My Sweetest Ex

By myezbie

271K 19.2K 2.9K

Protektif dan diktator adalah sifat yang mendarah daging gadis itu, hingga membuat Iqbaal jengah dan memutusk... More

Prolog
BAB 1 : Boyfriend
BAB 2 : Mark My Words
BAB 3 : A Planning
BAB 4 : Him
BAB 5 : A Bit of Jealous
BAB 6 : Stalking Her
BAB 7 : Gossip
BAB 8 : An Angel
BAB 9 : Her Feeling
BAB 10 : They Are Fight
BAB 11 : Can We Be Friend?
BAB 12 : Make A Deal
BAB 13 : A Little Secret
BAB 14 - One Time
BAB 15 - I am Promise!
BAB 16 : Try to Move On?
BAB 17 : What's Wrong?
BAB 18 : Heartbreaking
BAB 19 : When The Regret it Come?
BAB 20 - What's My Fault?
BAB 21 : Three Painful Minutes
BAB 22 : Love Shot
BAB 23 : The Truth Untold
BAB 24 : What's It Wound?
BAB 25 : Break Up
BAB 26 : What Are You Missed?
BAB 28 : They're Miss Each Other
BAB 29 : Hi Salsha?
BAB 30 : Dating Agency
BAB 31 : An Effort to Catch Her
BAB 32 : An Unexpected Fact
BAB 33 : Status?
BAB 34 : Kissing, Huh?
BAB 35 : I Got It!
BAB 36 : Pregnancy and The Wedding
Epilog

BAB 27 : Another Chance

7.5K 529 110
By myezbie

Happy Reading.

Jeha dan Steffi mengusap air matanya. Kedua gadis yang sejak tadi tak henti-hentinya merengek itu membuat telinga Salsha berdengung.

"Sha, lo yakin? Masa cuma gara-gara Iqbaal sih lo sampe pergi kayak gini," kata Steffi dengan suara sengaunya. Gadis itu melempar tisunya lagi—dengan asal membuat Salsha harus menahan amarah karna tindakan kurang ajarnya.

"Lo tega ninggalin kita gitu? Plis lah jangan pergi," tambah Jeha.

Salsha mendesah. Gadis itu membuang napasnya kasar kemudian berbalik menatap dua sahabatnya yang sukses mengacaukan tempat tidurnya dengan kumpulan tisu.

"Siapa bilang gue pergi karna Iqbaal? Gue cuma mau susulin papa sama mama. Lagian nih ya, masih ada sosmed. Kita masih bisa video call. Ribet amat sih!" jawab Salsha enteng walau pada nyatanya ia berat akan keputusannya sendiri.

Jeha dan Steffi terdiam. Mereka tahu benar bagaimana hubungan Salsha dan kedua orang tuanya yang terpisah oleh jarak. Kedua orang tua Salsha harus tinggal di Boston untuk mengurus perusahaan serta neneknya yang enggan meninggalkan tanah kelahirannya itu.

"Kalian tenang aja, gue bakal sering-sering hubungin kalian kok. Lagian nih ya, Kak Al juga masih di sini kalo kangen ntar bareng aja sama kakak gue ke sana."

Jeha mencebik, "Lo kira jarak sini Boston udah kayak Jakarta Bandung apa?"

Salsha menyengir, "Ah... Pasti bakal kangen nih sama kalian."

"Ya makanya gak usah ke sana! Udah disini aja entar kita hunting ke Bromo sama Bali," tukas Steffi.

"Seandainya aja bisa semudah itu batalinnya. Oma udah nyuruh gue disana, semua berkas sama keperluan kepindahan juga udah diurus sama Papa, ya kali gitu langsung bisa dibatalin?"

Steffi dan Jeha menurunkan bahu. Kedua gadis itu lesu karna tak bisa menahan Salsha untuk tetap disini.

"Iqbaal tau?"

Salsha yang sedang sibuk dengan ponselnya itu mendongak ketika pertanyaan tersebut dilontarkan untuknya.

Memang harus ya? Lalu jika laki-laki itu apa perdulinya?

"Enggak."

"Lo gak berpikiran untuk pergi ke dia tanpa pamit kan?" tanya Steffi.

Salsha mengangguk, "Gue iya. Sebenernya gue pengen, tapi takut ntar respon yang gue harepin malah gak sesuai kenyataan."

Jeha mengangguk menyetujui, gadis itu beranjak menepuk pundak Salsha. "Janji sama gue kalo lo bakal lupain Iqbaal."

