Falling in Your Lies • why do...

By raaifa

5.7K 860 279

"Nice to meet you, I'm Sacharissa Rylance." "Corbyn Besson." "So, you're..." [ w r i t t e n i n b a h a s... More

before...
p r o l o g u e
chapter 1 : cinematographer's project
chapter 2 : a little tour
chapter 3 : actress
chapter 4 : magic word
chapter 5 : airplanes
chapter 6 : too fast
chapter 7 : the first
chapter 8 : you, again
chapter 9 : jealousy
chapter 10 : sweet weekend, at least
chapter 11 : classic you
chapter 12 : you've always got my back
chapter 13 : the first book
chapter 14 : hi from her
chapter 15 : circle
chapter 16 : in a rush
chapter 17 : weekend
chapter 18 : beautiful star
chapter 19 : from the bottom of heart
chapter 20 : the party gone wrong
chapter 21 : break up
chapter 22 : (almost) midnight driving
chapter 23 : goodbye, Princeton
chapter 24 : keep sneaking inside my mind
chapter 25 : the truth
chapter 26 : sorry
chapter 27 : leave the cellphone
chapter 28 : liar
chapter 29 : carissa's final decision
e p i l o g u e
something special called bonus chapter
...after

chapter 30 : under the moonlight confession

130 21 15
By raaifa

-Corbyn POV-

"Hey, how was there?" Daniel menaruh ponsel ke telinganya.

Tidak biasanya ia tidak beranjak untuk menjawab panggilan teleponnya, mungkin bukan panggilan penting. Aku ikut mengecek ponselku, berusaha mengalihkan perhatian agar aku tidak mendengarkan percakapannya.

"Penerbangannya delay?" aku tetap mendengar Daniel berbicara. "Kau serius?"

Perasaan aneh berdesir dalam darahku ketika Daniel menyebut-nyebut tentang penerbangan. Aku sedikit berharap kalau ia sedang berbicara dengan Carissa di seberang sana, tetapi sedetik kemudian, aku langsung berusaha menepis harapan itu sejauh mungkin, karena aku yakin Carissa tidak akan kembali ke Princeton untuk acaranya. Tidak setelah aku mengacaukan perasaannya.

"Tidak, hanya saja—eh, sekitar pukul 7 aku ada janji dengan..." ia berhenti di tengah-tengah kalimatnya. "Tapi tidak masalah, kurasa aku bisa menyesuaikan jadwalku kembali. Aku akan meneleponmu 15 menit lagi."

Ini Carissa, hati kecilku berkata. Tetapi pikiranku selalu berusaha mengatakan sebaliknya. Carissa tidak akan mungkin datang ke Princeton hanya untuk acaranya setelah semua yang telah terjadi. Aku tidak seharusnya berharap.

Alih-alih bermain ponsel, aku hanya memegangnya sambil mendengarkan percakapan sepihak Daniel di telepon. Aku mempertimbangkan untuk bertanya siapa yang menghubunginya, tapi kurasa itu tidaklah sopan. Apalagi mengetahui aku menguping pembicaraannya.

"Oke, da-ah," aku mendengar Daniel mengakhiri pembicaraan, kemudian beralih ke arahku yang sedari tadi berpura-pura memainkan ponsel.

"Carissa," ia memberitahuku seolah mengetahui apa yang kulakukan sejak tadi.

Aku tidak berkata apa-apa.

"Ia dalam perjalanan kemari."

Sudah kuduga.

Ada banyak pertanyaan lain yang muncul di pikiranku yang menyusul pernyataan Daniel. Tetapi aku tidak membiarkan diriku mengatakan itu, yang bisa kukatakan hanyalah pertanyaan tentang kapan Carissa akan tiba di sini.

"Perkiraanku, sekitar 7.30 atau lebih, mungkin."

Aku mengangguk atas jawabannya.

"Carissa meminta aku menjemputnya di bandara," Daniel menambahkan. "Tapi..."

"Kenapa?"

