabiatmu. Mas Ray ngga isok bohong sama aku, pura-pura kalau kamu sudah ngga punya perasaan apa-apa sama Kayla. Memangnya aku sebodoh itu? Aku ngga akan pernah mau jadi istrimu, Mas, kalau ternyata status itu bisa mengubah Mas Ray jadi manusia yang ngga lagi mau jujur sama aku.”

Tangan mas Ray yang ada di atas meja, perlahan mengatup, terkepal. Aku bahkan sampai bisa melihat gurat dari buku-buku jemarinya saking kerasnya dia mengepal.

Kuberanikan diri mengulurkan tangan yang sebelumnya tak pernah sekalipun kugunakan untuk menyentuhya kecuali hanya untuk bersalaman. Kusentuh punggung tangannya yang terkepal, dan mengusapnya pelan.

“Jangan berubah menjadi orang asing bagiku, ya?”

Tangan yang terkepal itu perlahan merekah, tak lagi keras. Semoga saja emosinya mereda.

“Dan jangan suka nggombal. Ngga mempan!”

Akhirnya aku bisa melihat tarikan kecil di sudut bibirnya, tipis memang, tapi itu sudah cukup. Melihat senyuman tipis itu membuatku tertular dan ikut tersenyum.

***

Continue Reading

You'll Also Like

19.5M 2.7M 74
Judul awal : Pak Dosen Pak Suami 🚫𝐊𝐀𝐋𝐀𝐔 𝐌𝐀𝐔 𝐇𝐄𝐁𝐀𝐓, 𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐋𝐀𝐆𝐈𝐀𝐓🚫 UNTUK 17 TAHUN KEATAS!! "Shella udah gedee Bu...
53.6M 3.1M 50
SUDAH DIFILMKAN🎬 SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS DAN RINCINYA ONLY NOVEL! #03~Fiksi remaja (19 maret 2021) Argantara the me movie season 1 -Ketika tawam...
25.1M 2.5M 73
Bagaimana perasaan kalian jika dijodohkan dengan seseorang yang tidak masuk kedalam kriteria pasangan impian kalian? itulah yang Zara rasakan. Namany...
AREKSA By Itakrn

Teen Fiction

34M 3.3M 64
"Perasaan kita sama, tapi sayang Tuhan kita beda." ****** Areksa suka Ilona Ilona juga suka Areksa Tapi mereka sadar... kalau mereka berbeda keyakina...