I'm a MIXED BLOOD [TAMAT]

By rethajk

326K 19.9K 384

Kiara Victora Lacynda, seorang gadis muda berusia 19 tahun yang menjalani kejamnya kehidupan di dalam sebuah... More

#1 Kiara
#2 Charlie
#3 Istri?
#4 Iya atau iya?
#5 Moroi, Dhampir dan strigoi
#7 Kita
#8 Menikah
#9 MIXED BLOOD
#10 MIXED BLOOD2
#11 Ada apa denganmu?
CAST
#12 Seandainya kita manusia
#13 Lamaran baru
#14 Hai, Hellen!
#15 Ingin Kiara
#16 Pergilah
#17 Kelepasan
#18 Harga diri Charlie
#19 Pagi
#20 Kau cantik, Kiara!
#21 Bayi?
#22 Gadis malam itu
#23 Maaf
#24 maaf(lagi)
#25 Rahasia besar
#26 Pergilah dengan tenang
#27 Selamat datang
#28 Pengkhianat
#29 Hukuman mati
#30 Hidup baru
#31 Theo Anthony
#32 penyesalan
#33 Balasan
#34 kembali
#35 Ozzy
#36 Sikap turunan
#37 Korban lagi
#38 Makhluk penuh dosa
#39 Aku kekasihmu
#40 Tinggal dan pergi
#41 kesendirian
#42
tanya
Season 2?

#6 Gaun wanita

7.9K 552 2
By rethajk

Kiara POV

Klek

Pintu perlahan terbuka. Menampakkan 3 orang pria dengan pakaian bak pangeran dari negeri dongeng. Mereka adalah Palet, Charlie, dan seorang pria yang tadi siang menanyakan statusku. Mereka berjalan berurutan sambil mengulas senyum di bibir, tentu saja, kecuali si Charlie. Dia bahkan tidak henti-hentinya menggerutu. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

“Kiara, kau belum makan, kan? Ayo kita makan bersama,” ajak pria yang tidak kuketahui namanya itu sambil melambai padaku.

Mataku berbinar. Akhirnya, aku bisa makan dan mengisi perutku.
Ya Tuhan, dia pasti orang yang baik. Wajah tampannya tidak menunjukkan aura jahat. Sebaliknya, ia justru sangat ramah dengan senyum hangat yang terpasang di wajahnya.

“Iya, Tuan”

Mereka bertiga menghentikan langkahnya tepat saat sampai di hadapanku. Palet kemudian menyipitkan matanya padaku. “Kau tidak boleh memanggil ayahku dengan sebutan tuan”.

Aku melongo karena terkejut.

Sungguh? Pria ini adalah ayah Palet? Benarkah? Mereka lebih terlihat seperti sepasang adik-kakak dari pada ayah dan anak.

“Jangan terkejut seperti itu, hahaha... Paman terlihat muda ya? Baiklah, ayo kita makan!” ajak Ayah Palet sambil mengelus kepalaku. Aku yang tadinya melongo pun segera merubah ekspresi wajahku.

Ah, aku malu sekali. Baru saja aku berpikir bahwa dia tampan.

“Tunggu, Kiara, kau tidak bisa berjalan?” tanya paman itu.
Aku pun mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaannya.

“Maaf, ya, Kiara,” ucap ayah Palet. Ia kemudian mendekatkan kepalanya ke telinga Charlie. Ia berbisik.

“Tidak mau!” ujar Charlie sambil memelototkah matanya.

“Ayo, jangan membantahku,” ucap Ayah Palet sambil tersenyum jahat kepada Charlie.

Charlie yang melihat itu pun hanya mendengus dan menggerutu, kemudian dia mendekatkan wajahnya padaku. Membuat jantungku berdegup kencang tak karuan karenanya. Pasalnya, seumur hidup, aku hanya menghabiskan waktuku untuk bekerja dan membantu Ibu panti melakukan pekerjaan rumah hingga aku tidak pernah berdekatan dengan pria sepantaranku.

Mungkin aku gila karena tersipu pada pria kasar yang sudah menyiksaku ini. Tapi sungguh, jantungku selalu berdegup kencang setiap kali mata kami bertatapan.

“Diam dan tutup matamu!” bentak Charlie tepat di depan wajahku. Saking dekatnya wajah kami saat ini, aku bahkan bisa merasakan napasnya mengenai kulit wajahku.

