Turn Off [OffGun]

devonnestory tarafından

49.5K 4K 478

TAMAT "Aku memang telah pergi, tapi namaku akan selalu terukir dalam hati." . Cerita yang mungkin akan penuh... Daha Fazla

Prolog
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Goodbye

Epilog

3.1K 212 76
devonnestory tarafından

Melepaskan bukanlah suatu hal yang mudah. Jika melepaskan bisa ditukarkan, mungkin Gun akan menukar seluruh yang ia punya di dunia ini untuk mengembalikan Off, namun itu hanyalah sebuah harapan; sesuatu yang menyakitkan dan paling dihindari oleh semua orang. Hidup di dunia hanya memiliki dua takdir; bertahan atau menyerah, Sukes atau melarat, baik atau buruk, pertemuan atau perpisahan, hidup atau mati, lahir atau pergi, bahagia atau menangis. Tuhan menciptakan dua sisi dalam seluruh hidup manusia, hitam dan putih; hitam penuh dengan air mata, penyesalan, dan kesedihan. Putih penuh dengan haru, kemenangan, dan kebahagiaan.

Kini Tuhan sedang menakdirkan Gun untuk berduka, menempatkannya dalam sisi terendah hidupnya. Pria mungil itu termenung sepanjang waktu bergulir, hidupnya tak bermakna, tawa seolah terhapus bersama air mata yang terus mengalir bagai air hujan di musim dingin.

Pria mungil itu hanya berdiam diri di atas kasurnya yang sudah berantakan tak karuan, menatap kosong lurus ke depan, pikirannya tak punya arah, kedua tangannya terus memeluk pakaian yang tidak pernah lepas dari genggamannya--- mencium pakaian berwarna putih yang masih Gun hafal wanginya membuat hatinya berdenyut sakit dengan bulir basah yang terus keluar deras.

Jika surga bisa ditemukan, maka Gun akan mencarinya sampai ke Angkasa--- menyusul kekasih hatinya yang telah bahagia di sana, namun sayangnya Gun telah berjanji pada Off untuk melanjutkan hidupnya. Andai waktu itu, ia tahu jika Off akan pergi, maka ia tidak pernah berjanji pada Off--- Gun ingin menyusul Off ke mana pun ia pergi. Sayangnya surga tidak semudah Gun menemukan Durham. Ia tidak tahu di mana kekasihnya--- Gun terlalu fokus pada dukanya, melupakan dunia luar yang menanti untuk kembali diarungi--- menjauh dari para sahabat, terutama Tay dan Oab; entah kenapa Gun selalu merasa bersalah pada Off jika melihat Tay dan Oab. Apa mungkin karena Gun begitu dekat Dengan tay sampai Off waktu itu sering dibakar cemburu? Jika Oab, tentu saja karena masalah yang akhirnya memisahkan Gun dan Off selama berbulan-bulan. Gun secara tidak langsung menyalahkan mereka akan kepergian Off.

Andai saja dulu ia mendengar Off untuk tidak terlalu berdekatan dengan Tay, dan andai waktu itu ia menepati janjinya dengan Off untuk tidak pergi bersama teman-temannya, mungkin Off masih bersamanya. Itu yang selalu Gun pikirkan semenjak Off meninggalkannya untuk selamanya.

"Ini bukan salah Tay dan Oab Nak, dan juga bukan kesalahanmu. Temui mereka dan tata kembali hidupmu."

Entah sudah berapa kali Godji mengatakan itu pada Gun, namun tidak sama sekali ampuh. Gun tetap berdiam diri, enggan menerima kenyataan. Godji paham jika kepergian Off adalah titik terendah dalam hidupnya, menghancurkan segalanya yang Gun punya, akan tetapi Gun tidak bisa terus berduka dengan lara, ia harus berjalan hidup dengan tegar. Bukan menyesal, dan menghukum diri seperti ini.

"Tidak ada gunanya kau menyesal Gun, karena penyesalan akan selalu hadir di akhir, ketika Tuhan sudah menetapkan takdir. Jika kau menyesal bukan murung yang kau lakukan, tunjukan rasa menyesalmu dengan memperbaiki segalanya." ujar Kwang menambahkan

Kali ini Gun bereaksi, menatap Kwang dengan sorot mata redupnya. Gun sangat kacau dengan mata begitu sembab.

"Kau benar phi, aku selalu keras kepala dan menyesal pada akhirnya. Selalu begitu, hingga membuat orang yang aku sayangi terluka, dan pergi."

