[REVISI] My Boyfriend, Jeong...

By fourteenjae

461K 30.1K 291

❝kamu adalah yang terkhusus dihatiku.❞ - Jeong Jaehyun ©fourteenjae 2019 editor cover : cheerup0214 Sudah tam... More

chapter 1
chapter 2
chapter 3
chapter 4
chapter 5
chapter 6
chapter 7
chapter 8
announce
chapter 9
chapter 10
chapter 11
chapter 12
chapter 13
chapter 14
chapter 15
chapter 16
chapter 17
chapter 18
chapter 19
chapter 20
chapter 21
chapter 22
chapter 23
chapter 24
chapter 25
chapter 26
chapter 27
chapter 28
chapter 29
chapter 30
chapter 31
chapter 32
chapter 33
chapter 34
chapter 35
chapter 37
chapter 38
chapter 39
chapter 40
chapter 41

chapter 36

4.4K 427 3
By fourteenjae

Vote revisian story ini ya~

Ini buruk dan sangat mengejutkan. Han GoEun sampai tertatih-tatih menyusuri lorong rumah sakit walau baru saja tiba di Korea. Tepat pada hari kedua konser Jepang sedang berlangsung, secara tiba-tiba Han Dongsun menghubunginya. Memberi kabar bahwa Ayah mereka mengalami serangan jantung ringan akibat terlalu lelah bekerja dan sedang menjalani perawatan di rumah sakit.

Dengan bantuan Park Jaemin, Han GoEun berhasil meninggalkan Jepang lebih awal. Bahkan dirinya tidak sempat untuk berpamitan secara benar pada pihak staf ataupun Jaehyun yang sedang tampil di atas panggung. Entah siapa yang akan menggantikan posisinya untuk mengurusi tata rias, ia sudah tidak sanggup untuk memikirkan hal itu karena kekalutannya pada kondisi sang Ayah lebih besar daripada apapun.

Nafas Han GoEun memburu cepat seiring dengan terburu-burunya langkah. Lalu berhenti mendadak ketika mendapati kehadiran sang Ibu tengah bersandar seorang diri. Kedua tangan wanita paruh baya itu terpaut cemas di depan tubuh. Raut kekalutannya tampak jelas menguasai. Ini adalah pemandangan menyakitkan yang Han GoEun lihat setelah kepulangan.

"Ibu," panggilnya lirih.

Wajah lelah sang Ibu menoleh prihatin. Semakin jelas menampakkan titik air yang menggenang di pelupuk mata. Lantas segera pecah ketika Han GoEun mendekap erat tubuh sang Ibu.

"Ayahmu—aku—" ucapan Ibu tersendat-sendat oleh tangis. "—membiarkannya bekerja sendirian saat sedang menemani Yerim belajar. Ini salahku."

"Ibu, ini jelas bukan salamu." GoEun menepuk punggung sang Ibu perlahan-lahan. Sementara tangisnya juga sudah sejak tadi mengalir deras.

Sebelumnya tidak pernah terjadi seperti ini. Ayah tidak memiliki riwayat penyakit apapun dan selalu hidup sehat. Tidak mengonsumsi alkohol, rokok ataupun daging secara berlebihan. Semua berada dalam batas normal. Wajar jika kejadian ini membuat mereka mengalami keterkejutan hingga merasa terpukul.

GoEun membawa sang Ibu untuk duduk di ruang tunggu. Mengusap lembut jejak air mata yang tertinggal di pipi. "Apakah kita sudah bisa menemui Ayah?"

Sang Ibu menggeleng. "Dokter mengatakan bahwa kita sudah bisa menemuinya jika Ayah sudah sadar nanti."

"Lalu dimana Yerim?"

"Yerim berada di rumah. Biarkan dia tetap fokus belajar."

"Oppa?"

"Dia sedang mengurus administrasi di bawah. Kamu tidak bertemu dengannya?"

"Tidak." jawab GoEun menghela nafas panjang. Digenggam erat tangan sang Ibu yang sudah berkeriput halus itu. "Maaf, Ibu."

"Untuk apa?"

"Karena aku bekerja dan tidak membantu restoran bersama kalian. Maaf." lanjut GoEun menunduk.

"Tidak perlu meminta maaf. Tentu saja kamu harus bekerja di sana, itu cita-citamu." balas sang Ibu genggaman balik tangan Han GoEun seraya menenangkan.

