Semesta Kisah

By AiyuAgaaraLestari

879 55 18

Kepada semesta, aku menghantarkan cerita-cerita penuh makna. Kisah kasih anak manusia yang mengatasnamakan ci... More

Langit Merah Saga
Kilau Sirius (Kamu!)
Sepasang Liontin Perak
Bulan Merah Jambu (?)
Pada Suatu Sore Ketika Dia Mengatakan; Pergi!
Melipat Jarak (Saat Aku Memilih Melupakanmu)
Yang Patah Bernama Hati
Matahari Terbit di Hati(mu) Hari itu
(M)Asa Bersama
Kesempatan Terbuka
Perempuan yang Ingin Menikahi Hujan
Potret(mu)
Pengakuan
Di Kafe ini Kita Bertemu (Kembali)

Bintang di Langit Utara

91 6 0
By AiyuAgaaraLestari

"Ada jarak semakin nyata tercipta antara kita ketika sebuah surat undangan bertuliskan namamu namanya yang kau layangkan padaku.”


“Kamu yakin akan datang ke acara nikahannya?”

Pertanyaan Keni menyadarkan lamunan sesaatku. Mataku yang sedari tadi memandang kosong ke arah kejauhan pantai, kini beralih menatapnya. Laki-laki penyuka es krim yang baru kukenal tiga minggu lalu itu menampilkan wajah penuh tanya setelah meletakkan undangan pernikahan berwarna cokelat ke atas meja, lalu kembali memasukkan es krim kelapa ke dalam mulutnya sembari menungguku untuk bicara.

“Ya, begitulah. Mau bagaimanapun  dia adalah temanku,” kataku akhirnya setelah menghela napas dalam.

Masih belum kusentuh es krim kelapa yang benar-benar diletakkan di dalam batok kelapa muda dan diberi banyak toping di atasnya. Padahal sama seperti Keni, aku pun sangat menyukai es krim. Pertemuan pertama kami juga terjadi di kedai es krim yang terletak di jalan Sutoyo, tak jauh dari Museum Bengkulu.

Saat itu, ia tak mendapat tempat duduk. Melihatku sendirian dengan satu kursi kosong di depanku, ia pun tersenyum sambil memegang kepala kursi, seolah meminta persetujuan. Entah pikiranku yang tidak fokus karena mengerjakan laporan bulanan atau karena senyum Keni yang menurutku saat itu sangat manis, aku mengangguk mantap. Lalu kami pun berkenalan. Mengobrol yang berakhir saling bertukar nomor ponsel.

Aku janji akan mengajaknya ke tempat wisata yang ada di Bengkulu, mengingat ia baru saja tiba dari Jakarta dan ingin menetap untuk beberapa lama sekaligus menemani neneknya yang sudah tua tetapi masih tampak muda. Ya, ia entah apa yang dipikirkannya saat itu, malah menunjukkan foto neneknya padaku. Hal yang cukup jarang dilakukan oleh orang yang baru saja kenal. Namun, belakangan aku mengerti, karena faktanya Keni adalah orang yang supel dan mudah bergaul. Ia bisa langsung akrab dengan seseorang bahkan sebelum saling menyebutkan nama.

“Sekaligus mantan, ya.”

Keni tertawa renyah, diikutiku yang malah tertawa kecut. Tak tahu, saat mendengar kata ‘mantan’ hatiku rasanya seperti tertusuk duri tak kasat mata. Nyeri.

“Eh, kenapa? ‘Kok ketawanya kayak gak lepas gitu? Masih suka baper, ya?”

“Enggak, ‘kok!”

Kumasukkan es krim yang telah mencair ke dalam mulut sambil memberengut setiap kali Keni berhasil menggodaku. Laki-laki dua puluh empat tahun itu memang paling pintar membuat perasaan orang tak menentu. Aku ingat, ia pernah mengaku menjadi pacarku saat minggu lalu kuajak ke rumah nenek di Curup. Yang parahnya, nenekku menyetujui saja sambil tersenyum-senyum senang. Belum lagi aku kebagian digoda oleh sepupuku. Menyebalkan sekali.