Gun mulai terisak kembali, air matanya sudah tidak keluar lagi, mengering tak tersisa; Hanya bibirnya yang masih mampu bergetar dan mengerang pilu.

"Gun. Off akan dimakamkan, temui dia jika kau menyesali segalanya, kau akan lebih menyesal jika tidak menemuinya di sisa waktunya. Kau membuatnya menangis, apa kau pikir Off tidak melihatmu? Off bersama kita di sini, tidak terlihat dan tidak bisa tersentuh lagi. Kau begitu kejam melukainya, jika terus menangis seperti ini. Temui dia!"

Kwang beranjak dari posisinya, meninggalkan Gun dan Godji keluar kamar. Jika ditanya siapa yang paling sedih, tentu Kwang jawabannya. Ia yang tahu bagaimana kerasnya perjuangan Off untuk sembuh dan mengobati luka hatinya, meninggalkan kehidupannya di Thailand, berdiam diri seorang diri tanpa teman yang selalu ia temui, dan terkurung dalam waktu yang lama; Kwang sudah sangat hafal seluruh penderitaan Off--- Kwang tidak menyangka jika Off akan menyerah pada akhirnya, sebelum melihat para sahabat yang ia rindukan, dan sebelum ia melihat tanah kelahirannya yang sangat ia dambakan selama ini. Sakit rasanya, namun Kwang harus bertahan, ia tahu Off sudah sangat sehat sekarang, sudah sangat bahagia sekarang, hanya tinggal menunggu Gun bisa menerima takdir, maka Kwang bisa menjamin jika Off akan kembali pulang dengan penuh rasa bahagia dan ringan; terbang tanpa beban.
.
.
.

Aula GMM terus ramai dari pagi hingga ke pagi lagi. Ratusan pelayat terus berdatangan dari penjuru Thailand untuk bertemu dan mendoakan pria sipit yang pernah berjaya semasa hidupnya.

Panggung aula penuh dengan ribuan bunga dari ribuan masyarakat Thailand yang sempat menaruhnya tertumpuk di seluruh pelataran gedung GMM. Ratusan bunga mengelilingi tempat tidur abadi berbahan kayu jati berwarna coklat mengkilap dengan foto berukuran medium di posisi depan benda persegi panjang itu; foto yang sempat dinobatkan sebagai siluet paling tampannya, dan ia tunjukan kepada kekasihnya kala itu.

"Pakaikan foto ini untuk mengenang nya phi. Dia sangat suka foto ini." pinta Gun pada Kwang saat Off baru saja dibawa pulang dari rumah sakit menuju aula GMM

Kwang mengusap foto yang menjadi favorit sahabatnya tersebut, menangis di depan tempat abadi yang akan membawa sahabatnya itu menuju surga. Kwang tidak sendiri, ada beberapa artis GMM yang juga menghadiri aula untuk penghormatan terakhir. Orang yang paling menyesalinya selain Gun, yaitu Tay. Pria berbadan tegap tersebut menyesal tidak sempat menemui Off di rumah sakit, tidak berada di sampingnya saat berjuang melawan rasa sakitnya.

"Peng... apakah ini caramu menghukumku yang suka membuatmu cemburu? Apa kau tidak sudi menungguku sebelum terbang bersama para Dewa ke alam sana?"

Tay mengusap lembut pinggiran tempat peristirahatan sang sahabat, menatap wajah damai yang sedang berbaring di dalamnya dengan air mata yang berjatuhan. Di samping Tay, Kwang tersenyum simpul, menunjukkan wajahnya saat pikiran mengenai Off kembali menghantuinya; memori kebersamaan Genk-nya mengalun sendu dalam otak membuat lara kembali menggerogoti hatinya.

Tay berjalan mundur meninggalkan sang sahabat, menuju ke arah keluarga untuk mengucapkan rasa berkabungnya.

Satu pria tampan berbadan tegap kembali berjalan menemui sang superstar sebagai salam perpisahan, menaruh bunga lili putih di sisi kanan peti.

"Sawadee p'Off" sapa pria tampan itu

"Kau sendiri Oab?" tanya Kwang sembari menyeka air matanya

Oab hanya mengangguk, atensinya kembali menatap pria pucat yang sedang tertidur damai dengan senyum samar di wajah tampannya. Pria yang telah ia buat terluka tanpa sengaja, dan dengan gengsinya ia tidak meminta maaf sedikit pun, bahkan menghilang seolah tak menjadi terdakwa dalam kejahatan yang telah ia perbuat.

