A Romantic Story About Junkyu...

By bucinjunkyu

188K 16.9K 3.6K

DONT LIKE DONT READ!!!!!!!!!!!!!!! Mereka menjalin hubungan karena keterpaksaan, yang lama kelamaan menjadi h... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20 (end.)
21 (epilog.)

10

6.8K 750 108
By bucinjunkyu

Ruangan itu gelap.

Gelap dan sunyi, hingga bunyi klik ketika Junkyu menutup pintu terdengar begitu keras. Dengan gugup Junkyu menelan ludah.

Kenapa sepi? Kemana Haruto?

Apa Haruto mungkin pulang ke rumahnya? Apa mungkin dia tidak tahu kalau Junkyu belum pulang? Syukurlah kalau begitu kejadiannya.

Junkyu berusaha menenangkan dirinya, tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya menghadapi apa yang akan terjadi, seperti hitungan mundur penantian sebuah bom yang akan meledak saja.

Dan bom itu memang meledak.

Dalam hitungan beberapa menit pintu depan terbuka, tidak, bukan terbuka, tapi terdorong dengan kasarnya, lampu-lampu menyala.

Haruto tampak begitu menakutkan, matanya menyala-nyala, rambutnya acakacakan, bahkan pakaiannya yang biasanya selalu elegan dan rapi tampak kusut masai. Yang pasti, Haruto kelihatan begitu murka mendapati Junkyu berdiri di ruang tamu apartemen itu, hanya menatapnya.

Dengan gerakan kasar dia meraih pundak Junkyu dan mengguncangnya begitu keras sampai Junkyu merasa pusing.

"Kemana saja KAU?!" teriak Haruto, lepas kendali.

Junkyu berusaha menjawab, tetapi kepalanya terasa pusing karena Haruto masih mengguncangnya.

"Aku mencarimu ke segala penjuru, kau tahu?!" Haruto masih berteriak.

"Semua rumah sakit bersalin di kota ini aku datangi satu persatu, tapi tidak ada kamu! Kemana saja KAU?"

"Haruto, kalau kau terus mengguncangnya seperti itu, dia akan muntah sebentar lagi."

Sebuah suara tenang terdengar di belakang Haruto, membuat Haruto terpaku, seolah-olah baru menyadari kehadiran sosok di belakangnya.

Yoonbin berdiri dengan santai sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dekat pintu, sepertinya menikmati pemandangan Junkyu yang didamprat oleh Haruto.

Haruto menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha mengontrol emosinya.

Sialan benar Kim Junkyu! Sialan benar lelaki ini!

Tidak tahukah dia begitu cemas tadi ketika sampai malam Junkyu tidak juga pulang?

Tak tahukah dia betapa hati Haruto dicengkeram ketakutan yang amat sangat ketika mencoba menghubungi Junkyu dan menemukan bahwa ponselnya mati?

Beribu pikiran buruk tadi berkecamuk di dalam benak Haruto. Bagaimana kalau Junkyu kecelakaan? Atau dia menjadi korban kejahatan?!
Bagaimana kalau Junkyu terluka parah dan tidak dapat datang kepadanya untuk meminta pertolongan?

Dan sekarang, menemukan Junkyu berdiri di ruang tamu apartemennya, tanpa kekurangan suatu apapun, membuat Haruto dibanjiri perasaan lega yang amat sangat.

Lega sekaligus murka.

Murka karena Junkyu telah membuatnya kacau balau. Murka karena Junkyu telah membuatnya berubah dari Haruto yang tenang menjadi Haruto yang kacau. Murka karena Junkyu telah menumbuhkan sebentuk perasaan yang tidak dia kenal sebelumnya.

"Pro-proses melahirkan temanku bermasalah. Dia... Dia eh... Harus... Dioperasi..."Junkyu masih berusaha mengumpulkan nafasnya, diguncang dengan begitu kerasnya membuat pandangannya berkunang-kunang.

Tangan Haruto yang masih berada di pundaknya mencengkeramnya kuat. "Kalau begitu, apa susahnya meneleponku?! Kenapa kau matikan ponselmu hah?!"

Junkyu mengerjapkan matanya gugup. "Baterai ponselku... Habis..."

"Memangnya tidak ada cara lain buat menghubungiku?! Aku hampir gila memikirkan kau ada dimana! Apa kau pikir aku tidak mencemaskanmu? Kau tahu aku hampir melaporkan kehilanganmu ke kantor polisi! "

"Haruto, sudahlah, toh dia sudah pulang dengan selamat." Yoonbin menyela, berusaha lagi meredakan kemarahan Haruto.

Dengan tajam Haruto menoleh kepada sahabatnya itu. "Cukup Yoonbin, kau boleh pulang, terima kasih sudah menemaniku tadi."

Yoonbin hanya mengangkat bahu menghadapi pengusiran halus itu, dia menepuk-nepuk kemejanya yang juga kusut, lalu melangkah keluar pintu.