Untungnya saja setelah itu, ia mentraktirku makan bakso, jika tidak, sudah pasti aku akan memasang wajah masam sepanjang perjalanan pulang menuju Bengkulu. Terkadang Keni benar-benar keterlaluan. Sedikit menyesal aku berkenalan dengannya.

Ingin rasanya menjauh darinya, tetapi aku masih memiliki janji untuk mengajaknya mendaki Bukit Kaba. Minggu lalu, yang memang hari liburku, kami hanya mengunjungi Danau Mas Bestari, Suban Air Panas, dan mampir ke taman bunga yang terletak tak jauh dari kawasan danau. Belum lagi ke daerah Bengkulu utara, selatan, bahkan Rejang Lebong yang juga memiliki banyak tempat wisata bagus.

“Mau kutemani?”

Suara Keni melunak. Matanya yang teduh dan bening layaknya telaga tak terjamah tangan manusia itu menatapku dalam. Ada sebuah penyesalan di sana.

“Bukannya hari Minggu jadwal kita jalan-jalan? Lagian aku sudah janji padamu kalau minggu depan kita akan ke air terjun dan kebun teh di Kepahiang. Aku bisa malam aja ke rumahnya untuk ngantar kado, ngobrol sebentar lalu pulang.”

Keni menggeleng pelan. “Gak masalah, aku bisa nunggu minggu depannya lagi saat kamu libur. Lagipula aku juga masih lama di sini. Mungkin tiga bulan, setengah tahun, atau setahun.”

Kutatap wajah Keni yang tampak dibuat bersungguh-sungguh. Ck, ia mau membohongiku tentang tujuan awalnya datang ke Bengkulu. Berkata ingin liburan dan menemani neneknya, padahal ia sendiri juga sedang dalam pelarian rasa. Menyingkirkan kenangan tentang kekasihnya dengan cara menciptakan kenangan baru. Konyol! Ya, meski kuakui itu cara yang bagus. Sayangnya dulu aku tak terpikirkan dan memilih menyibukkan diri dengan banyaknya pekerjaan. Lebih konyol!

“Terserah kamu aja. Ngomong-ngomong, kamu gak mau cari kerja? Aku bisa minta tolong temanku untuk mencarikan pekerjaan buatmu.”

“Aku udah kerja, ‘kok!”

“Eh? Di mana?”

Keni tersenyum misterius, “Rahasia!”

“Apaan, sih.”

Ia tertawa keras hingga orang-orang yang berada di sekitar melirik ke arah kami. “Jadi, mau kutemani.”

“Terserah!”

“Ahaha, ngambek. Sorry, deh, Mi.”

“Tau, ah.”

Lagi, aku memberengut kesal sambil melahap es krim. Lihat, Keni benar-benar menyebalkan, bukan?!

♥♥

Jumat pagi yang gelisah. Hujan kemarin malam menyisa gerimis dan dingin yang sama. Masih dengan rambut basah setelah mandi, aku duduk di bingkai jendela yang menghadap ke jalan. Samar, terdengar riuh burung gereja dari dahan pohon belimbing yang tumbuh tepat di samping kamar.

Aku melirik jam dinding terbuat dari kayu dengan beberapa ukiran di sekitarnya. Salah satu barang antik peninggalan Kakek yang diwariskannya padaku. Jarum jam menunjuk pada angka enam dan dua. Masih terlalu pagi untuk bersiap kerja. Lagipula dengan datang cepat setiap hari pun gajiku masih tetap sama, belum lagi dengan pekerjaan yang lebih banyak.

Mataku memandang kosong pada rumput basah di halaman rumah. Masih terbayang pertemuan kemarin minggu, saat orang itu (sengaja) menghampiriku yang tengah asyik mengetik laporan di taman kota.

Arumi.”