Oab menangis...

Menangis penuh sesal yang tidak pernah bisa ia perbaiki lagi...

"Phi, Phom koh tost na~" gumam Oab dengan suara sesalnya

Hanya maaf yang mampu Oab lakukan sekarang ini, setidaknya ia telah mengungkapkan rasa sesalnya itu, mengakui kesalahannya selama ini yang tanpa sengaja melukai Off semasa hidupnya.

Puas menangis di hadapan Off, Oab beringsut menjauh dari sana, berjalan menemui keluarga Off dan meminta maaf.

Pintu aula kembali terbuka, mengarahkan ratusan pasang mata menatap ke seseorang yang baru saja memasuki ruangan tersebut dengan begitu tergesa-gesa. Berjalan mendekati benda persegi panjang yang sangat sakral, kakinya melangkah semakin tak gentar, meskipun jarak terasa begitu jauh tak kunjung mendekatkannya pada objek yang ingin dirinya tuju.

Kwang beranjak dari duduknya, tersenyum simpul pada seorang wanita yang kini telah berada di hadapannya. Wanita itu berjalan gemetar semakin mendekati tempat pembaringan orang terkasihnya. Bulir bening meleleh dari kedua mata sipitnya.

"Off~ maaf... Hiks..."

Mook tidak bisa mengendalikan dirinya, melihat Off telah keluar dari raga yang telah memeluknya selama 5 tahun, menyentuhnya dengan penuh kasih sayang. Mook bagai terserang mimpi buruk berkepanjangan, belum selesai ia mengobati luka hatinya akibat cintanya dengan Off, kini pria itu justru semakin membuat luka itu menganga lebar dengan cara pergi meninggalkannya selamanya, dan tidak akan lagi bisa Mook temui seumur hidupnya.

"... Maaf aku terlambat menjengukmu..."

Mook kembali menangis, membenamkan wajahnya di pinggiran peti kayu berbau cat dan formalin tersebut.

Seseorang meremat bahunya saat ia masih larut dalam kesedihan. Mook enggan menadahkan wajahnya, namun rematan itu semakin kuat terasa.

"Maafkan adikku yang telah melukaimu. Izinkan ia pergi dengan tenang Mook."

Mel yang meremat bahu Mook. Meminta maaf mewakili Off kepada perempuan yang Mel tahu telah Off lukai hatinya begitu dalam. Off bahkan selalu menitipkan pesan secara tersirat pada Mel untuk menyampaikan maafnya itu.

"Phi, Mook begitu terluka, apakah sakit ini adalah balasannya? Aku takut tidak sempat membuatnya mengampuniku."

Ucapan Off selalu terbayang di dalam benak Mel, wanita itu menunggu kehadiran Mook sejak kemarin, dan akhirnya pesan Off bisa ia sampaikan sebelum waktu pemakaman.

Mook menatap Off. Tersenyum lembut diiringi air mata yang membuat Mel dan beberapa orang yang melihatnya menangis haru.

"Aku telah memaafkan semuanya Peng, lahir dan batin. Beristirahatlah dalam damai. Aku selalu mendoakanmu." jawab Mook berlapang dada

Bertepatan dengan akhir dari ucapan Mook, seorang kembali terlihat memasuki aula membuat para hadirin kembali mengalihkan pandangan mereka ke satu titik, yaitu kepada Gun Atthaphan--- pria mungil itu berpakaian serba hitam sama seperti para pelayat, wajahnya begitu pucat dengan mata merah sembab, bibirnya bergetar terus-menerus ketika kakinya perlahan menemui sosok yang sempat ia hindari.

Menerima kenyataan jika Off telah pergi, menampar seluruh raga Gun, membuatnya tidak kuasa melihat kenyataan itu, melihat Off yang telah meninggalkan raganya yang tampan itu. Raga yang kini tertidur damai dengan balutan jas hitam putih favoritnya dengan wajah tanpa beban dan terlihat begitu tampan.

Mata Gun menatap lekat ke arah Mook--- Kwang dan Godji berjaga, takut jika Gun akan melakukan sesuatu yang tidak terduga, semuanya bisa saja terjadi tanpa kendali di saat Gun sedang kacau seperti sekarang ini.