Aku pun menurutinya. Memejamkan mataku sesuai perintahnya.
Tiba-tiba, aku merasakan benda basah menyentuh pipiku sekilas. Aku hendak membuka mataku karena terkejut, namun tiba-tiba Charlie berbisik di telingaku, “Jangan membuka mata sebelum aku memerintahkannya padamu, kecuali jika kau memang tidak menyayangi nyawamu”.

Aku menelan salivaku saat mendengar bisikannya. Jantungku berdegup semakin kencang. Saking kencangnya detak jantungku, aku sangat takut apa bila itu terdengar oleh Charlie. Akan sangat memalukan apa bila ia mendengarnya.

Aku merasakan sentuhan hangat di kaki kiriku, kemudian lengan, dan pinggangku. Bersamaan dengan itu, sakit yang ada di tubuhku pun menghilang. Itu bagai sihir, aku sangat penasaran tentang itu. Aku ingin membuka mataku untuk melihat apa yang Charlie lakukan hingga tubuhku menjadi ringan seperti sekarang, namun aku teringat peringatannya. Aku tidak boleh membuka mata, kecuali dia memerintahkan itu padaku.

“Arghh!”

Aku terkejut saat Charlie tiba-tiba berteriak. Aku ingin sekali membuka mataku, namun aku terlalu takut untuk melanggar perintahnya. Aku masih sangat menyayangi nyawaku.

“Bagaimana rasanya, Charlie?” Ayah Palet terdengar sedang menyindir Charlie.

“Huh, aku hanya terkejut, bukan kesakitan.” Setelah mengucapkan itu, Charlie terdengar mengambil langkah menjauh.

Jika pria kasar itu pergi, lalu bagaimana denganku? Apa aku boleh membuka mata?

Dengan perlahan, aku membuka kedua mataku. Dan benar saja. Charlie sudah tidak ada di hadapanku. Dia pergi.

“Paman akan menyiapkan makanan. Oh iya, minta gaun kepada Charlie, ya, Kiara,” ucap Ayah Palet sambil berjalan meninggalkan ruangan ini.
Aku mengangguk.

“Sudah tidak sakit, ya?” tanya Palet sambil menyeringai. “Jika kau lebih suka terluka, aku bisa membuatkannya lagi untukmu,” lanjutnya sambil terkekeh. Aku pun menggeleng cepat.

“Aku harus memakai gaun?” tanyaku.

“Tentu, kecuali jika kau memang suka menggoda 3 pria dewasa dengan rok pendekmu itu,” jawab Palet sambil menyeringai.

“Tapi, dimana Charlie?”

“Di kamarnya. Kau sudah tahu kamarnya kan?”

Aku mengangguk.

“Ah, itu juga akan menjadi kamarmu, aku sampai lupa…” lanjutnya sambil tekekeh.

Gawat. Bagaimana bisa aku sekamar dengan pria kasar itu. Dia pasti tidak akan mengizinkanku tidur di atas ranjangnya. Mengingat bagaimana dia mengusirku siang tadi.

Ah, Sudahlah. Tidur di lantai juga tidak seburuk itu!

Aku mulai berdiri dengan sangat berhati-hati. Namun tubuhku terasa ringan dan bugar. Semua rasa sakitnya menghilang! Itu pasti benar-benar sihir!

Aku melangkah menuju kamar Charlie. Setelah sampai di depan pintu kamarnya, aku sedikit ragu untuk masuk. Aku bimbang hingga beberapa menit kemudian, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya.

Tok-tok

“Apa lagi?! Kenapa kau tidak berhenti membuat kepalaku pusing?!” teriak Charlie dari dalam pintu kamarnya. Itu membuatku tersentak kaget. Nyaliku juga langsung menciut.

“Paman itu menyuruhku meminta gaun padamu,” ucapku dengan terbata-bata.

Kemudian, Charlie terdengar sedang berteriak. Hal itu membuat bulu kudukku berdiri. Aku pun menggigit bibir bawahku untuk menghilangkan rasa takut, namun tiba-tiba pintu yang kupandangi itu terbuka. Menampakkan sosok pria tinggi tegap dengan rahang tegas yang sudah mengeras.