"Aku sudah janji untuk datang ke tempat temanku pada pukul 7 dan sepertinya aku harus membatalkan janjiku sekarang, aku tidak bisa membiarkan Carissa—"

"Aku akan pergi ke bandara," potongku. Entah kenapa aku berani mengatakan hal ini, padahal benakku sedang sibuk memikirkan betapa Daniel rela membatalkan semua janjinya hanya demi Carissa.

Daniel mengerutkan keningnya. "Kau tidak bercanda, 'kan?"

Aku mengangguk. "Kalau kau membiarkanku," aku menambahkan cepat-cepat.

"Tentu saja, dengan senang hati aku akan membiarkanmu pergi. Jangan terlambat, oke?" setelah mengatakan itu ia berdiri. "Aku harus kembali ke rumah. Thanks, by the way."

"Oke," balasku, masih tidak percaya Daniel membiarkanku pergi menjemput Carissa.

Daniel sudah meraih pintu depan saat aku memanggilnya, membuat  langkahnya terhenti.

"Kau lupa memberitahuku detail penerbangannya," kataku, sebenarnya bukan ini yang ingin kukatakan.

Daniel mengangguk. "Aku akan mengirimkannya padamu. Kau benar-benar tidak sabaran."

"Maksudku, sebenarnya..." aku mengakui. "Tolong jangan beritahu Carissa kalau aku yang akan menjemputnya. Aku takut ia merasa— eh...—tidak nyaman?"

"Ya, baiklah. Is that all?" pertanyaan Daniel dibalas anggukkan dariku. "I have to go now. I'm gonna meet my girl, yas! See you!"

***

From: Daniel Seavey
She just arrived. I told her I'm waiting at the coffee shop. Don't go anywhere, she's coming!

Setelah membalas pesan Daniel, aku mulai memindai sekelilingku untuk mencari seseorang yang tidak henti-hentinya merasuki pikiranku. Tak lama, notifikasi pesan masuk kembali muncul di layar ponselku. Ketika aku membukanya, aku mendapati Daniel mengirimkan sebuah foto yang membuatku tidak bisa menahan senyumanku ketika melihatnya.

This outfit, pesan selanjutnya menyusul. Mungkin Carissa sengaja mengirimkan fotonya pada Daniel supaya Daniel lebih cepat mengenalinya. Tetapi hal itu justru memhuatku tidak bisa berhenti memandangi gadis yang menunjukkan duck facenya dalam foto, sampai suara bel pintu berbunyi—menandakan seseorang baru saja masuk ke dalam kedai kopi—mengalihkan perhatianku dari layar ponsel.

Gadis dalam foto itu sekarang berdiri tidak jauh dari pintu masuk, mengenakan blouse yang sama dengan yang baru saja kulihat dalam foto. Hanya satu yang berbeda, sorot ceria yang kulihat dalam foto perlahan memudar seiring langkah kakinya menghampiriku. Kuharap itu tidak berarti apa-apa. Semoga ia hanya terkejut, bingung, atau... apa saja asalkan bukan kecewa.

Aku berdiri dan hendak menyapanya ketika ia tiba di hadapanku, tetapi dering ponselnya lebih dulu menyela.

Ia menempatkan kopernya di sebelah kursi yang ada di hadapanku. "Maaf," ia berusaha mengulas sebuah senyuman. Kemudian beranjak untuk menjawab panggilan teleponnya.

Aku kembali menikmati minuman yang kupesan, menunggu Carissa menjawab teleponnya seraya memikirkan kemungkinan-kemungkinan perasaan yang Carissa rasakan ketika ia mendapati diriku duduk di sini dan bukan kekasihnya. Aku hanya berharap ia tidak kecewa karena hal itu seperti ia kecewa padaku soal filmnya.

"Kau mau... eh..." aku terbata-bata ketika Carissa kembali.

"I'll get take away order, just wait," balasnya lantas kembali beranjak, kali ini untuk memesan segelas minuman.