Namun ketakutan, tidak terbukti. Gun kini justru memeluk erat Mook, meminta maaf pada wanita jangkung itu dengan kesungguhan hatinya tanpa niat buruk sedikit pun. Mook tercenung, hatinya bergetar sakit namun terasa hangat. Mulutnya terkunci rapat, hanya anggukkan yang mampu mewakili jawabannya terhadap permintaan maaf Gun tersebut. Di depan Off mereka telah berdamai.

Gun mengalihkan fokusnya pada pria tercintanya, matanya kembali mengeluarkan bulir kristal bening begitu deras--- ini kali pertama Gun melihat Off semenjak keluar dari rumah sakit. Ingin rasanya mundur, berlari kembali menjauh dari kekasih hatinya itu, namun hati mereka saling bertautan; menarik seperti magnet yang membuat Gun perlahan mendekati sang tulang punggung.

"Papii~" lirih Gun dengan tangan gemetar yang membelai lembut pipi dingin kekasih hatinya

Tidak ada satu orang pun yang menghentikan pergerakan Gun, semua orang larut dalam tangisan mereka, hanyut dalam situasi berduka yang teramat besar. Kehadiran Gun bagai putaran film Rome & Juliet; Gun dengan hati lapang, begitu tegar menghantar serta ikhlas mengucapkan salam perpisahan kepada sang pemilik hati sebelum beristirahat abadi di tempat terakhirnya.

Gun masih dalam dunianya; meratapi kepedihan hatinya melihat Off telah diam membisu tak bergerak lagi--- Gun tak henti membelai seluruh wajah memucat itu, ia ingin merasakan kulitnya menyentuh kulit kekasihnya lebih lama, sebelum raga itu tak bisa tersentuh lagi.

"Gun akan hantarkan Papii. Gun juga akan tepati janji Papii pada Gun, dan juga janji Gun pada Papii; permintaan Papii. Beristirahatlah dalam damai."

Gun menyematkan cincin milik Off yang sempat dilepas sewaktu melakukan operasi ke jari tengah tangan kanan memucat itu, cincin yang sama seperti yang Gun kenakan.

"Selamat jalan separuh hidup Gun. Selamat jalan Papii..."

Gun mengecup dalam kening pria tersayangnya, menyalurkan seluruh rasa yang ia punya untuk Off seorang saja--- tak perduli bau formalin menusuk indra penciumannya, dan tak ambil pusing dengan air yang terus saja lolos dari matanya. Gun ingin melepaskan seluruhnya, kenangan; kesakitan; dan penyesalan agar orang yang telah meninggalkannya kini bisa pergi dengan tenang.

Haru, dan sedih menyelimuti seluruh penghuni aula. Air mata, dan seka'an pada air tersebut terus terdengar mengalun sebagai penghantar terakhir yang bisa mereka lakukan untuk Off.

Gun terus berada di sisi offenggan berjauhan dengan pujaan hatinya tersebut, memandanginya yang masih belum boleh ditutup oleh apa pun--- Gun masih ingin melihat Off, tidak mengizinkan siapa pun untuk menutup tempat istirahat kekasihnya itu. Para sahabat Gun mulai berdatangan; Jing sebagai orang yang mengenal dan pernah bekerja sama dengan Off datang melayat--- begitu pun dengan musuh bebuyutan Off yaitu Olive, wanita itu juga datang dengan mata memerah akibat merasakan turut kehilangan. Gun tidak mengidahkan kehadiran para sahabatnya itu--- biasanya dia akan mengutamakan para sahabatnya dan justru melupakan kehadiran Off, namun kini justru 180 derajat terbalik; Gun terlalu terlena dengan rasa dukanya, tidak ingin memperdulikan sekitarnya.

Pemakaman dilakukan keesokan harinya, bertepatan dengan Gun yang justru jatuh sakit. Pria itu sempat dilarang pergi menghantar Off, namun ia histeris dan kekeh untuk ikut pergi, mengakibatkan beberapa kali harus jatuh pingsan karena tidak sanggup menghadapi takdir yang telah memisahkannya dengan Off, dan juga karena tubuhnya yang semakin drop.

"Mae~ Gun ingin tidur bersama Papii~"

Godji tidak menjawab, ia membungkam mulutnya yang menahan tangisan itu. Entah sudah berapa kali Gun merancau tentang Off, bahkan pria mungil itu enggan pulang setelah acara pemakaman selesai; menjerit histeris sambil memegangi simbol salib penanda rumah baru Off, memeluk gundukan tanah merah basah tidak memperdulikan baju putihnya yang telah kotor.

