The Eleventh

inariwritingproject द्वारा

3.2K 353 20

Alanis melakukan berbagai upaya untuk menghalangi siapa pun yang akan mencelakai kakaknya, dari dendam bebera... अधिक

Perkenalan
Prolog
1. Sebelas Juli
2. Taruhan
3. Cowok Idaman Prissa
4. Night Club
5. Pesan Pertama David
7. Komik
8. Pulang Berdua
9. Sarapan dari David
10. Adam atau David?
11 Malam Temaram
12 Gangguan Prisa
13 Ciuman Curian
14 Foto Mesra
15. Masalah Evelyn

6. Kekecewaan Alanis

117 18 0
inariwritingproject द्वारा

“Gercep lo!” Suara lantang Kayonna mengejutkan Alanis saat gadis itu sedang tertelungkup di atas tempat tidurnya.

Sudah kebiasaan mereka untuk berkumpul di rumah Alanis. Selain karena rumah Alanis paling dekat dengan sekolah, juga karena rumah Alanis sepi. Papa Alanis bekerja sampai malam. Hanya ada asisten rumah tangga yang pulang pukul tiga sore setelah memasak dan membersihkan rumah.

“Kalian ngagetin gue aja.” Alanis bangkit untuk duduk. Dia melihat Evelyn melemparkan tas punggungnya kemudian melemparkan diri di samping Alanis.

“Sekarang bilang, gimana lo bisa secepat itu ngegaet David?” Kayonna bertanya menuntut. Gadis itu membuka sepatunya dan bersiap untuk mencuci tangan di kamar mandi yang tidak ditutup pintunya.

“Gue juga nggak ngerti awalnya gimana. Tapi sepulang gue dari klub kemarin malam, David ngirimin gue pesan.”

“Sampai jam satu malem?” Evelyn mendongak ke samping Alanis.

“Kok lo tahu?” Wajah Alanis pias. Walaupun mereka sedang taruhan, tidak seharusnya kedua temannya itu tahu apa saja yang terjadi pada dirinya dan David.

“Lo mungkin lupa kalau gue ada di belakang kalian waktu kita di ruang ganti.”

“Jadi kalian udah sedekat itu?” Kayonna yang baru keluar dari kamar mandi membeliak heran. “Sumpah, gue heran. Apa yang sih yang udah lo lakuin?”

“Gue nggak ngelakuin apa-apa. Gue aja pulang bareng Adam.”

Di sampingnya, Evelyn termangu seperti sedang berpikir. Mengingat penggalan-penggalan kejadian yang telah mereka lalui sejak berada di klub itu. Dia mencoba menerka arti wajah David di setiap obrolan yang telah berlalu. Dan ada sebuah kecurigaan yang sedikit mengganggu pikirannya hanya saja dia belum mau mengungkapkan. Dia mensugesti dirinya sendiri, mungkin itu hanya perasaan gue aja.

“Dan tunggu dulu, bersamaan lo dekat sama David, Adam menjauh dari lo. Ini bener-bener kayak teka-teki deh. Mana mungkin David deketin lo padahal lo nggak ngelakuin apa-apa.”

“Udah deh, sekarang berhenti mikirin itu. Lebih baik mikir gimana cara lo buat narik perhatian David,” ucap Evelyn malas sambil memejamkan mata.

“Eh, tumben lo nggak semangat. Biasanya lo yang paling bawel.”

“Gue capek.”

“Lo capek apa sih? Lagak lo kayak udah ngepel lantai rumah aja.” Alanis berucap gemas.

“Gue lagi mikirin gimana caranya biar David deketin gue? Gue kan nggak mau kalah dari lo. Lagian dengan uang sepuluh juta, gue bisa beli baju-baju baru.”

“Emang rambut lo udah nggak laku lagi dijual?” Kayonna menimpali.

“Bulan depan gue ada shooting iklan mie instan.”

“Wah, keren. Pasti banyak duit lo. Gitu masih ngarepin duit dari kita-kita.” Alanis beranjak dari tempat tidurnya ketika ponselnya berdering di atas meja belajarnya.

“Bukan itu tujuan utama gue. Gue beneran naksir David. Tadi aja liat lo jalan bareng David, gue cemburu berat.”

Kayonna tertawa terbahak-bahak. Berbeda dengan Alanis yang justru kehilangan senyumnya. Timbul keyakinan dalam diri Alanis bahwa Evelyn betul-betul cemburu, bukan hanya bercanda.

“Eh, lo udah kayak cewek yang jatuh cinta aja sama si David.” Kayonna berucap di sela-sela tawanya yang berderai.

Memang iya, jawab Evelyn dalam hati. Sayangnya Kayonna tidak peka dengan perubahan wajah Evelyn. Hanya Alanis yang merasakan perubahan itu.

