PASSED (On Going)

Autorstwa lapanbilan

1.3M 53.1K 4.6K

21+ Mengandung adegan ranjang yang tidak sesuai di bawah usia 21 tahun, dimohon untuk sadar diri ya.. Hidupku... Więcej

Prolog Passed
Bagian 1 Badai
Bagian 2 Pasca Badai
Bagian 3 Pertemuan Rahasia
Bagian 4 Kesalahan yang Sama
Bagian 5 Kesalahan yang Sama 2
Bagian 6 Intim Kembali
Bagian 7 Melepas Segalanya
Bagian 8 Melepas Segalanya 2
Bagian 9 Lampau
Bagian 10 Hari Bercinta
Bagian 11 Namanya...
Bagian 12 Melepas Beban
Bagian 13 Lelaki Bersaudara
Bagian 14 Trauma
Bagian 15 Restu
Bagian 16 Tanganku Tanganmu
Bagian 17 Nora Kami

Bagian 18 Sebuah Fakta

62.1K 3.6K 372
Autorstwa lapanbilan

Haiii.. Senangnya bisa dapat banyak vote, 2ribu lebih loh..

Part ini 2ribu lebih juga yaakkk..

***

"Kakak tidak ingin menjawab pertanyaanku?"

Ranu menoleh sebentar, menyunggingkan senyum kecil yang mengatakan 'tenanglah, itu bukan masalah besar..'

Lagi-lagi senyuman kecut itu yang Riri peroleh. Lagi-lagi sebuah pertanda kegagalan. Lagi-lagi kekecewaan.

Riri menghembus nafas berat, sedikit bertenaga oleh putus asa. Benar, rasanya ia hampir kehilangan kepercayaan diri, tak teguh hati. Hingga muncul kembali pertanyaan itu, sanggupkah mereka menikah?

"Sudah seminggu lebih sejak kita membawa Nora pulang. Sudah selama itu juga kakak berusaha menemui Papa, tapi apa? Hasilnya nihil. Tidak ada kemajuan, tetap saja Papa menolak bertemu dengan Kak Ranu." Riri menuturkan kecewa yang beralasan. Matanya menelisik jauh ke ujung jalan ibu kota.

"Mungkin kita memang tidak akan bisa menikah Kak.."

Kalimat lemah Riri mengutus perhatian Ranu. Lelaki itu tiba-tiba menepikan mobilnya hanya untuk memastikan satu hal yang tak boleh diragukan kekasihnya.

"Kita akan menikah, itu janjiku padamu." Mantap Ranu menatap Riri yang hanya sudi meliriknya. "Apapun halangannya aku akan tetap berusaha."

"Kalau begitu mari kita berusaha bersama Kak. Kita bawa Nora bertemu Papa dan Mamaku." Riri menuntut. "Mungkin dengan begitu mereka akan luluh." Lanjutnya dengan kalimat yang membuat Ranu jengah untuk kesekian kali. Lelaki yang memberinya satu orang putri itu selalu menolak mentah-mentah jika Riri menuturkan ide demikian.

"Kalau ternyata orang tuamu menolak Nora??"

Pertanyaan Ranu membungkam kekasihnya. Sebagai anak, gadis itu tahu betul bagaimana ayahnya. Bahkan sudah merasakan ketidakadilan sebuah keputusan.

Sebenarnya ia paham Ranu tak ingin Nora menyaksikan penolakan kakek dan neneknya, tapi menurut Riri tak ada salahnya mencoba. Kembali lagi, dalamnya laut dapat diukur, dalam hati manusia siapa yang tahu?

"Kita akan jadi orang tua yang jahat kalau sampai Nora punya kenangan buruk tentang penolakan orang tuamu. Jadi biarkan aku berusaha dengan caraku, cukup doakan dan percayalah padaku.." Ranu kembali meyakinkan.

"Tapi sampai kapan?" Riri meninggi.

Ranu memilih diam.

"Sampai kapan kita tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan huh?" Riri menantang. "Apa itu juga bukan hal buruk untuk Nora? Apa yang ada di pikirannya jika tahu kita tidak pernah menikah tapi tinggal bersama? Menurut kakak bagaimana psikologisnya kelak dewasa??"