"Mae~ Gun ingin temani Papii... Hiks... Pasti Papii sendirian sekarang, kasihan Mae~"

Godji kesulitan membendung tangisannya, isakkan pelan terdengar begitu lirih dari bibir tipis miliknya. Ucapan Gun begitu menyayat hatinya.

"Nak, dengarkan Mae, sayang. Papii sudah bahagia, jadi Mae mohon untuk tidak seperti ini. Kasihan Papii-mu."

"..."

Gun tidak bersuara, hanya isakkan yang mengalun di kamarnya kini. Pikirannya masih terlalu terbuai dengan kesedihan--- ikhlas itu sulit, dan Gun merasakannya kini, ia sudah berusaha, tapi tetap tidak bisa.

"Mae temani na~ kita bobo oke?"

Gun masih enggan bersuara, namun kepalanya memberi jawaban dengan anggukan. Rasa duka menguras habis tenaganya, lemas bagai jely tak bertulang. Gun kini hanya berharap jika hari esok semoga akan lekas datang.
.
.
.

Berdiam diri di kamar menjadi rutinitas baru yang menjadi favorit bagi aktor muda berbakat Gun Atthaphan--- jika dahulu ayahnya pernah memukul dirinya karena selalu keluyuran sampai malam dan tak pernah ada di kamar, sekarang justru sang ayah selalu memohon pada putranya itu untuk keluar dari kamar, pergi menghirup udara segar--- Gun enggan menurut seperti biasa, ia masih menjadi pria imut keras kepala.

Gun duduk di atas ranjangnya yang sudah tak karuan; berantakan. Ia kini sedang membuka kotak berwarna biru dengan beberapa amplop di dalamnya. Mel memberikan kotak itu satu minggu yang lalu pada Gun, tepat setelah acara pemakaman selesai dilakukan, namun Gun belum sempat membukanya, bahkan sempat melupakannya. Surat-surat itu adalah milik Off yang ia tulis sewaktu tinggal di Durham--- surat yang mewakili setiap perasaannya semasa jauh dari Kehidupannya di Thailand.

Gun mengambil satu amplop berwarna kram, bentuknya sudah bisa tertebak jika Off telah menulis surat di dalamnya cukup lama, karena warnanya telah usang, dan sedikit lepek (lembab).

Aku menemukan sebuah puisi dari seorang pujangga asal Indonesia yang membuatku kesulitan dalam menerjemahkannya.

Gun tersenyum, membayangkan bagaimana ekspresi Off ketika menulis surat yang sedang ia baca ini.

"Kesulitan dalam menerjemahkan, ekm, pasti wajahmu sangat tidak etis dengan raut konyol menyebalkan." kenang Gun

Begini bunyi puisinya;

Bunga di atas batu
Dibakar sepi
Mengatas indera
Ia menanti

Bunga di atas batu
Dibakar sepi.

(Sitor SitumorangBunga)

Apa kau tahu artinya? Puisi tersebut begitu bermakna bagiku; mewakili isi hatiku saat aku sendirian kehilanganmu. Bunga memang indah, tapi percuma jika keindahannya tidak terlihat oleh siapa pun; percuma aku menunjukkan besarnya cintaku, tapi kau tidak pernah melihatnya. "Bunga di atas batu" sama seperti diriku yang sendiri tanpa belahan jiwaku, di negeri keras yang asing seperti Durham.

Tanpa sadar aku menantimu Gun, dalam kesepian yang menemaniku bersama sakitnya raga dan jiwaku; seperti bunga yang tumbuh di atas batu, menanti seseorang untuk melihatnya.

Aku tidak ingin kau bersedih melihatku seperti ini--- itu alasanku meninggalkan dirimu. Aku tahu persis bagaimana pedihnya melihat orang yang aku cintai tersakiti, dan orang itu balik menyakitiku. aku tak ingin kau juga merasakannya, karena ulahku.

Aku berharap bisa memperbaiki semua kekacauan yang telah aku perbuat setelah aku kembali nanti.

Papii Rak Gun na~

Gun menadahkan kepalanya, mencoba menghentikan lelehan air mata yang mulai deras keluar. Hatinya menghangat, api kecil mulai sedikit menerangi hidupnya yang gelap, tepat setelah Gun membaca habis surat yang Off buat untuknya.