Suara yang sangat familier itu membuatku menegang sesaat. Ketika kuangkat kepala, si pemilik suara telah berdiri di depanku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Ada perasaan senang, sedih, juga bersalah terpancar di wajah tirusnya.

“O-oh, kamu. Sedang apa di sini?” tanyaku setelah berhasil menguasai diri. Ya, setidaknya aku ingin terlihat baik-baik saja di depannya meski nyatanya aku terkejut ketika bertemunya lagi.

“Gak sengaja lewat,” balasnya, seraya tersenyum canggung.

Aku mengangguk. Meski rasanya, itu bukan jawaban tepat yang ingin kudengar. Aku tahu, sedikit sekali orang-orang melakukan kesengajaan terhadap seseorang lainnya, dan apa yang dikatakannya barusan adalah sebuah kebohongan nyata.

Umh, Mi, sebenarnya aku mau ngasih undangan,” katanya lagi, masih berdiri di depanku. Sengaja, aku tak mau berlama-lama bertemu dengannya meski hati kecilku ingin.

“Oh, kamu mau nikah?”

Pertanyaan bodoh apa yang kulontrakan? Tentu saja ia akan menikah! Apa lagi?!

“Begitulah, datang, ya.”

Ia mengulurkan selembar kertas undangan berwarna cokelat. Tanpa menatapnya, aku menerima undangan tersebut dan meletakkannya di atas meja yang terbuat dari semen.

“Gak janji, ya, dan selamat buatmu. Semoga bahagia.”

“Makasih, Mi, kamu juga.”

“Aku sudah bahagia sekarang, berkatmu.”
Aku tersenyum tipis, lalu menatap layar ponsel yang lampunya berkedip. Sebuah pesan masuk, dari Aida, temanku sekaligus kekasih orang yang berdiri di depanku saat ini. Isi pesannya sama seperti apa yang kuterima barusan, hanya saja ini dalam bentuk foto. Ya, undangan cokelat.

“Konyol!” pekikku, seraya beranjak menuju meja rias.

Suara cempreng Ibu dari dapur bagai alarm untukku. Tanpa menyahut, aku menyisir rambut dan memakai make-up tipis, lalu keluar kamar sebelum beliau mengoceh lebih panjang tentang mengingatkan acara sarapan bersama.

“Ya, Bu. Aku di sini,” kataku sambil duduk di kursi meja makan.

Di sana sudah ada ayah juga adik perempuanku yang tampaknya masih mengantuk. Pasti ia dibangunkan pagi-pagi sekali untuk disuruh belajar. Sama sepertiku dulu.

♥♥

Orang bilang, jangan pernah mengundang mantan ke acara pernikahan, atau sebaliknya—jangan pernah datang ke pernikahan mantan. Alasannya? Tentu saja mungkin akan menimbulkan sedikit masalah tak terduga. Akan tetapi, itu tidak akan menjadi sebuah masalah jika kamu sudah tidak memiliki perasaaan apa-apa lagi.

Minggu menjelang siang, Keni sudah duduk manis sambil minum teh yang disuguhkan Ibu. Wanita paruh baya itu senang sekali jika melihat Keni datang, atau mengetahui bahwa teman baruku itu akan datang. Entah sihir apa yang sudah dilakukan laki-laki dua puluh empat tahun itu pada Ibu. Padahal biasanya—dulu—beliau selalu melarangku membawa teman laki-laki ke rumah, dengan alasan belum saatnya. Mungkin sekarang, lantaran usiaku menginjak angka dua puluh tiga dan aku masih sendiri, sibuk dengan pekerjaan saja, wanita paruh baya yang rambutnya mulai memutih itu merasa khawatir (?). Aih, apa yang salah dengan seorang gadis yang asyik dengan pekerjaan daripada menjalin asmara?

“Arumi memang lama kalau dandan, tunggu sebentar lagi, ya, Nak Keni.”

Samar kudengar suara Ibu. Ah, beliau memang pintar menjelek-jelekkanku. Padahal dibandingkanku, Ibu lebih lama jika disuruh bersiap untuk pergi. memilih baju saja hampir setengah jam.

