Haricatra (Trilogi Pertama, T...

aryalawamanuaba द्वारा

35.4K 3.5K 310

Terbit Januari 2022! Untuk pemesanan, isi formulir di bit.ly/novelharicatra Jika bisa kamu temukan Nagapuspa... अधिक

Epsilon
Perdebatan Mitos
Sepuluh Tambah Sepuluh
Tarian Tupai
Cinta Itu Tidak Buta
Dua Pilihan
Luka Lama
Ambisi di Gunung Sanghyang
Cita-Cita
Murka
Di Bawah Pohon Flamboyan
Sidang Tanah
Di Mana Nagapuspa
SALCON
Nasi Kuning
Di Jalan Pulang
Jual
Harapan
Komang Jaya
Tragedi Burung Pipit
Kehilangan
Aku Melihat Maut
Hutan Pinus Tua
Abirama
Janji
Dadu Maut
Cinta Dua Sisi
Lari
Ke Selatan
Sri Purnami
Hidupku Hanya Bagi Raja
Harta Karun
Batur (I)
Batur (II)
Madu dan Jadam
Baik Atau Buruk
Aku Bukan Penggemarmu
Remang
Tangkapan
Sepakat
Puncak Kembar
Lotus di Atas Batu
Tiga Sekawan
Pamitan
Jangan Katakan Selamat Tinggal

Ujung Lorong

532 71 0
aryalawamanuaba द्वारा

Pintu bergeser. Cahaya menyerbu. Haricatra mengangkat lengannya ke wajah, menyeka terjangan terang. Aroma antiseptik menyublim samar di udara yang tak kalah dinginnya, lalu perlahan-lahan lenyap. Ada kilasan bau sitrus yang nyaman, menari-nari tanpa wujud di jalur napas.

"Kuat berjalan?" Soni bertanya. Agak dilonggarkannya rangkulan lengannya yang panjang.

Haricatra mengangguk setelah matanya benar-benar normal. Mereka sedang berdiri di pangkal sebuah lorong panjang yang hampir seluruhnya terbuat dari kaca. Bagian kanopi lorong itu juga terbuat dari kaca transparan yang melengkung dan samasekali bersih dari segala jenis debu. Nun jauh di atas, di atap yang melengkung putih nan tinggi, puluhan lampu bundar menggantung tak bergerak, memberi asupan cahaya yang terangnya bagai siang hari.

Melihat remaja itu kebingungan, Soni mengulum senyumnya. "Selamat datang di pusat karantina Epsilon," dia mengembangkan lengan. "Kamu sedang berada di salah satu bangunan terbesar di Canggu,—salah satu pantai paling indah di pulau dewata."

Tak sanggup mata Haricatra berkedip. Lorong tempat mereka berpijak berada tepat menembus ruangan yang lumayan besar itu. Lewat dinding kaca yang melengkung, bisa dilihatnya ke lantai bawah. Petugas medis berseragam biru terang berseliweran di antara ranjang-ranjang pasien. Di sisi kiri, deretan ranjang dengan selubung kaca menarik perhatian. Di kanan, ada ranjang-ranjang penuh pasien dengan wajah tertutup sepenuhnya oleh intubator. Ada blok-blok kotak yang tertutup rapat, dan di dalam blok-blok itu pastinya ada pasien dengan rupa penyakit yang terlalu rumit untuk dibahas dengan kata-kata biasa.

"Ada seratus pasien di bawah sana," ungkap Soni. "Kita sedang mengawasi mereka langsung dari atas."

Setiap gerak-gerik yang berlaga di dasar ruangan itu menjerat mata Haricatra untuk terus memandang, menyandera segenap pikirannya untuk terpukau beberapa saat. Berjalan di lorong itu serasa meniti jembatan kaca di gerbang keberangkatan sebuah bandara di musim liburan.

"Dan mereka semua sedang sakit parah," Soni berbisik. Ditahannya lanjutan kalimatnya beberapa saat. "Lebih tepatnya sekarat."

Bocah itu menoleh, mengharapkan penjelasan tingkat lanjut. Tangannya meraih pembatas tepi, lalu digenggamnya erat. Belum pernah dilihatnya orang sakit sedemikian banyak. Seharusnya Epsilon punya obat yang manjur untuk penyakit dari kelas mana pun. Mengherankan saja bahwa di dalam perut sehat Epsilon tersembunyi begitu banyak pasien dengan alat pemindai sinyal-sinyal badan yang berderet menyala di samping setiap ranjang.