"Susah, Jeh. Dia itu cowok pertama yang udah berhasil ngambil fokus gue, ngerebut semua ruang di hati gue dan rasanya susah untuk cari pengganti dia."

"Lo susah lupain karna setiap kesempatan selalu ketemu dia. Gue yakin, kalo udah di Boston sana lo bakal bisa lupain dia. Gue harap lo bisa bener-bener ngelupain Iqbaal because he's not deserve to you. Lo pantes buat dapet cowok yang jauh lebih lebih lebih dari Iqbaal."

Sayangnya, apa yang diucapkan tak semudah yang diusahakan. Mungkin nanti di suatu hari ketika ia bangun tidur, ia bisa melupakan bagaimana paras Iqbaal tetapi satu hal yang mustahil terjadi adalah dia lupa akan kenangan yang telah Iqbaal beri padanya.

Di balik percakapan kedua gadis itu, Steffi memandang keduanya dengan seksama. Sebuah pikiran terlintas di benaknya. Entah salah atau tidak, ia rasa Iqbaal perlu tahu hal ini—terlepas dari sikap buruknya pada Salsha. Dia yakin, laki-laki itu menyimpan perasaan yang sama dengan Salsha walau hanya setitik sekalipun.

***

Iqbaal itu terdiam di atas balkon kamarnya. Heningnya malam menjadi teman kala dingin udara memeluk tubuh berbalut kaos lengan pendeknya.

Perasaan menyesal begitu mendera di dirinya. Ratusan makian membuat lantunan sendiri yang ia ucapkan dalam hati.

Iqbaal tak menyangka jika ia akan senaif ini. Dia bahkan tak pernah berpikir jika efek gadis itu sungguh luar biasa baginya saat ini. Senyuman tipisnya terukir kala mengingat kebodohan dirinya disaat mengatakan dengan gamblang jika merindukan Salsha.

Memangnya pantas?

Dia bahkan sudah menyakiti perasaan gadis itu dengan kenyataan yang tlah terungkap. Tentang perasaannya pada Salsha dulu. Tentang rasa tidak sukanya dulu. Tentang kepura-puraannya dulu. Sungguh, dia menyesal.

Laki-laki itu mengusap rambutnya kasar. Pening di kepala melandanya. Seolah ada tumpukan kilo beban yang ada di kepalanya.

"Salsha..." desisnya di keheningan malam.

Lagi. Iqbaal memandang pilu hamparan bintang yang berserakan di atas langit. Dia tak tau apakah pilihannya ini benar atau salah. Iqbaal tau dia perlu memperjuangkan jikalau ingin tapi sudut pandang pikir lainnya berkata lain.

Salsha pantas bahagia, meski tanpa dirinya.

Terdengar pilu tetapi pada kenyataannya dia adalah antagonis disini.

***


Siang itu, di tengah teriknya sinar dan riuhnya siswa SMA Garuda yang menikmati waktu istirahat kedua mereka. Iqbaal dengan gontai keluar dari ruang kepala sekolah. Iris hitamnya meredup serta kantong mata yang membingkai membuat pandangannya tampak begitu lelah.

Setumpuk berkas yang direngkuhnya seolah menguatkan langkahnya. Astaga! Dia bahkan tak tidur—memilih merenung—setelah menyelesaikan lembaran-lembaran kertas yang memakan waktu lama hingga pukul satu dini hari.

"Baal!" Sebuah rangkulan hingga di bahunya. Dia menoleh mendapati sepupunya yang menatap dengan senyuman manis.

"Apa?"

"Hehehe..." Gadis itu menyengir membuat Iqbaal menarik satu alisnya ke atas.

Heran? Tentu saja!

"Kenapa Kak Jes?"

Gadis itu masih tersenyum kemudian berbisik pelan pada sepupunya.

Iqbaal memutar bola matanya. Wajahnya masam. "Kenapa mau? Harusnya gantungin dulu sampe beberapa bulan baru mau balikan lagi!" katanya sebal.

"Saran lo tuh terlalu ekstrim. Naif juga. Kalo masih cinta kenapa harus nunggu waktu lama? Lagian nih ya, gue takut aja kalo dia bakal nyerah sama gue."

"Ya itu tandanya dia gak beneran sayang sama lo! Udah sana putusin lagi!"

"Enak aja!" Tangan ringan Jessi menyentil pelan dahi Iqbaal, "lo pikir kehilangan orang yang bener-bener ngambil alih semua hati itu mudah?"