Menghening beberapa saat. Ruang tunggu dan lorong yang sepi tanpa percakapan panjang membuat suasana semakin dingin. Melingkupi perasaan cemas dan gelisah yang menjadi satu. Sampai kemudian Han GoEun kembali bersuara. "Ibu, perlukah kita merekrut pegawai untuk bekerja di restoran?" tanya GoEun pelan.

"Apa kamu bilang?"

Itu bukan suara sang Ibu, bahkan mereka berdua menoleh cepat ke arah sumber suara yang tiba-tiba ikut bicara di sela percakapan. Mendapati kehadiran Han Dongsun yang menatap sinis.

Han GoEun menghela nafas panjang. Berdiri menyambut kakak tertuanya yang tampak tak bersahabat. "Oppa—"

"Kamu datang ke sini hanya untuk membuat restoran menjadi milik orang lain?" sela Dongsun. Begitu dingin mengintimidasi sang adik yang kini menatapnya heran.

"Apa maksudmu? Aku hanya memberi solusi agar Ayah tidak kelelahan mengurus restoran. Kenapa kamu justru terlihat kesal?"

"Sepertinya kamu lupa pada kejadian beberapa tahun lalu—"

Han GoEun mendengus kasar. "Tidak perlu diingatkan. Aku masih ingat dengan jelas."

"Seharusnya kamu tidak memberi solusi seperti itu jika masih mengingatnya." tukas Dongsun membuang nafas.

"Lalu bagaimana caramu untuk mengatasi restoran? Kamu juga jarang berada di restoran karena sibuk dengan rutinitas pengangguranmu!" balas GoEun sengit. Membungkam mulut Dongsun hingga tidak kuasa berkata apapun untuk melawan. Seraya tertampar kenyataan oleh ucapan sang adik.

"Kalian berhentilah bertengkar." sahut sang Ibu memisahkan. Kedua tangannya menarik pergelangan masing-masing tangan anaknya untuk duduk bersama.

"Ibu, aku akan mencari pegawai yang bisa membantu kita." tutur GoEun kembali pada topik. Tak mengindahkan ketidaksetujuan Han Dongsun padanya.

"Memangnya mudah untuk mempercayai orang?" Dongsun menyela.

"Karena itu, kita harus pintar memilihnya." terang GoEun tak mau kalah.

"Kenapa juga kamu harus ikut terlibat dalam urusan restoran?" sergah Dongsun. "Jika menjadi penata rias adalah tujuanmu maka lakukan saja dengan sungguh-sungguh!"

"Oppa—"

"Dongsun,"

"Kamu selalu saja berupaya agar terlihat lebih hebat di mata keluarga! Saat ini kamu sedang melakukan pemagangan di sebuah agensi besar. Lalu bertekad juga untuk mengurusi restoran dan mencari pegawai. Tidak cukupkah membuatku semakin kecil di keluarga ini?"

Luapan emosi Han Dongsun berbalik membuat Han GoEun tak mendapat kalimat yang tepat untuk menjawab. Bibirnya terlalu kelu karena selama ini Han Dongsun tidak pernah mengatakan apapun mengenai perasaannya.

"Aku tidak bermaksud seperti itu—"

"Jika tidak bermaksud seperti itu, lakukan saja pemaganganmu dengan benar! Biar aku yang pengangguran ini mengurus keadaan restoran!" emosi Han Dongsun kesal.

"Dongsun, ada apa denganmu? Ini rumah sakit. Tenanglah sedikit!" ujar sang Ibu mengomeli. "Kenapa juga kamu harus berkata seperti itu pada adikmu sendiri?"

Han GoEun tertunduk dalam. Menautkan genggam dengan perasaan terluka. Dia pikir dengan melakukan pemagangan di perusahaan besar akan membuat Han Dongsun lebih mengakui kemampuannya dengan bangga. Dapat mengurangi beban yang musti ditanggung dari pendapatan restoran. Tapi kenapa seperti ini?

"Aku hanya ingin mendapat uang banyak agar keluarga kita tidak kekurangan apapun." tutur GoEun lirih. Air matanya menggenang tanpa kuasa. "Tidak bermaksud membuatmu merasa kecil. Aku hanya ingin membantu."