Riri berhenti sejenak, melihat keterdiaman Ranu yang seakan tak acuh akan penjelasannya. Ia mengatur nafas agar emosi tak ikut campur dalam perdebatannya dengan Ranu pagi ini.

"Sampai kapan kakak akan menyentuhku tanpa menikahiku? Sampai kapan kita ada di kubangan dosa ini?" Tutup Riri melemah. Merasa menjadi serendah-rendahnya manusia.

Ranu mengabaikan. Lelaki itu justru kembali menjalankan kemudi. Memilih diam seribu bahasa hingga sampai di depan kampus kekasihnya.

Tak ada suara. Keduanya sama-sama menahan emosi. Sama-sama tahu usaha yang sudah sejauh ini tak boleh hangus karena keegoisan masing-masing. Lebih baik diam saat suhu pikiran mereka meningkat, lalu kembali bicara saat situasi redam.

***

Kantor Ranu.

Lelaki muda nan cerdas itu tampak sibuk membolak-balik kertas. Alisnya mengernyit sesekali sambil memeriksa layar laptop. Satu berkas ditutup, kembali ditumpuk lalu beralih ke berkas yang lain.

Tok tok tok..

"Ya, masuk!" Perintah Ranu menanggapi ketukan pintu sekretarisnya.

"Mama??"

Ranu tekejut melihat sosok yang berdiri di balik pintu. Bukan sekretarisnya, melainkan sang ibu yang tiada angin tiada hujan tiba-tiba datang mengunjunginya ke kantor.

Arus pemikiran Ranu menebak, pasti ada apa-apa.

"Duduk Ma.." Seraya berdiri dan membenahi jasnya dengan gugup, Ranu mempersilahkan ibunya di sofa. Bertanya-tanya, perihal apa gerangan yang mendorong ibunya sampai berkunjung ke tempat kerjanya. Yang jelas Ranu paham, ada sesuatu yang tak biasa, yang perlu empat mata dibicarakan dengannya. Bukankah itu berarti sebuah keseriusan?

Duduk berdekatan di sofa, sikap gelagapan Ranu sangat tampak di mata ibunya. Seakan pengacara handal itu sedang tertangkap basah berbuat salah, khawatir diadili dengan kejam dan sepihak.

"Kamu sibuk?"

"Ti..tidak Ma. Kebetulan hari ini dan besok tidak ada jadwal sidang."

Hening.

"Tadi.. Mama mampir ke sekolah Nora."

Semula Ranu tak memahami kalimat ibunya. Otaknya belum siap mencerna. Namun seketika lehernya terangkat untuk mencari wajah sang ibunda, sedikit tegang, mengapa ibunya menemui Nora di sekolah?

"Ma..ma ke sekolah Nora??" Sahut Ranu tak percaya.

"Mm.." ibunya mengangguk kecil. "Kenapa? Apa tidak boleh?"

Masih dalam keraguan dan serba ketidakmungkinan, Ranu ingin menepis pertanyaan itu.

"Bukan begitu maksudku Ma, hanya.."

"Mama hanya ingin menemui cucu Mama yang cantik." Potong ibunya lembut.

Ranu terperangah. Ia tak menyangka keputusannya untuk membawa Nora bertemu dengan kedua orang tuanya beberapa hari lalu menghasilkan gelombang suara manis dari wanita yang melahirkannya.

"Mama akui, sejak kamu ajak Nora ke rumah, pikiran Mama tidak bisa lepas darinya. Dia sangat mirip denganmu, dia cantik, lucu, dan dia.. cucu Mama."

Ranu terkejut dalam diam. Ternyata sekuat itu pesona Nora bagi orang-orang di sekelilingnya.

"Mungkin sedikit terlambat, tapi Mama harap kamu dan Riri bisa memaafkan Mama. Juga kalian harus segera menikah, biar ada status yang jelas untuk cucu Mama."

Ini sebuah hadiah besar. Nora memanglah malaikat kecil mereka, yang mampu menyulap kebekuan menjadi begitu mudah mencair. Bayangkan saja, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba ibunya datang dan menyetujui pernikahannya dengan Riri.