"Kau harus menenangkan otakmu, kalau kau seperti ini, makin lama aku makin tidak mengenalmu." kata-kata Yoonbin ditujukan kepada Haruto, tapi matanya menatap tajam ke arah Junkyu, menyalahkan.

"Dan kau, Tuan Putri, lain kali belajarlah sedikit bertanggung jawab." sambungnya dingin sebelum melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.

Ruangan itu menjadi begitu hening sepeninggal Yoonbin.

Haruto diam. Dan Junkyu juga diam, menilai emosi Haruto, takut salah berbicara atau bertindak yang mungkin bisa menyulut emosi Haruto semakin parah.

Setelah mengamati dengan hati-hati, Junkyu menarik kesimpulan kalau kemarahan Haruto sudah mulai mereda. Matanya sudah tidak menyala lagi seperti api, dan napasnya sudah teratur, hanya tatapan tajam dan bibirnya yang menipis itu yang menunjukkan masih ada sisa kemarahan di sana.

"Maafkan aku." bisik Junkyu pelan, takut-takut.

Sejenak Haruto tampak akan mendampratnya lagi, tetapi lelaki itu menarik napas panjang, berusaha menahan diri.

"Sudahlah." gumamnya, melangkah melewati Junkyu memasuki kamar.

Dengan gugup Junkyu berusaha mengejar langkah Haruto yang begitu cepat. "Maafkan aku, aku tidak berpikir kau akan secemas itu."

Tersengal Junkyu berusaha menjajari langkah Haruto menuju kamar.

"Aku... aku terlalu terfokus pada operasi temanku lalu aku... Haruto!" Junkyu setengah berseru karena lelaki itu berjalan terus tanpa memperhatikannya.

Haruto berhenti melangkah, menatap Junkyu, tampak begitu dingin. "Yang penting kau sudah pulang dengan selamat." jawabnya datar.

"Haruto...?"

Junkyu merasa ragu mendengar nada dingin di dalam suara Haruto.

"Sudah! Aku mau tidur!" geram Haruto marah sambil melangkah ke arah ranjang.

***

Laki-laki itu marah, marah besar padanya.

Junkyu bisa merasakannya dari suasana pagi itu, ketika mereka bersiap-siap berangkat ke kantor.

Semalaman Junkyu tidak bisa tidur, dan Junkyu yakin Haruto juga tidak tidur, karena lelaki itu bergerak dengan gelisah sepanjang malam.

Suasana tegang di waktu sarapan pagi itu terasa seperti kawat berduri yang direntangkan, siap putus dan melukainya.

Ia tidak menyukai suasana seperti ini, lebih baik Haruto meledak-ledak marah seperti kemarin, setidaknya semua kemarahannya terlampiaskan, tidak seperti sekarang.

Lelaki itu murka, tetapi menyimpannya sehingga membuat seluruh dirinya tegang dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Kita berangkat bersama." desis Haruto setelah membanting serbet makannya ke meja.

Tangan Junkyu yang menyuapkan roti ke mulutnya berhenti di tengah-tengah.

"Apa?"

"Kita berangkat bersama-sama." ulang Haruto datar.

"Tapi..."

"Tidak ada tapi Junkyu." sela Haruto kasar lalu berdiri dengan marah ke pintu, "Ayo cepat!"

Dengan gusar lelaki itu membukakan pintu mobil buat Junkyu, dan membantingnya ketika Junkyu sudah duduk di kursi, tanpa dapat membantah, tanpa dapat memberikan perlawanan.

Sepanjang jalan, lelaki itu menyetir dengan sangat kasar, seolah-olah melampiaskan kemarahannya. Junkyu hanya duduk berdiam, tidak mau melakukan apapun yang dapat memancing kemarahan Haruto.

"Nanti kau pulang denganku! Kau dengar itu? Kau datang ke ruanganku setelah jam kantor, kita pulang bersama!" gumam Haruto tanpa mau dibantah ketika menurunkan Junkyu di lobi kantor.

***

Hari ini berlalu dengan amat lambat bagi Junkyu, perasaannya tidak enak, sampai kapan Haruto akan marah padanya? Sampai kapan Haruto akan bersikap seperti ini kepadanya?

Dia tahu dia bersalah, tapi dia kan sudah meminta maaf? Lagipula kenapa permasalahan kecil semacam ini begitu dibesar-besarkan oleh Haruto?

Pemikiran itu masih berkecamuk di kepalanya ketika keluar dari lift yang mengantarkannya ke ruangan pribadi CEO perusahaan.

Sebenarnya Junkyu tadi bermaksud pulang sendiri dan mampir ke rumah Sakit menengok Noa, memanfaatkan waktu bebasnya yang dijanjikan oleh Haruto pada waktu perjanjian awal mereka.

Tapi dengan ancaman Haruto tadi pagi, Junkyu tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaan Haruto untuk menemuinya di ruangannya sepulang kerja.

Meja sekertaris Haruto sudah kosong, dengan pelan Junkyu melangkah ke pintu besar ruangan Haruto, mengetuknya pelan.