***

Malam ini Bastian pulang lebih cepat dari biasanya. Pukul lima sore dia sudah menunggu Alanis yang baru pulang dari les menjelang Ujian Nasional. Awalnya dia ingin menjemput putrinya itu. Tapi Alanis menolak dengan alasan bahwa dia pulang lebih sore, akhirnya Bastian pulan lebih dulu.

“Papa pulang sore beneran?” Alanis mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan Bastian.

“Kamu kira Papa bohong? Papa pengin ngajak kamu jalan. Kita makan malam di luar. Tadi Papa sudah bilang sama Bu Endah nggak usah masak.”

Wajah Alanis berbinar. Senyumnya mengembang penuh bahagia. “Beneran, Pa? Wah, lama lho kita nggak pernah makan di luar, Pa.”

“Bilang aja kamu lagi pengin makan apa?”

“Gimana kalau sop buntut?”

“Malem-malem begini?”

“Ya, nggak apa-apa, kan?” Alanis membuka sepatunya dan meletakkan di rak dekat pintu dapur. “Kalau gitu aku mandi dulu ya, Pa. Habis itu langsung berangkat.”

Alanis setengah berlari ke dalam kamar. Segera mandi dan berhias diri. Hingga tepat pukul enam sore, dia menuruni tangga mencari papanya. “Ayo, Pa!”

“Cepet banget. Jangan-jangan kamu nggak mandi.” Bastian pura-pura mengendus Alanis.

“Ih, Papa. Beneran aku udah mandi. Udah wangi gini.”

Bastian tertawa kemudian mengambil kunci mobil. “Ayo, berangkat!” Bastian mengangkat sedikit tangan kanannya hingga Alanis menelusupkan tangannya dengan manja. Persis seperti gadis yang bergelayut manja di lengan kekasihnya.

Alanis demikian semringah selama dalam perjalanan. Dia bercerita banyak tentang sekolah dan sahabat-sahabatnya. Bastian mendengar dengan semangat pula. Jarang-jarang mereka punya kesempatan berdua seperti ini. Biasanya selalu disibukkan dengan kerjaan masing-masing.

Semua berjalan dengan lancar sampai mereka selesai makan. Hingga ketika mereka keluar dari restoran menuju mobil di tempat parkir, Alanis melihat seseorang yang demikian dirindukannya. Seseorang yang ditemuinya hanya sekali dalam setahun, yaitu pada hari raya saja. Mamanya.

“Mama!” panggil Alanis spontan.

Bastian yang berada di sampingnya terperangah kaget mendengar sebutan Alanis pada wanita yang sangat dibencinya itu. Lelaki itu mencari keberadaan wanita yang pernah menghiasi hidupnya dulu.

Alanis berlari menghampiri mamanya lalu memeluknya dengan tetesan air mata yang tak dapat ditahan lagi. “Mama, aku kangen.”

Wanita itu sama terkejutnya dengan Bastian. Airin, mama Alanis, memeluk putrinya dengan erat. Dia memejamkan mata merasakan kehadiran buah hati yang telah lama dinantikannya. “Alanis... Mama juga kangen.”

Dari belakang tubuh Alanis, Airin melihat Bastian menghampiri mereka dengan tatapan tidak suka. Tanpa perasaan, lelaki itu menarik lengan Alanis hingga pelukan gadis itu terlepas.

“Sudah, bukan waktunya bertemu sekarang,” ucapnya terdengar kejam di telinga Alanis. Alanis menatap Bastian dengan marah. Dia benci mengapa papanya selalu bersikap demikian. Selalu melarang dirinya untuk bertemu dengan ibu kandungnya sendiri.

Alanis bukannya tidak tahu di mana alamat Airin. Dia sangat tahu. Tapi selain karena Bastian melarangnya, dia juga tidak ingin semakin sulit terlepas dari Airin. Dia berpikir, kalau sering secara sembunyi-sembunyi menemui Airin, akan susah menghapus sosok ibu dalam kesehariannya. Kalau sudah terjadi demikian dia pasti akan berkeinginan untuk tinggal dengan Airin. Lalu bagaimana dengan Bastian? Segalak apapun Bastian, Alanis sangat menyayanginya. Tapi rasa sayang itu tidak bisa menutupi kejengkelannya saat melihat Bastian bertindak sejahat ini. Memisahkan anak dan ibu yang sedang berpelukan.

“Aku masih kangen Mama, Pa.”

“Kita pulang.”

“Nggak mau!”

“Alanis!” teriak Bastian penuh kemarahan. Tangannya siap mencengkeram lengan Alanis. Tapi Alanis berhasil menghindar dan berlindung di balik tubuh Airin.

“Yan, sabar. Kasihan Alanis,” ucap Airin dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu nggak usah ikut campur. Aku mau bawa anakku pulang.”

“Dia juga anakku, Yan.”

“Lupakan saja kalau kamu pernah melahirkannya.”

Alanis tidak percaya papanya akan berkata demikian. Sebesar apa pun dosa mamanya, tak seharusnya Bastian memisahkan begitu kejam anak dari ibunya.