"Kamu sudah dapat izin dari orang tua Riri kan?"

Ranu menatap ibunya sebentar, menunduk lesu kemudian. Jawaban yang bisa dengan mudah dipahami oleh ibundanya.

"Kamu sudah bertemu dengan mereka?"

"Belum. Setiap hari aku selalu berusaha menemui orang tua Riri, tapi selalu saja ditolak, bahkan terkadang diusir oleh security. Yah.. Namanya juga perjuangan Ma, harus sabar kan?" Ranu menguatkan diri.

Tertusuk hati seorang ibu melihat putranya tertunduk lesu. Terpukul rasanya mendengar betapa keras perjuangan Ranu. Terkulik sebuah fakta masa lalu yang seharusnya putranya itu tahu. Namun, apakah semudah itu? Apapun alasannya, mengakui sebuah kesalahan bukanlah hal yang mudah.

"Ranu.." Suara berat itu terdengar cukip serius mengusik keteguhan Ranu. "Mama rasa perlu mengakui sesuatu padamu. Sesuatu yang mungkin membuatmu marah dan membenci Mama dan Papa."

Alis Ranu bertarung. Kemantapan ibunya yang memudar menanda betapa pengakuan itu adalah hal yang cukup berat diutarakan.

"Kamu boleh marah pada Mama dan Papa, Mama akui keputusan kami enam tahun lalu adalah sebuah kesalahan besar."

"Apa maksud Mama?" Kening Ranu semakin mengernyit mendapati penyesalan mendalam sang ibunda. Apa gerangan sesungguhnya?

Apa?

***

"Aku merasa bersalah man, dia menangis semalaman, memekik kesakitan saat kumasuki, sampai tidak sadar." Sesal pemuda itu tergambar jelas pada penekanan ujung kalimatnya.

"..."

"Gila kamu! Kabar baik dari mananya? Ya aku tahu itu pertanda dia masih perawan, tapi sumpah aku menyesal melakukannya, aku mencintainya tapi kenapa tega melukainya sejahat itu. Dia masih kelas satu SMA."

"..."

"Aku tidak memungkiri benar-benar puas semalam, aku bahkan kembali memasukinya di tengah malam, tapi sekarang kupikir kepuasan itu sia-sia kalau ternyata dia tidak merasakan hal yang sama. Aku salah, aku bersalah telah mengambil kesuciannya dengan bujuk rayu seperti itu. Sumpah aku menyesal sudah menodainya, aku menyesal.."

Ranu muda tertegun, matanya kosong seraya terus mendengar sahutan respon dari sahabatnya di ujung saluran telepon.

Ia membaringkan tubuh di kasur, menerawang jauh ke langit-langit, menyesali perbuatannya semalam yang telah merenggut kesucian Rinjani seenaknya. Egois.

"Aku tidak yakin dia akan memaafkanku. Dia bahkan meminta pertanggungjawabanku."

"..."

"Tentu saja aku akan bertanggungjawab, kamu pikir aku akan lari kalau sampai dia kenapa-napa, hamil misalnya. Aku mencintainya dan tidak sekejam itu man. Dia masih sangat kecil."

Sosok di luar pintu kamar Ranu yang sedikit terbuka merekam dalam pikiran. Menerka sambil merenggut dada. Ini salah. Ini pertanda buruk. Ada yang salah dengan pergaulan anaknya.

***

"Itu yang Mama dengar enam tahun lalu. Mama dengar semuanya. Dari percakapan teleponmu saat itu Mama tahu kamu telah berbuat salah, tapi kebodohan kami malah memaksamu menjadi pengecut." Sesal wanita itu demikian parah.

"Kenapa Mama tega melakukannya?" Ranu dirundung kecewa, ternyata begini faktanya. Sakit sekali perasaannya. Rasa sakit pengkhianatan luar biasa tampak di wajah kuyunya. "Andai saja Mama dan Papa tidak mengirimku ke Amerika.. Oh Tuhan.. Tidak akan ada tragedi antara aku, Riri dan Rama."

"Tapi kamu tidak akan menjadi sesukses ini jika kami tidak melakukannya bukan?" Wanita itu membela diri.