"Masuk."

Sebuah suara mempersilahkannya dari dalam. Junkyu masuk dan menutup pintu di belakangnya, ketika membalikkan badannya dia terpaku.

Bukan Haruto yang ada di sana, tetapi Yoonbin, lelaki itu sedang duduk santai di sofa, menyesap segelas brendy, menatap Junkyu dengan penilaian santai yang sedikit kurang ajar.

"Tuan Watanabe menyuruh saya kesini setelah jam pulang kantor." jelas Junkyu terbata.

Yoonbin tersenyum, masih duduk santai di sofa sambil menatap brendynya yang tinggal seperempat gelas.

"Aku tahu, Haruto menyuruhku menunggumu di sini, dia sedang menemui tamu penting dari Jerman di ruang pertemuan."

"Oh."

Junkyu tidak tahu harus berkata apa, suasana terasa sangat canggung. Entah karena Junkyu memang tidak kenal dekat dengan Yoonbin, atau karena sikap santai palsu yang ditunjukkan Yoonbin.

"Kalau begitu mungkin saya akan menunggu di luar saja." gumam Junkyu cepat-cepat, ingin segera meninggalkan ruangan itu.

"Bagaimana rasanya?"

Pertanyaan tiba-tiba Yoonbin itu menghentikan gerakan tangan Junkyu membuka pegangan pintu.

"Apa?"

"Bagaimana rasanya menjadi lelaki simpanan pria kaya seperti Haruto?" Yoonbin bangkit berdiri dari sofa dan menghampiri Junkyu.

Junkyu tidak suka mendengar nada melecehkan dalam suara Yoonbin, dia ingin segera keluar dari ruangan ini.

"Eh, mungkin saya harus menunggu di luar."

Junkyu berhasil membuka pintu sedikit, tapi dengan lengannya Yoonbin mendorong pintu itu tertutup lagi.

"Aku bertanya padamu Tuan Putri." ulang Yoonbin sinis.

Junkyu menatap Yoonbin tajam. "Saya tidak akan membiarkan anda merendahkan saya." desisnya pelan.

Ucapan itu membuat Yoonbin tertawa, penuh penghinaan.

"Merendahkan katamu?, bukannya kau yang datang merangkak meminta dijadikan pelacur oleh Haruto?" ejeknya kasar, lalu mencekal lengan Junkyu tak kalah kasar, tak peduli Junkyu mulai meronta-ronta.

"Kau adalah lelaki paling rendah, paling murahan yang pernah kukenal, kau mungkin berhasil merayu Haruto dengan tubuhmu."

Yoonbin menyeringai sinis, "Tak kusangka Haruto bisa bertekuk lutut pada lelaki sepertimu, tapi kau tentu sudah tahu kan? Haruto terbiasa dikelilingi lelaki dan wanita dewasa yang berpengalaman. Jadi citra polos dan kekanak-kanakanmu tentu saja menjadi hal baru yang menyegarkan untuknya."

"Anda salah! Saya tidak begitu." Junkyu berusaha menyela, berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Yoonbin, tapi genggaman lelaki itu seperti capit besi, dan dari napasnya yang berbau brendy, sepertinya lelaki itu setengah mabuk.

"Kau tidak bisa membohongiku pelacur cilik!" Yoonbin menggeram pelan, "Meski dulu aku terpaksa membuatkan kontrak tiga ratus juta yang konyol itu, jangan kira aku akan membiarkanmu menyetir Haruto untuk membuat kekonyolan lain yang merugikannya!"

"Anda salah paham!" Junkyu setengah berteriak, semakin meronta dari cengkeraman Yoonbin yang sangat keras.

"Kau pelacur cilik yang menjual tubuhmu seharga tiga ratus juta." Yoonbin mulai merapat ke tubuh Junkyu.

"Aku mulai bertanya-tanya, apakah hargamu sepadan dengan pelayananmu?"

"Tidak! Lepaskan saya!" Junkyu mulai berteriak membabi buta, berusaha melepaskan diri dari Yoonbin yang semakin gelap mata.

Lelaki itu mencengkeramnya kuat, mendorongnya ke tembok dan berusaha menciumnya dengan kasar.

Junkyu meronta membabi buta, berusaha menghindari ciuman itu sekuat tenaga, memalingkan kepalanya seperti orang gila, dia tak mau disentuh Yoonbin, dia tidak mau!

Haruto! Haruto! Tolong aku!

























tbc.

pendek ya? wkw

Continue Reading

You'll Also Like

48.6M 4.2M 35
[Telah Dibukukan, Tidak tersedia di Gramedia] ❝Untukmu, Na Jaemin. Laki-laki tak sempurna Sang pengagum hujan dan sajak❞ ©tx421cph
7.3M 651K 53
Jisung tak pernah mengerti jalan pikiran sang ayah dan kedua kakak kembarnya. Terutama sang ayah yang selalu menyudutkan dirinya atas semua kesalahan...