“Aku udah selesai, Bu,” sahutku sambil menenteng paper bag dan sepatu high heels berwarna hitam , senada dengan gaun di bawah lutut yang kukenakan. Jangan tanya kenapa aku memilih warna hitam ke acara nikahan, tak ada niatan yang khusus. Percayalah.

Aku mengangguk pada Keni. Mengerti akan isyaratku, ia berdiri setelah meneguk teh yang masih tersisa setengah. “Pamit dulu, ya, Bu. Terima kasih tehnya.”

“Iya, hati-hati.”

“Bu, pergi dulu,” kataku seraya mencium punggung tangannys. Bau terasi!

Ibu tampak senyum-senyum melihat ekspresi mukaku yang berubah. “Tadi Ibu makan di rumah Bu Irma,” katanya memberitahu.

Ya, tentu saja, sebab di rumah Ibu tidak pernah menyambal terasi karena Ayah tidak suka. Jika tercium bau terasi di rumah, wah, siap-siap saja telinga mendengar ocehannya.

Aku menggeleng pelan dan menyusul Keni yang sudah masuk ke dalam mobil. Sedetik kemudian setelah memakai high heels, aku membuka pintu depan mobil dan duduk tenang di sampingnya.

“Eh, ibumu gak tau kalo kita mau ke nikahan mantanmu?”

“Enggak, kenapa? Dia nanya?”

“Iya, tadi pas kamu di kamar.”

“Lalu kamu jawab apa?”

“Ke acara nikahan mantanmu!”

“Ehhh?”

“Bercanda.”

“Dasar! Ayo, jalan.”

♥♥

Mobil avanza putih milik Keni berhenti tepat di bawah pohon tanjung di seberang jalan menuju rumah Aida. Setelah menghela napas panjang, aku membuka pintu. Senyumku mengembang melihat Keni yang telah berdiri di depanku dengan lengan kiri sedikit terbuka. Aku mengerti maksudnya, tetapi aku tak mau melakukan itu. Untuk apa? Agar dikira aku punya pengganti ‘orang itu’? Ck, konyol.

“Dasar! Aku gak tanggung jawab kalau kamu diejek,” bisik Keni.

Aku tak menyahut, dan berjalan perlahan menuju ke tempat acara. Keni di sampingku. Berjalan sambil berbisik-bisik tak jelas. Harus kuakui, Keni termasuk orang yang berisik dan banyak tanya. Jika kamu bukan tipe penyabar sepertiku, yang setia menjawab apa pun pertanyaan konyolnya, mungkin kamu akan memutuskan untuk tidak berteman dengannya.

Lalu aku? Kenapa masih memilih tetap berteman dengannya selain karena alasan pertama—aku pernah janji akan mengajaknya ke tempat wisata di Bengkulu—itu?

“Nanti, kalau diminta foto, kamu foto aja. Kamu di sebelah pengantin pria, aku di sebelah pengantin wanita. Kita sama-sama gandeng tangannya. Oke?”

Aku menoleh cepat ke arahnya. Bagaimana mungkin Keni punya ide gila semacam ini? Akan tetapi, memang patut dicoba, sih.

“Oke?” tanyanya memastikan lagi.

Aku tak menyahut, melainkan tersenyum tipis yang ia tahu adalah ‘iya’. Laki-laki di sampingku kini tersenyum lebar seiring langkahnya yang kian lebar.

“Hei, pelan-pelan, aku pakai heels, nih.”

“Ayolah, aku tak sabar ingin melakukannya.”

“Dasar, gila!”

Bukannya marah, Keni malah terkekeh. Tangannya yang bebas memegang tanganku tanpa sempat kutolak. Kami berjalan menuju meja tamu yang disambut senyum manis dua orang gadis penjaga tamu yang salah seorangnya kukenal sebagai saudara sepupunya Aida.

“Mbak,” sapanya.