"Ma?!" Ranu tak habis pikir. Naik darah. "Bisa-bisanya Mama berpikir begitu setelah semua kerusakan yang terjadi akibat ulah Mama dan Papa. Apa artinya pekerjaanku Ma? Apa artinya semua ini? Kalau ternyata aku hanya lelaki pengecut yang tidak bertanggungjawab, apa bedanya aku dengan mereka kubela di kursi pesakitan?? Apa Ma??"

Ranu meraup wajahnya sarat penyesalan dan kekecewaan. Marah besar. Berat sekali hatinya menerima kenyataan ini.

"Maafkan kami Ranu, yang ada di pikiran kami saat itu hanya menyelamatkan masa depanmu, juga kehormatan keluarga. Jangan sampai masa depanmu rusak dan terhenti karena harus bertanggungjawab untuk menikah di usia muda. Setidaknya dengan memisahkan kalian, kemungkinanmu untuk melalukan kembali hal serupa bisa ditiadakan."

"Dengan mengorbankan masa depan anak orang lain maksud Mama?" Sahut Ranu menohok. "Dan Mama masih tanpa merasa bersalah beberapa saat lalu merendahkan Rinjani? Padahal Mama sendiri yang membuatnya mengalami semua ini. Apa yang akan dia pikirkan andai tau fakta ini Ma? Apa??"

Sejak kembali dari Amerika, baru kali ini ibunya menyaksikan Ranu seemosional ini, sebanyak ini bicara. Putra sulungnya itu seakan kembali ke karakteristik semula.

Sementara dalam diri Ranu, rasa kecewa, sedih, marah, semua tumpah ruah menjadi satu. Ia tak dapat bergerak meskipun telah mengetahui fakta bahwa yang menyebabkan dirinya terpisah dari Riri enam tahun silam adalah orang tuanya sendiri. Hanya dengan dalih ketakutan akan kehancuran masa depannya jika dimintai pertanggungjawaban oleh keluarga Rinjani kekasihnya. Ia semakin merasa berdosa pada Rinjaninya.

Lucu. Ironi. Miris.

"Andai saat itu orang tua Riri meminta pertanggungjawaban pada Mama dan Papa, apa kalian akan tetap menyembunyikan keberadaanku?"

"Kami hanya berpikir singkat untuk mencegah hal itu, ya dengan mengirimmu ke Amerika. Setidaknya jika kamu tidak di Indonesia kami punya alasan jika Riri hamil, maka bukan kamu pelakunya.."

Pahit lidah Ranu. Semua terasa getir. Dadanya seakan tertusuk galah panjang mendengar betapa kejam rencana orang tuanya kala itu. "Itu sangat kejam Ma. Jahat sekali. Aku tidak menyangka Papa dan Mama punya pikiran sejahat itu."

"Mama tahu kamu akan marah saat hal ini terungkap, tapi semakin lama Mama menyimpannya akan semakin besar pula rasa bersalah Mama. Terlebih saat wajah polos Nora membayangi Mama. Kamu boleh marah Nak, kau berhak marah.." Wanita itu terus mengiba.

"Entahlah Ma.." Tutur Ranu begitu putus asa. Siapa yang tak bingung jika dihadapkan dengan situasi demikian. Satu sisi ia ingin merahasiakan kesalahan orang tuanya, tapi di sisi lain Rinjani adalah korban dari orang tuanya. Pusing. Ia hanya bisa menyangga kening dengan pergelangan tangan. Berat sekali kenyataan menghampiri.

"Karena itu untuk menebus semuanya, Mama akan coba temui orang tua Rinjani, mungkin dengan begitu mereka bisa luluh dan kalian bisa segera menikah, bagaimana?"

***

Menurut kalian bakal bagaimana?
Respon Ranu bakal kayak apa??

Jangan lupa VOTE KOMENTAR

2RIBU LEBIH YAAA...
Makasih readersku yg super dupsr sabar menanti..
😘😘😘

***

CERITA INI AKAN ADA LANJUTAN TAPI SEMOGA KALIAN SABAR MENANTI, AUTHOR FOKUS MAU LAHIRAN DULU..

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

599K 63.1K 24
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
4.9M 182K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
2.7M 136K 60
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
7M 346K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...