Gun memasukkan kembali surat itu ke dalam amplopnya. Kemudian memilih satu surat lagi untuk ia baca--- satu surat tidak cukup mengobati rasa rindunya pada sosok si penulis; ia ingin membaca lebih banyak lagi.

Hari ini aku bahagia, kembali bersemangat, setelah dua minggu penuh bersama belahan jiwaku--- tidak lagi kesepian seperti puisi sendu dari Sitor Situmorang.

Aku berharap manakala surat ini sampai padamu, kita telah kembali bersama di Thailand dengan kesehatanku yang sudah membaik. Namun sepertinya aku akan meminta pada p'Mel untuk mengembalikan surat ini padaku jika aku sudah sembuh nanti, agar kau tidak bisa membacanya. Aku malu 555.

Gun kembali tersenyum, kali ini disertai kekehan pelan yang membuat wajah sendunya sedikit lebih cerah. Rupanya surat yang sedang Gun baca merupakan surat cinta penuh luapan berbunga-bunga dan kasmaran yang ingin Off sampaikan padanya sewaktu mereka bertemu di Durham dulu.

Sebenarnya aku takut; takut jika aku telah jauh meninggalkan rumah dan juga dirimu, aku enggan berpisah lagi denganmu bersama waktu yang telah berhenti bergulir dalam kehidupanku. Aku ingin kembali meskipun Tuhan hanya sedikit memberiku waktu, setidaknya aku sudah kembali bersama pria mungilku, dan juga seluruh sahabatku; termasuk Oab.

Papii rak Gun na~

Tuhan berbaik hati mewujudkan harapan Off tersebut, memberikannya sedikit waktu untuk kembali ke negara tempatnya lahir, bertemu sang belahan jiwa, walau tak sempat bertemu para sahabatnya, termasuk Oab.

"Oab?"

Gun menunduk sembil bergumam, air mata kembali keluar tanpa terduga; berderai begitu hebatnya saat nama "Oab" tertulis dalam pesan terakhir Off. Pria itu telah memaafkan kejadian kala itu, kesalahan paling fatal antara Gun dan Oab; walaupun peristiwa tersebut hanyalah salah paham. Kelapangan Off mengampuni kesalahannya membuat rematan kuat berhasil membuat hati Gun kembali sesak dan perih.

Bagi Gun, Off seperti umat yang menjelma menjadi penganut Buddha sejati; taat pada prinsip hidup yang diajarkan pada Dewa semesta alam.  Salah satu sifat Off mengingatkan Gun pada satu ajaran Buddha yang bersabdah bahwa "Ribuan lilin bisa dinyalakan dengan satu lilin, tetapi usia lilin itu tidak akan berkurang karenanya. Kebahagiaan tidak akan berkurang meski setiap saat akan dibagi-bagikan".

Off menebarkan banyak kebaikan dan kebahagian bagi banyak orang dengan setulus hatinya. Bagai lilin yang menyalakan lilin-lilin lainnya tanpa mengurangi usia lilin tersebut. Off mungkin telah berada dalam kenangan, namun ketulusannya akan tetap jelas teringat seumur hidup bagi orang-orang yang pernah mendapatkannya; tidak akan habis dimakan zaman, dan akan tetap terukir indah dalam memori keabadian.

Di dalam keheningan, sepi tidak bergairah, Gun mengambil satu lembar surat terakhir yang Off tulis untuknya. Surat yang Gun ingat merupakan tulisan Off sebelum ia melakukan operasi.

"... Dan ini surat terakhir yang Off titipkan kepadaku untuk dirimu Nong."

Mel pernah menyampaikannya pada Gun, tepat saat pria mungil itu sedang dilanda kekalutan akan kepergian mendadak Papii tersayangnya itu.

Kertas itu hanya tergores sedikit tinta, tidak seperti sebelumnya dengan goresan panjang lebar, penuh dengan tinta.

Gun mulai membuka kertas kaku yang masih tercium wangi kertas baru; terlihat masih putih bersih tanpa noda tinta yang memudar.

Dear Bebii...

Gun, Bebii, jika aku menyerah dan pergi, seperti yang aku takutkan selama ini--- aku mohon padamu, dan tolong sampaikan pada semua orang yang menyayangiku untuk bersikap seperti Rabindranath Tagore yang menyampaikan bahwa Kematian tidak melenyapkan cahaya, ia sekedar memadamkan lampu karena subuh telah datang.