Aku tidak melakukan apapun selain memerhatikannya menghampiri meja kasir dan menunggu pesanannya. Perasaanku bercampur aduk sejak aku melihatnya. Aku tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi diantara kami.

Setelah mendapatkan pesanannya, ia menghampiriku. "Ayo," ia bahkan tidak duduk terlebih dahulu.

Aku hanya bisa terus memaksakan diriku berpikir positif. Aku mengangguk dan berdiri untuk menuruti keinginannya, meyakinkan diriku kalau ia mungkin lelah dan ingin segera tiba di rumah.

Sepanjang perjalanan menuju ke mobilku hingga kami sampai di depan rumahku, kami benar-benar tidak mengobrol. Percakapan yang keluar dari mulut kami masih bisa terhitung dengan jari. Aku ingat kami hanya berbicara ketika aku menanyakan kabarnya, saat aku mengatakan kalau Daniel tidak bisa menjemputnya, dan ketika ia bertanya padaku apakah dirinya membuatku repot dengan menjemputnya di bandara atau tidak.

Sebenarnya banyak sekali yang ingin kukatakan. Aku juga memiliki banyak pertanyaan yang sudah lama kusimpan untuk dirinya. Tetapi bukannya tidak ingat atau bahkan tidak ingin, aku hanya tidak memiliki keberanian untuk menanyakannya. Aku terlalu gugup dengan semua kemungkinan buruk yang kupikirkan. Jadi, selama perjalanan, kami hanya terdiam. Sesekali aku memerhatikannya menyeruput minuman dan bermain ponsel.

"Kita sudah sampai," aku memberitahu Carissa, kemudian menyadari betapa bodohnya diriku karena mengatakan ini. Tanpa diberitahupun Carissa sudah pasti menyadari mobilnya berhenti.

Ia hanya mengangguk dan mengekorku keluar dari mobil, menuju ke bagasi untuk mengambil koper miliknya.

Carissa hanya menggumamkan terima kasih setelahnya dan membiarkanku pergi begitu saja. Sepertinya jawaban yang kudapat sudah jelas: mulai sekarang kau harus segera membuang harapanmu itu jauh-jauh!

"Corbyn!"

Aku menahan napasku sendiri ketika mendengarnya memanggil namaku, membuatku mematung di halaman rumah. Aku berbalik, berusaha mengulas sebuah senyuman.

"Terima kasih," ujarnya.

Bukankah ia sudah mengatakan itu? "Eh... ya?"

"Maaf, kupikir kau tidak mendengarku tadi," jelasnya terlihat seperti ragu-ragu.

Aku terkekeh. "Aku tahu kau mendengarku, Carissa," kalimat terpanjang yang kukatakan padanya hari ini. "Kuyakin aku cukup keras mengatakan 'ya' tadi."

Ia tersenyum tipis dan memalingkan wajahnya. Kemudian menarik kopernya untuk segera masuk ke dalam rumah Daniel.

Aku sudah berbalik dan bersiap untuk mengubur harapanku dalam-dalam saat aku teringat sesuatu dan kembali menyerukan nama Carissa. Aku tahu ia mendengarkanku karena ia memperlambat langkahnya. Aku berkata tepat sebelum ia menginjak halaman rumah Daniel.

"Kuharap kejadiannya bukan seperti ini," aku mengakui, aku tidak tahu apa yang mendorongku mengatakan ini.

Carissa tidak membalikkan badannya. "Kuharap juga tidak," ia berhasil mengatakannya. "Kalau boleh jujur, kuharap setidaknya kita bisa menjadi teman, saling berbagi cerita seperti dulu."

Benar, 'kan? Ia hanya ingin aku jadi teman dekatnya saja.

"Seharusnya aku tahu," kataku.

Setengah kalimatku berhasil membuatnya berbalik. "Apa?"

"You always love Daniel, right?"

"He's my best friend, my brother, of course I love him. Why shouldn't I?"

Kalimatnya membuatku bingung. Mengapa ia hanya menganggap Daniel sebagai sahabat dan saudaranya? "You... what?"