Iqbaal mengusap dahinya dengan repot. Inginnya mengusap dengan map namun takut jika dahi mulusnya akan tergores.

"Lagian nih ya, perasaan seseorang itu bisa berubah karna waktu. Kita gak pernah tau kapan perasaan kita bakal berganti ke orang yang lain—yang bahkan gak pernah kita duga," ujar yang lebih tua.

Iqbaal berdehem malas. Jessi itu ahli dalam ceramah-menceramah.

"Kadang juga, seseorang milih buat menjauh dari orang yang dia suka. Bukan karna dia gak mau berusaha tapi dia sadar kalo perasaannya akan sia-sia. Nah ini, istilahnya dia mulai nyerah sama perasaannya."

Iqbaal berdehem. Lagi-lagi membuat Jessi mendelik marah. Tangan ringan lagi dan lagi memukul sepupunya tanpa penyesalan.

"Heh bocah! Ini gue lagi kode ke elo biar perjuangin perasaan lo."

"Apalagi sih Kak Jes? Capek ini habis kerjain laporan. Pusing tau."

Jessi melipat bibirnya, meski begitu ia masih tetap merangkul sepupunya itu.

"Yakin? Bukan karna mikirin Salsha kan?"

"Sok tau!"

Jessi berniat menyentil bibir Iqbaal namun terhenti kala iba melihat wajahnya. Dia tidak tau berapa lama anak ini tidur, yang jelas pandangan sayu dan wajahnya membuat dia iba. Akhirnya ia memilih untuk mengusap pelan bahu si adik sepupu sebelum akhirnya berubah bringas karna menemukan subjek yang ada di depannya.

"Ada Salsha, Baal," bisiknya.

Iqbaal menggerutu. Benar, memang ada Salsha di depan sana dan ia pikir sepupu kurang ajarnya ini tak perlu memperjelasnya karna sejujurnya ia tak mau melihat apa yang tersaji di depannya. Bukan! Bukan karna dia tak mau melihat Salsha tetapi karena ia tak ingin tau jika gadis itu tampak nyaman di rangkulan laki-laki lain, Bryan.

Pada akhirnya hanya ada keheningan di antara mereka ketika kedua raga itu saling berpapasan. Iqbaal menjadi pengecut untuk kesekian kalinya karna memilih menunduk demi menghindar tatapan Salsha.


***


Keesokan harinya.

Hari ini adalah terakhir kali dimana ia akan menginjakkan kaki di SMA Garuda. Mungkin tak akan ada hari esok untuk dirinya disini. Salsha berharap dia bisa mengutarakan kata pamitnya pada Iqbaal atau setidaknya sedikit berbasa basi untuk terakhir kalinya.

Pandangannya mengedar hingga kesudut-sudut ruangan. Tak ada orang lain dirinya. Nihil. Laki-laki itu sepertinya tidak masuk kelas karna di ruang kelasnya pun ia tak menemukan keberadaannya. Akhirnya dia berbalik dan menemukan sosok Cassie di belakangnya. 

Demi Tuhan! Ini hari terakhirnya di sini dan rasanya dia malas untuk membuat sebuah masalah.

"Gue minta maaf."

Langkah Salsha yang baru beranjak dua jengkal itu terhenti. Ia berbalik menyorot si bule dengan pandangan bingung.

"Maaf karna udah ngerusak hubungan lo sama Iqbaal."

"Gak ada hubungan di antara gue dan dia sete-"

"Gue iya. Keegoisan gue ngebuat lo salah paham ke dia."

"Salah paham tentang apa? Bukannya ucapan dia udah jelasin semua? Gue gak mau bahas masalah itu, Cas, tolong."

"Gue gak akan maksa lo buat percaya atau enggak sama gue. Tapi yang gue tau Iqbaal mutusin Vanes karna lo."

Salsha memandang marah Cassie, "Lo nyalahin gue? Lo pikir gue ngerebut dia dari adik sepupu lo itu?"

"Kalian tuh sama. Cepet buat ngambil kesimpulan sampe akhirnya nyiksa diri masing-masing," kata Cassie, "bukan poin itu yang sebenernya mau gue jelasin ke elo. Poin yang sebenernya tuh, Iqbaal masih sayang atau mungkin cinta sama lo tanpa dia sadari. Gue tau itu bahkan Aldi dan Bastian pun tau. Tapi dia dengan ego besarnya nepis semua sampe pada akhirnya dia nyerah sama perasaannya."

Salsha masih bingung. Pikirannya kabur kemana-mana dan tak bisa diajak berkompromi.