Aku mengangguk dan tersenyum, lalu menulis namaku dan nama Keni di buku tamu. Tadi ia sempat berbisik dan ngotot namanya ingin ditulis.

“Masuk dulu, ya."

Gadis bermake-up tebal dengan warna lipstik merah menyala itu mengangguk, kemudian sibuk lagi tersenyum menyambut tamu undangan lain.

Aku memilih duduk di kursi di pinggiran bagian belakang. Sedikit jauh dari speaker meski suara musik masih terdengar keras di telinga. Aku melirik ke samping di mana seharusnya ada Keni, tetapi laki-laki itu tak ada. Celingak-celinguk aku mencarinya, sampai akhirnya ia melambai dengan tangan kiri yang memegang es krim. Dasar!

“Kupikir kamu kepincut cewek.”

“Mana mungkin, kamu yang paling cantik di sini,” sahutnya, menyodorkan es krim vanilla dan sendok kayu padaku.

“Apaan!”

Ia tertawa, menyuap es krim cokelatnya sambil menatap sekitar. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, dan aku tak mau tahu. Biar sajalah.

“Itu mantanmu? Jelek!” gumamnya.

Alisku berjengit. Padahal kukira ia bisa diam sebentar saja, tetapi ternyata aku salah. Ya, aku yakin setelah pertanyaan satu ini akan ada pertanyaan lain yang ia lontarkan. Makanya aku memilih diam dan memakan es krimku sampai habis.

“Kita makan, yuk, Mi.”

“Eh? Kamu lapar? Kalau lapar kita makan di luar, ini langsung pulang aja.”

“Enggak lapar, sih, aku cuma pengen makan di acara nikahan aja sama kamu. Makan di kafe, ‘kan, udah sering.”

“Makanannya sama aja kayak di warung makan.”

“Tapi suasananya beda. Ayo.”

“Gak mau, ah. Tuh, liat antriannya panjang.” Aku menunjuk pada barisan tidak teratur orang-orang yang menunggu giliran untuk mengambil makanan.

“Kita bisa ngobrol dan ngerencanain setelah ini mau ke mana. Ayo.”

Keni berdiri, menarik lenganku paksa. Mau tak mau aku menurutinya daripada malu dilihat orang banyak. Tahu begini aku tidak usah mengajaknya saja.

“Jangan tegang gitu kali,” bisik Keni, saat kami mengantri untuk salaman dengan kedua mempelai dan orang tua mereka.

Keni terkikik geli melihat ekspresiku yang berubah. Tiba-tiba ia memegang tanganku ketika giliran kami bersalaman. Bisa kulihat binar jail di matanya. Aku yakin, ia merencanakan sesuatu yang konyol.

“Selamat, ya, semoga langgeng. Sekarang aku pacarnya Arumi.”

Ia menggerling ke arahku yang berdiri canggung dengan senyum terpaksa. Bodoh. Kenapa juga ia harus menjelaskan hal yang tidak perlu. Untuk membuat laki-laki itu merasa menyesal karena telah melepaskanku dan memilih temanku? Ah, alasan paling klise yang sering kutemui. Aku lebih suka Keni bersikap tak acuh, sama seperti ketika ia berhadapan dengan teman-temanku. Tampak lebih keren dan berkelas. Sayangnya, laki-laki di sampingku ini terlalu ego untuk melakukan apa yang dipikirkannya. Ck.

“Ah, iya. Foto dulu.” Laki-laki yang mengenakan baju adat Bengkulu itu menjawab setelah terdiam beberapa saat.

“Gak usah, kami buru-buru. Selamat ya, Kak, Aida,” potongku cepat sebelum Keni meng-iya-kan.

“Gak apa-apa, Sayang. Ini mungkin yang terakhir, lho. Karena nanti aku gak bakal nyuruh kamu foto sama cowok lain,” tandas Keni.