"I guess, he didn't tell you, did he?"

"Wait," aku berusaha mencerna semuanya. "Don't tell me you both are already broke up."

"Daniel dan aku putus di hari yang sama ketika kau mengatakan 'kuharap kejadiannya bukan seperti ini' untuk pertama kalinya," ia menjelaskan. "Tepatnya ketika kau menyesal dan berharap kau tidak mengatakan kalau kau mencintaiku dan menciumku di pestanya Silena."

"Sorry."

"You don't have to."

"Maksudku, aku tidak hanya minta maaf untuk itu," aku memulai. "I'm sorry for everything. Especially for the short movie. I shouldn't have to did that."

Carissa tidak menjawab. Ia hanya menatapku.

"I didn't expect you for coming," tambahku. "But, thank you. That's mean so much for me."

Carissa mengangguk. "How about—eh..." suaranya menghilang sebelum berkata, "you and Tori? I hope you both are good, don't you?"

"I'm not good and won't be good without you," aku mengakui. "Tori and I are had been broken up right before I kissed you that night."

Carissa menggumamkan sesuatu, tetapi aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas.

"Dan untuk kalimat yang kau sebutkan tadi," aku berusaha meluruskan. "Aku tidak pernah menyesal mengatakan aku mencintaimu dan aku tidak akan pernah menarik kata-kataku kembali. Aku hanya berharap aku tidak minum malam itu. Aku hanya berharap aku mengatakannya dengan sadar sehingga kau tidak perlu meragukan perasaanku."

Lagi-lagi, Carissa hanya menatapku, kali ini lebih dalam. Seperti ia sedang mencari sesuatu dalam diriku atau mungkin mempertanyakan apakah aku berkata jujur atau tidak.

Aku merentangkan tanganku. "Wanna come here?" tanyaku ragu.

Carissa segera berlari, meninggalkan kopernya dan menghampiriku. Ia memberikanku pelukan erat seraya menenggelamkan wajahnya pada tubuhku. Kali ini, meskipun aku tidak dapat melihatnya, aku tahu sebuah senyuman terukir di wajahnya.

I've never feel this thankful in my life. It feels heavenly, like visiting home after being away for so long.

"I love you, Carissa," I lean to kiss the top of her head. "I really do."

Suara ponselnya menginterupsi kehangatan yang kurasakan dari pelukannya. Kuyakin ia berusaha mengabaikannya, tapi aku tidak sependapat.

"Hei, lihat saja dulu," ujarku. "Siapa tahu penting."

Ia melepaskan satu tangannya dariku dan menggunakannya untuk ponsel dari saku ripped jeansnya. Aku tidak berhenti menatapnya selama ia memfokuskan diri ke layar ponselnya. Wajahnya terlihat begitu serius hingga akhinya matanya membulat dan mulutnya mulai terbuka.

"Corbyn," panggilnya.

"Hm?"

"Kita..."

"Ada apa dengan kita?"

"Filmnya!" serunya. "Kita berhasil!"

"Kau serius?"

"Tentu saja," balasnya. "Lihat ini," ia menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan sebuah e-mail. Aku membacanya sekilas. Di sana tertulis kalau kami harus hadir untuk menerima penghargaannya besok malam.

"We did it!" ujarku pada Carissa.

"Yeah, we did it," balasnya cepat.

"And I'm proud of you!"

"I'm proud of you too!"

"I love you."

"I—wait," kukira ia akan membalas ucapanku secepat ia mengatakan kalau ia bangga terhadapku, tetapi ternyata tidak. "Have you ever apologized to Silena, Jonah, and Zach and tell them the truth of the movie?"

"Of course, I did."

"Then what they said?"

"Silena got mad at first, but they apologized me at all."

"Daniel?"

"Aku tidak perlu mengatakan apapun pada Daniel. Ia sudah tahu sejak awal. Ia bahkan membantuku menyusun rencananya."

"Oh my—is he?" ia menatapku seolah aku berbohong. Namun setelah aku mengangguk untuk mengiyakan pernyataanku, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "I'll kill him as soon as I meet him."