Aku ingin duka tidak berkepanjangan, dan jadikan cita sebagai tujuan baru; harapan di masa depan yang masih harus kau wujudkan; membawa dirimu terus berjalan ke depan.

Papii rak Gun na~

Gun menangis tak bersuara, hilang entah apa sebabnya. Isakan pilu terdengar miris dengan wajah merah padam menahan sesaknya hati. Surat dengan tinta yang masih baru itu didekap Gun erat--- rasa kehilangan muncul, menjalar membelit luka yang terus tergores. Gun sangat merindukan Off, lebih dari sebelumnya. Dahulu Gun meyakini Off akan kembali dari pelariannya, membuat hatinya menguat tidak serapuh saat ini--- kini rindu Gun tidak bisa menghilang, pria sipitnya tak akan kembali lagi.

Membaca surat-surat Off membuat Gun termenung, pikirannya seolah mendapatkan ilham, dan semangat baru. Off benar. Gun masih memiliki tugas yang harus ia selesaikan--- mewujudkan semua harapan; termasuk harapan Off yang belum sempat diwujudkan. Gun bertekad untuk menerapkan semua permintaan yang Off inginkan darinya, tidak melulu egois seperti dahulu; membawa mereka pada gerbang perpisahan, dan rasa sakit berkepanjangan.

Melalui surat-suratnya, Off mengajarkan Gun bahwa cinta bukan hanya sebatas waktu, namun cinta lebih dari itu--- hati mereka akan tetap bertautan, terus mengingat dan mengukir nama masing-masing walau raga keduanya tidak lagi bisa kembali bersatu. Cinta di hati akan tetap abadi sampai Tuhan mempertemukan mereka lagi. Suatu hari nanti--- sembari menunggu, Gun akan memulai hidupnya yang baru, membenahi serpihan kehidupan yang sempat hancur berkeping-keping, menyalakan lagi semangat hidup yang sempat mati sesaat. Kini Gun akan mencoba mengulang hidupnya, walau Off tak lagi di sisinya.
.
.
.

Seperti pepatah "Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan." milik Mahatma Gadhi. Gun punya banyak cinta di kehidupannya, meski tidak sebesar cinta yang Off berikan untuknya, meskipun begitu Gun kali ini akan mensyukuri cinta itu. Cinta dari keluarganya; cinta dari para sahabat dan kerabatnya; serta cinta dari para penggemarnya. Ia juga akan menjaga, dan menghargai cinta itu, tidak seperti dulu mensia-siakannya lagi.

"Gun rak Papii na~"

Gun mengusap pelan penuh kasih sayang bingkai foto yang memajang siluet kekasih hatinya. Masih Gun ingat dengan jelas foto itu yang dua minggu lalu pernah Off tunjukan dan deklarasikan kepada Gun sebagai foto yang sangat ingin ia gunakan ketika pergi nanti.

Foto itu tersimpan rapi di tengah-tengah bersama dupa dan berbagai bunga persembahan pada sebuah ruangan khusus yang sengaja pihak GMM buat sebagai ruang doa untuk mengenang Off. Bukan hanya di lantai 30, pihak GMM juga membuatkannya di area lobby utama untuk para masyarakat umum yang ingin datang mendoakan superstar kesayangan Thailand tersebut.

Siang ini, Gun telah memutuskan untuk kembali ke GMM, memulai karirnya kembali sebagai seorang pelakon panggung sandiwara di dunia entertainment. Gun pergi ke kantor, setelah pulang mengunjungi Off--- seperti janjinya, Gun akan mewujudkan semua yang Off inginkan.

"Apa kau tidak akan menghias rumahku dengan banyak bunga dan menyimpan foto tertampanku di sana?"

Setiap hari selama dua minggu ini, Gun tidak pernah lupa sehari pun untuk menemui Off, menghias rumah abadinya dengan berbagai bunga yang menumpuk indah; Membersihkan simbol salib di rumah abadi itu dengan air mawar agar harum, karena Off sangat menyukai wewangian.