"Dia milih buat ngelak dengan deket sama Vanes. Dia naif. Ya! Yang pernah gue tau dia itu tipe orang yang gak mau jilat ludah sendiri."

Cassie masih memborbardir dirinya dengan ucapannya.

"Sampai pada tahap dimana dia gak mau disebut sebagai penjilat ludah, dia milih buat bohongi perasaannya yang mungkin udah ada buat lo sejak kalian masih hubungan."

"Gue rasa lo terlalu bicara cukup banyak."

Keduanya menoleh mendapati Jessi beserta kedua antek-anteknya berdiri di jarak dua meter dari mereka. Langkah kakinya mendekat ke arah keduanya. Mereka beruntung karna lorong ruang OSIS sepi dari lalu lalang siswa yang mungkin akan tertarik akan obrolan kaum hawa ini. 

"Gue tau niat lo baik, tapi dengan ngebongkar fakta yang gue rasa bukan porsi lo bicara itu terlalu berlebihan." Jessi memberi tatapan nyalang pada adik kelasnya itu. Ada helaan napas sebelum tangannya mengudara.

"Gue juga minta maaf karna kesalahpahaman yang terjadi di antara kita. Tentang Alwan dan Iqbaal. Gue gak tau harus mulai dari mana tapi gue ngerasa bersalah karna pernah buat nama lo jelek di mata Iqbaal karna masalah Alwan," ujarnya dengan tangan yang masih mengudara. Salsha menerima uluran tangan itu. Meski begitu pikirannya masih blank.

"Gue tau ini salah gue yang terlalu sayang sama dia sampe bertindak di luar batas. Kita sama-sama buta oleh cinta. Dan gue rasa kita gak perlu nyangkal buat hal itu," katanya lagi.

Jessi menodongkan tangannya dan temannya yang entah tidak Salsha sadari memberi sebuah paperbag berukuran mini.

"Sebenernya dia mau ngasih ini ke elo kemarin. Tapi karna ya as you know, dia terlalu pengecut buat ngasih ini sendiri. Dia cuma titip itu, untuk kata pamit gue rasa dia gak sepengecut itu buat nulis surat buat elo."

"Pamit?"

"Dia ikut pertukaran pelajar yang diusulin kepsek ke Aussie. Lo juga bakal pindah ke Boston kan?"

Salsha heran, dia pikir ia begitu rapat menutup tentang kepindahannya.

"Iqbaal udah tau dari awal saat dia ngajak lo ketemu, karna nemuin berkas lo bareng sama dia di ruangan kepsek."

Salsha meremas paperbag yang ada di genggamannya. Jadi, laki-laki itu tau dari awal?

"Gue gak berhak bicara tentang perasaan dia ke elo atau gimana cara dia cerita tentang perasaannya ke elo sama gue. Tugas gue cuma ngasih itu dan gue harap di kesempatan selanjutnya kalian bakal buang ego masing-masing."

Ya, di kesempatan yang akan datang. Tapi, akankah kesempatan itu benar benar datang? Atau hanya sebuah ilusi yang hanya terpendam dalam angan?

Tentang kisah mereka yang merumit. Biar waktu yang menjawab. Dan semoga, kesempatan kedua itu benar adanya. 


-end-




Halo! Happy friday every1
Gimana nih chapternya?

Maaf beribu maaf karna ngaret lagi lagi dan lagi. As long as you know guys, we have to another work in rl. Maaf karna alasan sibuk ini jadi terlalu basi.

Cuma mau berbagi kebahagiaan sama rumor di tweet yang katanya si Jb mao cerai ama bininya gegara abis meet up ama selena tbc. Sebenernya mau bilang she's deserve better, tapi ya mau gimana lagi mereka tuh udah jadi kapel number1 kuu. Btw, story ini lama-lama kek nasibnya jelena ya, masih saling cinta tapi milih buat pergi sama orang lain.

So what do you think about this part?

Cium beceq
team jelena balikan dung.

Continue Reading

You'll Also Like

830 151 31
"karna aku adalah lampu, dan kamu saklarnya, yang membuatku terang, namun juga gelap." (Squel impossible magic) Note: Bukan pelagiat ya, ini kelanjut...
7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
104K 18.2K 43
#Miniseri 6 "Mengenalmu, adalah sebuah jalan untukku merasa utuh." (Erlangga Thariq) "Bertemu denganmu, adalah jalan yang tak pernah kuinginkan terja...
903K 66.9K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...