"Uh, I feel bad about that."

Ia mengabaikan ucapanku. "You aren't lying to me, are you?"

"No, I'm not," jawabku. "Aku sudah mengatakan semua kebohonganku padamu dan aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah menyembunyikan apapun lagi darimu."

"How sweet," she said as she stand on her tiptoes to reach and give my lips a sweet quick kiss. "I love you."

"Okay, now stop saying that. We'll spend a whole night just for saying 'I love you' if you don't stop right now."

"Bet we won't," she giggles as she runs her fingers on my neck.

"I wanna ask you something, actually," kataku jujur.

"Go ahead."

"Kau tahu," aku memulai. "Seminggu pertama sejak kau kembali ke Denver, aku sering melihatmu mengetikkan pesan teks. Aku selalu menunggumu, aku selalu menunggu pesanmu. Tetapi itu tidak pernah datang, bahkan hingga sekarang. Apa yang kau lakukan sebenarnya?"

Kulihat wajahnya berubah merah dibawah cahaya bulan dan lampu jalan. "Jangan bicarakan itu, aku malu," ujarnya. "Kau seharusnya tidak pernah menangkap basahku melakukan hal itu."

"Jadi, apa yang kau lakukan?"

"Tidak ada."

"Ayolah, Carissa."

"Baiklah, aku berusaha mengetikkan pesan untukmu, aku ingin bicara denganmu."

"Kau merindukanku?"

"Ya—maksudku, tidak, hanya... sedikit."

"Ingat, tidak ada kebohongan lagi."

"Ya, baiklah, ya," ia mengakui. "Kau mau aku melanjutkan ceritanya atau tidak?"

"Oke, aku berhenti. Ayo, teruskan."

"Tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Jadi, aku selalu menghapusnya kembali. Aku hanya ingin bicara denganmu, puas?"

Kami tertawa bersama setelahnya.

"Kenapa kau tidak pernah coba—"

"Shutt," aku menaruh jari telunjukku tepat di depan bibirnya, tidak membiarkan ia menyelesaikan kalimatnya. "Kau harus tau berapa banyak draft e-mailku sejak kau pergi."

Carissa tertawa. "Kau melakukan itu juga?"

Kali ini, aku merasakan pipiku sendiri berubah panas. Tetapi akhirnya aku tertawa juga bersama Carissa. Ia tidak pernah berubah. Ia—

Ekhem, suara seseorang menghentikan tawa kami. Tampaknya, lelaki bermata biru terang itu baru saja turun dari mobilnya. "You both are official, hm?"

Aku dan Carissa sama-sama terdiam. Bukan karena ucapan Daniel, melainkan karena seorang gadis menyusul Daniel keluar dari mobilnya.

"What about you?" Carissa juga berteriak setelah balas berdehem. "Are you both are official?" serunya disusul lambaian tangan dan senyuman pada gadis yang baru saja keluar dari mobil Daniel.

"Is this that girl, Daniel?" kataku berhasil membuat keduanya bertatapan dan memerah.

"She's—"

"Hey, Sis!" Carissa menyela ucapan Daniel. "Daniel talked about you a lot. I think he has a crush on—"

"Carissa!" Daniel menyipitkan matanya pada Carissa. "Answer my question first. Don't you dare—"

"No, before that, I'm gonna ask you a bunch of question and give you a punch, Dani boy."

***

[a/n]: endingnya sesuai ekspektasi gaa? ayo mengakuuu

FIYL abis, bikin oneshots,,

yas or no

cepat jawab!!😠😤

Continue Reading

You'll Also Like

543K 88.5K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
6.7M 496K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
2.1M 331K 67
Angel's Secret S2⚠️ [cepat, masih lengkap bro] "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Ang...
2.6M 217K 65
Kesepian yang selalu menemaninya. Ketakutan yang selalu menghantuinya. Beribu pertanyaan dan kebingungan yang selalu dipikirkannya. Ia adalah gadis b...