"Kamu punya sahabat, Haricatra?" Soni kembali merangkul pundak remaja itu. Mereka berjalan santai, menyasar ujung lorong yang masih lumayan jauh.

Bibir anak itu kelu. Jawabannya macet seperti keluar dari otak yang karatan. "Tidak, Pak," tetesnya. Meski tadi terlintas dalam benaknya wajah Wahyuni yang manis itu, dia memilih bungkam.

"Orang-orang yang kamu cintai?"

"Ada," Haricatra mengingat-ingat. Rasanya sesulit menjawab ulangan sejarah. "Orang tua saya."

Soni menggumam sambil manggut-manggut setuju. "Anakku juga seumurmu," terangnya. "Aku punya tiga anak. Yang pertama baru lulus kuliah di Singapura. Anak keduaku seumurmu. Dia suka main bola. Semua stadion di Bali pernah dicobanya."

Hening.

"Yang ketiga?" Haricatra bertanya.

Soni menghentikan langkah. Pria itu kemudian maju, menatap lurus ke sisi kanan, menyasar deretan ranjang nyaris di sudut. Haricatra mengekor.

"Dia ada di sana," Soni menunjuk ke satu titik.

Dada Haricatra bergelincak. Tak jelas dilihatnya anak yang ditunjuk Soni, namun batinnya mencium sesuatu yang tidak mengenakkan.

"Dia sekarat, Haricatra," demikian Soni menggenapi ngilu yang menyerang dada.

Haricatra mengejar. "Sakit apa?"

"Kanker SALCON."

Nyaris berhenti berdetak jantung anak itu.

Tak ada setitik suara pun dari lantai bawah yang bisa menembus lorong kaca itu. Suasananya begitu hening. Segala hiruk pikuk yang berseliweran di bawah laksana sebuah film bisu yang abstrak. Masing-masing orang punya beban, punya keluhan, punya penyakit. Bahkan untuk manusia sekelas Soni yang menguasai pasar obat di seluruh negeri, kepala masih saja jadi masalah.

"Hal yang paling menyakitkan adalah," pria itu menyandarkan lengannya ke pembatas logam di tepi lorong, mengunci matanya di wajah seorang bocah yang terbaring tanpa daya di antara pasien lain, menjaga rasa tatapannya seprivat mungkin. "Kamu punya segalanya lalu kamu kehilangan segalanya."

Ingin lidah Haricatra berkata sesuatu, namun dia lagi-lagi memilih diam. Fakta yang kini berlaga di hadapannya masih menyisakan kejut yang aneh.

"Jika kamu diberi kesempatan memilih," Soni menggosok-gosok jam tangan digital di lengan kirinya. Tampilan layar mungilnya berpendar, menunjukkan angka 14:15. "Mana yang kamu pilih, Haricatra: kematian atau derita?"

Dengan sudut matanya, Haricatra mengintip jam tangan itu lekat-lekat. Akhirnya dia tahu saat itu pukul berapa. Gila saja. Dia pingsan hampir enam belas jam. Tak terbayang berapa dosis obat bius yang dijejal ke aliran darahnya. Perawat psikopat!

"Yang mana?" ulang Soni.

Anak itu kaget. Dipindainya sekujur lengannya yang kaku dengan tatapan mata yang begitu lemah.

Soni menunggu sembari mendongakkan kepala. Diambilnya napas panjang, mengusir sesak yang mencekal kerongkongan.

"Saya tahu bagaimana rasanya mati."

Aliran napas Soni tersedak. Bocah itu dipandanginya lekat-lekat. "Mengesankan," komentarnya.

"Saya merasakan rasa sakitnya berkali-kali."

Jemari Soni melompat-lompat risau di tepi bingkai kaca. Cincin bermata biru di jari manis kanannya berkilau, seperti mata seekor gurita yang tentakelnya melambai-lambai. "Lalu," sambungnya. "Pernahkah kamu membayangkan rasa perih akibat kehilangan orang-orang yang kamu sayangi?"