Aku memelototinya, tetapi ia hanya tersenyum tipis, dan akhirnya sesi foto yang dikatakannya tadi itu terjadi. Ia berdiri di sebelah Aida, dan aku di sebelah orang itu. Konyol.

“Hei, kamu lihat ekspresi mantanmu tadi? Lucu sekali. Nah, gimana? Kamu senang?” Keni masih memegang tanganku saat kami menuruni anak tangga.

“Lumayan. Aku lebih senang lagi melihat ibunya Aida yang selalu menjelek-jelekkanku itu langsung berubah air mukanya, apalagi pas aku salaman dengan besannya. Makasih, ya, Ken.”

Keni tersenyum. “Gak masalah, aku suka melakukannya. Nanti aku juga bakal minta tolong padamu.”

Aku tertawa kecil, mengerti apa yang dikatakannya. “Tentu. Gak masalah.”

“Ayo, kita makan!”

“Eh, makan lagi?”

“Ya, aku masih lapar. Gara-gara kamu nyuruh ngambil nasinya sedikit. Dasar, namanya juga di acara pesta, mau makan berapa banyak mah terserah. Huh!”

“Bodoh. Ayo, ke rumah makan lalu nonton bioskop. Aku traktir sebagai ucapan terima kasih.”

Keni mengangguk mantap, dan menarikku untuk berjalan lebih cepat jika tak mau kukatakan menyeret dengan paksa.

♥♥

Aku tahu, jarak itu semakin nyata sekarang. Tampak lebih jelas dibandingkan dua tahun lalu, ketika orang itu memilih bersama temanku dibandingkan aku yang masih menunggunya datang ke rumah bersama orang tuanya. Kalau kuingat lagi, betapa bodohnya diriku yang pernah mengenalkan mereka berdua, tanpa pernah berpikir bahwa akan ada sebuah kisah lain yang mungkin akan tercipta.

Sakit? Pasti. Jika itu bukan temanku, tentu aku tak masalah jika ia bersama yang lain. Toh, manusia pada dasarnya memiliki tingkat kebosanan yang berbeda terhadap pasangannya atau suatu hal. Sayangnya, aku terlalu naif mengatakan bahwa ia tidak akan pernah bosan denganku lantaran kuputuskan untuk tidak selalu menghubunginya atau bertemu dengannya. Karena menurut yang kutahu, orang-orang akan cenderung merasa bosan bila melakukan hal yang sama dalam waktu lama. Seperti mengucapkan ‘selamat pagi, Sayang.’ atau mengingatkan akan suatu hal.

Ya, tetapi ini semua sudah berlalu. Aku tahu, tidak mudah melupakan meski aku telah berusaha keras sampai sejauh ini. Namun, aku percaya, pada suatu hari nanti semua akan biasa-biasa saja ketika aku bertemu dengannya dan pasangannya. Terlebih, ada Keni yang akan membuat hariku sedikit sibuk.

Laki-laki dua puluh empat tahun dengan wajah rupawan dan senyum manis itu, harus kuakui akan bisa membuatku lupa akan kisah lama.

Kuberitahu, melepaskan seseorang yang (mungkin) tidak baik bagi kita meski sulit, masih lebih baik ketimbang memaksa diri untuk bersama meski nyatanya sakit. Aku sangat menyadari itu.

Bumi Rafflesia, Desember 2018

Continue Reading

You'll Also Like

6M 160K 31
Mia Gibson and Hunter James were always meant to be. But dating the star quarterback that was destined to be in the NFL was not easy. Especially when...
707K 2K 50
🔞🔞🔞 warning sex!! you can cancel if you don't like it.This is only for the guys who have sensitive desire in sex.🔞🔞
591K 32K 77
A tale of love, war and Spirituality.
432K 10.8K 62
🔞ប្រភេទរឿងខ្លឺ 🔞 មានពាក្យមិនសមរម្យមិនល្អសម្រាប់ក្មេងមិនទាន់គ្រប់អាយុ បើមិនចង់អាអូសចោល #teakook #bg #teahyung girl #jungkook boy