Dua minggu pula GMM bagai lumpuh tak beraktivitas. Jika biasanya gedung itu tak pernah tidur, selalu sibuk dan ramai dengan para pengunjung maupun para staff serta artis;  satu minggu staf GMM banyak yang tidak aktif demi mengurus acara penghormatan bagi Off, serta masih dalam masa berkabung. Dua minggu, beberapa artis yang mengenal baik Off tidak mengambil pekerjaan apa pun, membatalkan seluruh pekerjaan karena masih dalam suasana duka cita. Namun hari ini, semuanya mulai kembali aktif, termasuk Gun yang memilih mengunjungi GMM walau ia belum memiliki agenda apa pun--- Gun merindukan teman-teman dan para staf GMM, maka dari itu ia memilih mengunjungi GMM.
.
.
.
"Gun~ bangun Bebii~"

Suara lembut yang sangat Gun rindukan terdengar begitu nyata, Gun mengerutkan keningnya dengan mata yang masih terpejam. Tubuh mungil itu masih terbaring nyaman di sofa hitam. Seingat Gun, ia sempat berbaring di ruang pribadi artis GMM, dan sepertinya ia memang tertidur di Sofa. Tapi mengapa--- Papii ada di GMM.

Tangan lembut sedikit dingin menyentuh serta mengusap pipi tirus Gun, kembali mengusik tidur nyenyak pria mungil itu.

"Papii~" gumam Gun setengah sadar

Tangan mungilnya mengusap kasar kedua matanya, menduga jika penglihatannya tidak jelas.

"Aku di sini Bebii. Hentikan usapan itu, nanti matamu memerah."

Kekehan pelan mengalun lembut, semakin membuat Gun tidak percaya dengan pria sangat tampan berpakaian monokrom tersenyum damai padanya.

"Rambut Papii kenapa sudah tumbuh banyak?" tanya Gun yang langsung memfokuskan penglihatannya pada rambut tebal berwarna coklat tua, pasalnya seingat dirinya Off tidak memiliki rambut terakhir kali ia melihatnya

Off terkekeh merdu, sedikit mengernyitkan keningnya dengan alis tebal saling bertautan. Tawa lembut Off membuat hati Gun begitu menghangat dengan rindu kembali menggebu.

"Gun rindu Papii."

Off menghentikan pergerakan Gun saat pria imut itu ingin memeluknya. Off menggengam kedua tangan mungil itu.

"Kenapa menangis? Jangan seperti ini." ucap Off lembut yang justru semakin membuat Gun terisak kencang

"Gun... Hiks... Gun bermimpi buruk... Papii meninggalkan Gun hiks... Selamanyahhhhhh"

Off mengusap penuh sayang kedua pipi basah Gun.

"Bebii dengarkan aku. Jarak di antara dua sejoli (sepasang kekasih) bukan hanya selalu harus terlihat atau tidaknya sosok; terdengar atau tidaknya suara; terasa atau tidaknya sentuhan: terhirup atau tidaknya aroma masing-masing di antara kita. Aku akan tetap mencintaimu walau jarak sudah memisahkan raga kita berdua--- kau belahan jiwaku Gun, jodoh yang Tuhan berikan untuk diriku, kau selalu ada di sini..."

Off meletakkan tangan kanan Gun di depan dadanya. Menyentuh debaran lembut itu

"... Di hatiku. Jika aku memadamkan hidupmu, ingatlah itu hanya sementara. Kau harus menyalakannya kembali sampai waktu yang akan mematikannya abadi. Papii rak Gun"

Gun menangis terisak, memeluk Off begitu erat. Rasanya seperti mimpi yang terasa begitu nyata.

"Tuhan jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku kembali. Aku ingin bersama Papii. Tolong hentikan menghukumku, jika memang kepergian Papii adalah hukuman untukku. Jika ini teguran, maka aku telah menyesali segala kesalahan yang pernah aku perbuat padanya."

Gun mengusap terus-menerus wajah tampan Off; ia berharap semua kejadian pahit yang ia rasakan adalah mimpi. Ia berharap Off masih di sampingnya, tidak benar-benar pergi meninggalkannya.

"Sudah, basuh wajahmu yang penuh lendir dan air mata itu. Lalu kita makan bersama."

Bersambung...

Kok ngegantung ya hmmmm.... 🤔

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

168K 8K 46
Bagaimana kehidupan brightwin setelah 2gether the series???? "Bolehkan sekali saja aku egois dalam mencintai..aku mencintai nya di saat dia sudah mem...
137K 11.2K 22
Gun Atthaphan terpaksa harus menikah dengan seorang pria asing yang baru di kenal nya, demi menyelamatkan perusahaan kakaknya. dan pria asing itu ber...
691K 41.8K 43
Ini hanya fiksi belaka, murni imajinasi penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh dunia nyata. Dan saya membuat cerita ini bertujuan untuk meng...