“Aku nggak mau sama Papa. Aku benci Papa.”

“Ayo, pulang!” bentakan Bastian semakin keras.

“Yan, aku mohon. Biarkan Alanis denganku dulu. Aku nggak akan menculiknya!” ucap Airin tegas. Dia membalas tatapan Bastian yang tajam dan dingin seperti ingin membunuh mantan istrinya itu.

Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, Bastian memutar tubuh menuju mobil dan mengendarainya seperti akan mengikuti lomba balap mobil.

***

Airin membawa Alanis ke dalam restoran. Mereka hanya memesan minum untuk menenangkan diri. Wanita itu memberi waktu agar tangis Alanis reda. Sudah lama hal seperti ini dirindukannya, saat anak gadisnya bersandar di bahunya dan dia mengusap lembut rambut Alanis. “Sayang, sudah lama kita nggak ketemu ya.” Airin berusaha tersenyum. Meskipun merasa sesak, dia tidak mengubah posisinya dan tidak berusaha merenggangkan pelukan Alanis.

“Aku kangen banget sama Mama. Papa nggak pernah kasih izin ketemu sama Mama. Aku sendiri takut Papa marah kalau aku nekat,” isakan Alanis masih terdengar.

“Iya Mama tahu. Kamu harus sabar. Papa belum bisa memaafkan Mama. Suatu hari nanti Mama yakin Papa akan berubah dan bisa menerima keadaan ini.”

“Ma, aku pengin tinggal bareng Mama. Tapi aku nggak tega ninggalin Papa.”

Airin tersenyum lagi. “Kamu memang anak baik. Kalau kamu sayang Mama, kamu jangan pernah meninggalkan Papa. Papa sangat menyayangi kamu,” ucap Airin lembut dengan hati yang sakit. Sangat sakit. Sekian lama dia memendam kerinduan. Awal-awal meninggalkan Alanis, bukan hal yang mudah baginya. Tapi dengan seiringnya waktu, dia bisa menerima kenyataan menyakitkan ini.

“Aku sedih kenapa keluarga kita menjadi seperti ini, Ma.” Alanis mendongak melihat wajah ibunya yang cantik dan lembut. “Kenapa ini harus terjadi sama keluarga kita?”

Airin menelan ludahnya dengan getir. Sekelebat dosa masa lalu kembali mengusik memorinya. Tidak pernah dibayangkan bahwa kesalahannya akan merambah pada hidup anak-anaknya. Seandainya saja waktu bisa diulang, dia akan memperbaiki semuanya. Sayangnya, semua sudah terlambat. Bastian tidak pernah memaafkannya.

“Sayang, persoalan dalam setiap keluarga pasti ada. Tapi cara orang dalam menanggapi masalah itu berbeda. Dan inilah jalan yang Papa dan Mama tempuh.”

Airin memberikan nasehat panjang lebar kepada Alanis. Suara lembutnya terus terdengar membuat Alanis kembali sesenggukan menyadari bahwa hidup tak seindah yang dibayangkannya. Pertemuan mendadak seperti ini justru menguras emosi. Rasa sayang, rindu, benci, dan marah bercampur menjadi satu karena keadaan yang tak semestinya.

Rasanya Alanis tidak ingin melepas pelukan ini, hingga ponselnya berdering dan nama Papa tertera di layarnya, Alanis tak dapat mengelak lagi.

Airin menyuruhnya untuk segera pulang. “Jangan bikin Papa khawatir, Al. Kamu harus pulang. Kita bisa bertemu lagi, Sayang,” ucap Airin kemudian mengecup wajah Alanis dengan mata basah. “Mama sayang kamu.”

Meskipun berat, akhirnya mereka berpisah. Alanis memasuki taksi pesanannya dan melambaikan tangan pada Airin sampai taksi menjauh dan dia tidak tidak bisa melihat bayangan ibunya lagi. Ketika sampai di perempatan jalan yang ramai, Alanis meminta turun. Dia ingin sendiri. Berjalan menyusuri trotoar dengan tangis sesenggukan. Saat lelah dia akan berhenti berjalan dan duduk di pinggir trotoar dengan menutup wajahnya.

Air mata yang terus mengalir membuat penglihatannya buram. Tapi seburam apapun bayangan itu, Alanis masih bisa melihat ada sepasang sepatu di hadapannya. Gadis itu mendongak dan melihat selembar tisu yang terulur di depan wajahnya. Penasaran, dia mendongak lebih tinggi lagi, ingin tahu siapa yang berbaik hati memberinya tisu. Lalu wajahnya membeku. Adam?

***

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

SAGARALUNA Syfa Acha द्वारा

किशोर उपन्यास

3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
Antariksa (END) bbyamaa द्वारा

किशोर उपन्यास

321K 19.2K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
3.4M 280K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
HERIDA Siswanti Putri द्वारा

किशोर उपन्यास

639K 25K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...