Haricatra terpukau. Pertanyaan aneh itu tepat meluncur tatkala dilihatnya seorang pria tua terbatuk-batuk di salah satu deretan pasien. Seorang perawat yang sepenuhnya diselubungi pakaian anti-kontaminasi sedang menanganinya. Tubuh pria itu kurus kering. Wajahnya tirus seperti jeruk kering yang airnya telah terperas habis. Perawat yang diselubungi pakaian ala astronot itu menyuntikkan sesuatu ke balik lengan pasiennya. Terlambat. Dari mulut lelaki kurus kering itu terciprat darah merah yang memerciki lantai dan bantal. Matanya melotot, seolah bertatapan langsung dengan kepribadian maut.

Segera Haricatra menutup matanya, lalu berpaling ke wajah Soni. Pria itu sedang menanti jawabannya dengan wajah datar. Pemandangan mengerikan seperti itu pastinya sudah biasa dilihatnya.

"Saya tidak sanggup melihatnya, Pak."

Soni tersenyum, seperti sebuah tanda kepuasan. Didorongnya punggung Haricatra, dan mereka beranjak lagi. Ujung lorong makin dekat. Ada sebuah pintu elektronik putih yang tertutup rapat dan hanya bisa dibuka dengan sidik jari. Kesan yang benar-benar futuristik.

"Kematian adalah akhir kehidupan setiap orang," kata-kata Soni mengayun pelan, seirama langkahnya. "Tetapi banyak hal lain yang lebih buruk daripada kematian. Kadang orang lebih memilih mati daripada menanggung derita, Haricatra. Orang bilang, kehidupan kadang lebih pahit daripada mati."

Kaki Haricatra terseret. Pergumulan hebat sedang berseteru di dalam kepalanya.

"Orang-orang yang kamu lihat tadi," Soni menunjuk ke sisi kanan. "Mereka pasien SALCON, Nak. Kasusnya meningkat lebih dari 500 orang di seluruh pulau dalam sebulan."

Mata bocah itu hanya melongo.

"Dan di pojok sana," Soni memutar haluan tangannya, menuding deretan blok karantina di pojok kiri jauh. "Tujuh pasien HIV fase akhir. Kamu tak akan sanggup melihat wajah mereka. Melihat bangkai kucing yang digerayangi ulat masih jauh lebih baik."

Goyah kaki Haricatra. Soni paham betul. Anak itu dirangkulnya lagi.

"Mereka semua punya keluarga,—sama seperti kamu," Soni menjamah kepala Haricatra, mengusap rambut anak itu sekali. "Di saat seperti itu, kamu samasekali tak punya pilihan. Kamu hanya terlentang menunggu detik-detik saat napasmu putus."

"Tapi Epsilon punya obatnya," baru kata-kata Haricatra bisa terlontar. Mereka baru saja melewati sebuah jembatan neraka. Semua pemandangan itu nyaris membuatnya gila. "Iya 'kan, Pak Soni?!"

Soni bungkam. Pundak anak itu dilepasnya. Kemudian dia maju dan melepas kacamata. Di sisi pintu elektronik, setitik cahaya laser biru menembus bola matanya. Di bawah mesin pintar itu, kata "RAD" muncul,—inisial untuk sang pemilik bola mata.

Pintu bergeser. Udara menabrak punggung, mengalir cepat ke luar.

"SALCON tidak punya penawar, Haricatra," Soni berpaling ke arah bocah itu, mengangguk, menyilakan Haricatra lewat. "Kami gagal. Epsilon telah gagal melawan SALCON. Sampai sekarang kami tak bisa menemukan antikanker untuk jenis itu."

"Tapi,—" Haricatra tercekal. Soni menggiringnya keluar pintu. Pintu itu tertutup rapat di belakang mereka. "Tapi Epsilon punya segalanya,—teknologi, ahli,—"

Kepala Soni menggeleng. "Kanker itu bermutasi, Haricatra," terangnya. "Ada lima varian mutasi dan semua ilmuwan kami menyerah."

Alis anak itu mengerucut. Tak bisa diterimanya jawaban itu.

Keduanya sedang berdiri di persimpangan lorong. Ada koridor panjang ke kiri dan kanan. Jendela-jendela kaca berderet, meneruskan cahaya matahari yang makin miring ke arah barat. Lantai krem yang sejuk terbentang hingga ujung lorong, dan pendaran udara masih sama dinginnya.