Charlie memegang sebuah gaun bewarna merah muda di tangannya. Aku pun segera menunduk saat bahwa mata kami bertatapan.

“Jaga gaun ini baik-baik. Jika ada sedikit saja noda pada gaun ini, maka aku akan memberikan noda merah pada kulit putihmu!” Dia mengancamku sambil menyerahkan gaun merah muda itu ke tanganku.

“Dimana aku bisa mengganti pakaianku?” tanyaku sambil mendongakkan kepalaku perlahan.

“Di luar, di hutan, atau di depan rumah ini. Aku tidak peduli!”

“Tapi, bukannya di luar banyak makhluk menyeramkan? Kau sendiri yang bilang, jika aku pergi keluar, aku akan mati dengan mudah…” kataku lirih.

“Ya memang itu yang aku inginkan!”
Charlie berbalik, kemudian menutup pintu kamarnya dengan keras hingga terdengar suara dari pintu kayu dengan relief indah itu.

Aku hanya terdiam dengan tangan masih memegang gaun yang Charlie berikan. Aku sedikit penasaran, bagaimana dia bisa punya gaun di kamarnya. Dia, kan laki-laki.

Saat aku tertegun, pria kasar itu kembali membuka pintu kamarnya. Ia kemudian mendesah frustrasi.

“Masuk dan ganti pakaianmu di dalam!”

Aku mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya.

“Tunggu apa lagi?” tanya Charlie saat melihatku terdiam.

Aku mengerjapkan kedua mataku. Menunggu dia pergi dari ruangan ini, sebab tidak mungkin aku mengganti pakaianku di hadapannya, kan?

“Apa yang kau tunggu?” tanya Charlie.

“Apa kau tidak ingin keluar dari kamar ini?” Aku balik bertanya.

Charlie menatapku. Matanya menunjukkan bahwa ia tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. “Bagus. Manusia tidak tahu diri ini, kini berani mengusirku dari kamarku sendiri”.

“Bukan begitu… tapi aku, kan ingin mengganti pakaian. Aku tidak bisa mengganti pakaianku tepat di depa—”

“Apa gunanya kamar mandi, Nona?” sela Charlie sambil menunjuk sebuah pintu di sudut kamar ini. Wajahnya merah, menjelaskan bahwa saat ini dia sedang marah. “Kenapa kau berpikir, bahwa aku ingin kau mengganti pakaianmu di hadapanku?”

Aku menelan ludah. Rasa malu langsung menjalar ke seluruh tubuhku saat ini.

“Aku tidak tahu bahwa kau punya kamar mandi,” ucapku dengan terbata-bata.

“Kami tidak punya kamar mandi. Jika kami ingin mandi, kami akan berendam ke sungai suci agar sekalian membersihkan dosa-dosa kami!” jelas Charlie dengan rahang mengeras.

“Ah, begitu…”

Charlie berdecak. Dia mendengus sambil menatap kedua mataku lagi. Kali ini, dia terlihat marah besar.

“Bagaimana kau bisa percaya itu?!”

Aku mengerjapkan mata. “Tunggu, apa tadi kau hanya bercanda?”

“Terserahlah!”

Dari pada terus mendapat sentakan dari pria jangkung itu, aku memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Aku sedikit kesal pada pria itu. Dia selalu saja marah setiap bicara denganku. Padahal, aku selalu merendahkan nada bicaraku padanya.

Tidak butuh waktu lama untukku selesai bersiap. Kini, aku sudah memakai gaun itu sambil berjalan mendekat ke arah Charlie. Dengan menuduk. Dengan malu-malu. Sedang pria itu hanya duduk di atas ranjangnya sambil menatapku kesal. Memperhatikan tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Lama sekali!”

Aku hanya menundukkan kepalaku. Aku rasa, aku memang menghabiskan banyak waktu untuk terkagum-kagum pada kamar mandi mewahnya tadi. Aku juga masih menyempatkan diri untuk berendam di bak mandi. Tidak heran jika dia menjadi kesal, tapi, kan aku tidak menyuruhnya untuk menungguku.

“Ayo!” ajaknya.

Aku mengekorinya dari belakang, kemudian berhenti sesaat ketika tanpa sengaja melihat pantulan diriku sendiri di cermin. Sungguh, gaun ini amat indah. Meski ia ringan dan sederhana, namun ini amat elegan dengan manik-manik di bagian dada.