Han Dongsun membuang nafas kasar. Ia juga tidak bermaksud menyakiti hati adiknya melalui kata-kata dan sikap. Hanya saja ini terlalu melelahkan bagi seorang laki-laki sulung yang memiliki dua adik perempuan. Kakak tertua yang seharusnya dapat menjadi sandaran bagi adik-adiknya justru menjadi lemah tak memiliki keterampilan apapun. Menelan bulat-bulat kesuksesan sang adik yang terlihat mulus.

"Aku akan mencari pegawai untuk ditempatkan di restoran." ucap Dongsun kemudian. Membuat Han GoEun mengangkat kepala menatap sang kakak, takut-takut kalau dia salah dengar.

"Apa tadi katamu?"

Han Dongsun menoleh pada sang Ibu, menggenggam erat menyalurkan ketenangan. "Kekhawatiran pada pengkhianatan selalu membuatku gelisah untuk mempercayai orang. Tapi sepertinya, kita harus belajar untuk kembali percaya bahwa tidak semua orang akan melakukan kejahatan itu, kan?"

"Benar," jawab sang Ibu terharu.

"Aku akan mencari pegawai paling kompeten untuk bekerja di restoran. Agar kita tidak perlu merasa cemas berkepanjangan lagi. Dengan begitu, Ayah dan Ibu juga akan memiliki jam istirahat yang banyak." jelas Dongsun merinci.

"Kita bisa mendapatkannya?" tanya Ibu khawatir.

Dongsun mengangguk. "Kita pasti mendapatkannya." Lelaki itu lekat menatap sang Ibu. "Aku minta izin untuk bertanggung jawab secara penuh mengurus restoran."

"Eh?!" pekik GoEun membekap mulut tak percaya. "Kamu serius?"

"Seperti katamu, walau aku pengangguran, aku akan bekerja sepenuhnya di restoran. Mencari pegawai dan berusaha mendatangkan banyak keuntungan berkali-kali lipat dari sebelumnya. Ibu dan Ayah tidak perlu khawatir." terang Dongsun begitu yakin.

Jujur saja, Han GoEun sampai membelalak tak percaya bahwa kakak laki-lakinya akan begitu mudah mengubah pikiran dalam waktu singkat. Tiba-tiba menyeru bahwa dirinya akan bertanggung jawab secara penuh dan mencari pegawai juga.

"Kamu juga tidak perlu cemas dan fokus saja pada pencapaian cita-citamu." lanjut Dongsun mengintrupsi pikiran Han GoEun. "Kakak tertuamu ini yang akan bertanggung jawab pada restoran."

Mendengar penuturan penuh kepastian dan keyakinan itu membuat sang Ibu tiba-tiba meneteskan air mata. Setelah kejadian suaminya masuk rumah sakit, pikirannya begitu kalut. Pikiran-pikiran buruk mengenai masa depan segera terbantah oleh kalimat optimis kedua anaknya.

"Ibu, kenapa menangis?" sergah Han GoEun menyeka bulir yang telah mengalir. "Jangan menangis. Ayah akan marah jika melihatmu menangis seperti ini."

"Terima kasih, anak-anakku. Aku sangat berterima kasih." ucap sang Ibu getir. Detik selanjutnya, Han Dongsun segera membawa sang Ibu ke dalam dekapan.

"Aku berjanji tidak akan mengecewakan kalian." jelas Dongsun lagi. Memeluk tubuh renta sang Ibu penuh kehangatan. Membelai punggung Ibu dengan kasih sayang. Sementara Han GoEun tak sekalipun melepaskan tatap dari Han Dongsun.


🍑🍑🍑

[2019 - fourteenjae]
-
Ayo follow akun authornya!
Instagram: @1497_tjae
Twitter: @fourteenjae
Tiktok: @fourteenjae

baca ceritaku yang lain, ya :)

Continue Reading

You'll Also Like

69.9K 6.4K 31
Cerita fanfic ini akan fokus kepada kehidupan Hong Haein dan Baek Hyun Woo sebelum mereka menikah kembali, ketika menikah, dan setelah mereka menikah...
94.7K 9.4K 38
FIKSI
729K 67.9K 42
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
57.5K 7K 33
"Saat kamu kembali, semua cerita kembali dimulai." Kisal Sal dan Ron kembali berlanjut. Setelah banyak yang terlalui. Mereka kembali bersama. Seperti...