"Ayah dan ibumu ada di balik pintu itu," Soni menunjuk ke ujung lorong kanan. Sebuah pintu kotak berwarna krem tertutup sempurna. "Kamu bisa bertemu dengan mereka."

Anak itu malah tak beranjak. Kepalanya dipenuhi berbagai hal aneh yang membuat semua perasaannya bercampur baur. Tak bisa lagi dia merasakan apa bedanya rindu dengan takut, cinta dan benci, atau marah dan sesal. Seharusnya dia berlari ke ujung koridor, membuka pintu dan memeluk ibunya, tetapi kakinya tiba-tiba jadi begitu sulit digerakkan.

"Baiklah, Nak," Soni menggeser kacamatanya. Diliriknya jam. "Aku harus pergi. Suatu kehormatan bisa berjalan-jalan denganmu hari ini. Semoga bisa bertemu lagi di lain waktu."

Haricatra termangu. Sesederhana itukah?

Soni mengusap kepala anak itu sekali lagi. Dengan detak kaki mantap, lelaki itu berbalik arah, meluncur di koridor kiri, membawanya entah ke ruangan mana.

Napas Haricatra terpompa cepat. "Tunggu!"

Soni berhenti. Dia menoleh.

Membasahi bibirnya berkali-kali, Haricatra membuang semua analisis dalam otaknya. Dengan suara dan tatapan yang mantap, dia berkata, "Akan saya tunjukkan di mana Nagapuspa."

Kalimat itu terisap penuh ke segala penjuru. Soni menghayatinya dalam-dalam. Kemudian, laksana sekuntum lotus yang menyerap air telaga di awal hari, senyum pria itu mengembang sempurna. Dia mendekat, kembali mendorong pundak Haricatra. Keduanya lalu berjalan beriringan, menyasar pintu di ujung koridor kanan.

"Terima kasih," bisik Soni.

Keduanya sampai di ujung koridor. Soni mengangguk mantap. Haricatra maju, memutar gagang pintu. Dadanya meluap-luap. Pintu itu terbuka lebar ke arah dalam. Anak itu langsung histeris.

"Bapak! Ibu!"

Di tengah ruangan, Dhira dan Rani bangkit. Si ibu terkesiap, menyambut anaknya, memeluknya seerat mungkin.

Melihat Soni masuk, Dhira melepas kacamatanya dan menggantungnya di dalam saku. Wajah keduanya adu tegang, persis dua banteng yang bersiap berduel.

"Profesor Dhira," Soni memanggil. Kedua tangannya masuk sempurna ke saku jas putih yang terjuntai. Dua orang sekuriti bertopi dan berseragam biru tua mengapitnya. "Anakmu telah setuju mengantar kita ke Gunung Sanghyang."

Dhira terperangah. Hanya matanya yang mendelik, sebuah perlawanan yang tak berarti. Rani pun bungkam seutuhnya. Tangannya masih sibuk mendekap anaknya yang sebentar lagi akan tumbuh terlalu tua untuk dipeluk dan dicium keningnya. Segera setelah seragam anak itu berganti putih abu, tak akan ada lagi ritual kasih sayang semacam itu.

Soni angkat alis, menunggu jawaban yang nihil. "Kuanggap kalian semua setuju," simpulnya.

Rahang Dhira menebal. Tangannya terkepal kuat.

"Siapkan unit van," perintah Soni. "Kita mendaki sore ini juga."

Kedua sekuriti itu menjawab siap. Mereka bergegas keluar. Handy talkie ditekan. Perintah diteruskan.

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

8.7K 378 9
Blurb: Berawal dari tugas liburan sekolah. Lima remaja yakni: Wawan, Ratih, Rio, Bayu dan Sari, harus mengalami hari-hari terburuk bagi mereka. Menga...
1.1K 360 29
Di Tanah Farbelwin, semuanya hidup bahagia. Tak ada senjangnya strata maupun derita. Semua orang tertawa bersama-sama, tiada luka maupun duka yang me...
86.4K 6K 38
Ini bukan kisah hantu sembarangan. Bukan kisah yang membahas arwah gentayangan. Ini kisah tentang petualangan menghadapi rasa takut seorang manusia y...
37K 1.6K 30
{1} COMPLETED Ketika seorang gadis pendiam memberanikan diri mendekati seorang lelaki. Padahal sebelumnya, dia tidak pernah mengenal apa itu makhluk...