Memang, awalnya aku sangat tidak percaya diri untuk memakainya karena gaun ini tidak berlengan dan menunjukkan punggungku dengan jelas, tapi setelah melihat pantulan diriku di cermin, aku jadi sangat menyukainya.

“Kenapa berhenti?”

Aku langsung terkejut saat mendengar suara Charlie. Aku pun langsung mempercepat langkahku untuk mengejarnya. Kami terus berjalan hingga sampai di sebuah ruangan dengan meja panjang di tengahnya. Ayah Palet terlihat tersenyum padaku. Aku pun membalas senyumannya sambil sedikit menunduk.

“Ayo duduk” ucap Ayah Palet.

Kami semua langsung menuruti perintahnya. Kami duduk di kursi yang ada di sisi meja panjang itu. Aku berhadapan dengan Palet dan di sebelahku adalah Charlie yang tengah berhadapan dengan ayah Palet.

Aku melirik gelas yang ada di samping mereka bertiga. Gelas yang berisi sebuah cairan merah kental yang ku yakini darah. Aku menelan salivaku saat kemudian Palet meminum cairan itu. Bulu kudukku merinding karena takut, namun aku berusaha sebisa mungkin untuk menutupi rasa takut itu.

“Ayo dimakan,” ucap Palet sambil memandangku hangat.

Aku yang masih ketakutan hanya terdiam hingga Charlie berbisik di telingaku. “Jika kau tak cepat makan, maka aku akan memakanmu”.

Senyum terpaksa langsung terpasang di wajahku. Aku pun dengan segera memegang sendok dan garpu yang ada di hadapanku, kemudian menyuapkan makanan yang tadi sudah di siapkan oleh Ayah Palet. Rasanya memang enak, namun aku tidak menikmati makanan itu karena teringat ancaman dari Charlie.

Setelah makan malam itu selesai, aku segera membantu Ayah Palet untuk membereskan piring-piring kotor itu. Aku tidak ingin menjadi lupa diri dengan hanya diam melihatnya melakukan pekerjaan itu. Dia sudah berbaik hati mau memberiku makanan. Aku jelas harus membantunya.

Tentu saja pria baik itu menolakku, namun aku terus bersikeras hingga akhirnya ia mengizinkanku membantunya. Sementara aku membantu membersihkan piring-piring kotor, Charlie langsung pergi tanpa sepatah kata dari sana.  Ia beranjak pergi, namun bukan ke arah kamarnya. Sedang Palet, Pria itu masih diam di tempat duduknya. Ia terlihat sedang berpikir keras, tapi aku tidak tahu hal apa yang ia pikirkan hingga ia membuat garis di dahinya.

“Paman, maaf karena sudah menelan kristal itu,” ucapku lirih setelah menyelesaikan pekerjaanku.

“Tidak apa-apa. Lagi pula, siapa tahu dengan kehadiranmu, ego bocah itu bisa berkurang,” katanya sambil tersenyum. “Anak itu punya ego yang besar. Dia tumbuh dipenuhi keinginan untuk balas dendam,” lanjutnya.

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku. Meski aku tidak tahu dendam apa yang ia maksud, namun aku meyakini bahwa itu berhubungan dengan ambisi Charlie yang ingin menjadi raja.

.
.
Ayo vote!

Continue Reading

You'll Also Like

29.8M 1.1M 45
Sudah dibukukan❤️👅 tapi part masih lengkap karena isi di wattpad dan di buku sangat berbeda 🤭 ini cerita pertamaku di wattpad jadi harap maklum tul...
3.1M 323K 30
[M] Mikasa kabur dari rumah sang Bibi yang berniat menjualnya kerumah bordil. Gadis itu berlari masuk kesebuah hutan terlarang di daerahnya. Hutan At...
5.9M 527K 66
WARNING!!! Fantasy - Romance. #1 in World 《22 desember 2020》 #1 in Warewolf 《22 desember 2020》 #1 in Devil 《28 desember 2020》 #1 in Human 《28 desemb...
3.3M 301K 88
[Part lengkap] Ini semua berawal dari ban bus yang bocor pagi itu~ P.s terima kasih untuk pembaca yang sudah meninggalkan komentar di cerita ini. Kal...