SENANDIKA

By softassilk

17 0 0

terima kasih manis, sudah ajarkan dengan baik mengenai rasa penyesalan More

bagian satu
Bagian 3-Selesai

bagian dua

2 0 0
By softassilk

Beberapa saat yang lalu aku mendengar dari kawan-kawan akademi-ku bahwa tahun ini penempatan lulusan Akademi Militer akan diprioritaskan di Indonesia Timur. Dengan kata lain, aku bisa saja bertugas di perbatasan.

Kali ini aku sedang duduk di kursi tunggu bandara ibukota, menunggu panggilan boarding yang seharusnya diumumkan lima menit lagi kalau tepat waktu. Setelah pelantikan, aku memutuskan pulang sebentar ke Semarang sebelum menunggu kabar penempatan kerja.

Disampingku ada kawan seperjuanganku. Bukan kenal sejak awal masuk Akademi Militer, melainkan sejak awal masuk SMA. Aku pun juga tidak menyangka akhirnya akan jadi seperti ini. Yudhis, yang dulu kumusuhi sekarang menjadi bersahabat lagi denganku karena memasuki akademi yang sama.

"Nggih, kamu udah tahu belum kalau lusa ada acara reuni Smanda?" tanya Yudhis sembari memainkan ponsel di genggamannya.

Aku mengangguk. Semalam aku sudah baca di grup angkatan kalau lusa ada acara reuni tahunan. Aku merasa tahun ini aku harus datang ke acara itu karena empat tahun terakhir aku sama sekali tidak sempat datang. Yudhis pun merasakan hal yang sama.

"Semoga aja ketemu Anggia ya, Nggih?" Yudhis tahu bagaimana aku dengan Anggia.

Mengingat gadis itu, aku sudah lama tidak bertukar kabar dengannya. Setelah obrolan hari kelulusan itu, esoknya Anggia langsung berangkat untuk pengobatan. Untuk bulan pertama kami berpisah, kabar-kabaran masih selalu setiap hari. Anggia sempat mengungkapkan bahagianya setelah tahu aku diterima di Akademi Militer. Lalu bulan-bulan berikutnya, mulai jarang untuk memberikan kabar karena kesibukan masing-masing. Dan sampai sekarang, aku belum sempat untuk mencari kabarnya lagi.

"Kira-kira Anggia udah pulang apa masih pengobatan ya, Dhis?" tanpa sadar aku bertanya seperti itu.

Yudhis menepuk jidatnya, "Hell, Nggih.. jaman sekarang sosial media buat apa dah?" ia balas bertanya dengan aksen betawi-nya yang khas.

Pesan line yang kukirimkan pada Anggia beberapa bulan yang lalu sampai sekarang tak mendapatkan jawaban. Ia yang tak pernah absen muncul di grup angkatan, setelah pengobatan tidak pernah mengucap apapun di ruang obrolan itu. Dan akun instagramnya, tidak aktif sejak tahun lalu. Ia tak punya akun media sosial yang lainnya.

Kira-kira, gadis itu akan datang atau tidak di acara reuni.

***

Seperti perkiraanku sebelumnya sebelum datang ke acara reuni bersama seorang Yudhis. Anak-anak angkatan semua terkejut melihat kami. Pasti yang ada di pikiran mereka, bagaimana bisa orang yang dulu pernah bertengkar sampai masuk bimbingan konseling bisa datang ke acara reuni secara bersama-sama dan mengenakan seragam yang sama pula.

Baru kusadari bahwa karena masalah itu, aku dan Yudhis jadi sedikit lebih populer. Banyak juga yang menanyakan kabar kami dan antusias dengan kehadiran kami.

Kuhampiri meja besar yang ditempati kelasku dulu, IPS 1. Meja itu hampir penuh dan hanya tersisa tiga kursi. Mereka langsung ribut melihat kehadiranku setelah empat tahun tak bertemu. Seperti reuni biasanya, kami bertukar kabar dan cerita.

Seorang kawanku datang setelahku dan duduk di salah satu kursi. Kali ini hanya tersisa kursi satu. Semakin gusar aku menyadari bahwa kursi kosong satu itu seharusnya diduduki Anggia.

"Ca, Anggia kemana?" tanyaku pada seorang teman yang dulu semasa sekolah dekat dengan Anggia, namanya Eca.

Eca sejenak mengerutkan keningnya, "Tahun lalu dia dateng kok, Nggih. Tapi kemarin kukabarin dia, nggak ada jawaban" rupanya bukan aku saja yang tidak mendapatkan balasan darinya. Eca pun juga merasakan hal yang sama.

"Heh Nggih" Eca bicara lagi, "Tau nggak, Anggia juga tanyain itu setahun yang lalu".

"Tanya gimana?".

"'Ca, Singgih kemana, ya?'" Eca memeragakan bagaimana cara Anggia berbicara. "Emang jodoh, udahlah kalian mbojo aja sana!".

Aku baru akan menanyakan pada Eca mengenai Anggia, namun Yudhis mendadak saja menghampiri tempat dudukku dan membisikkan sesuatu di telingaku.

"Aku dapet bocoran dari ayahku, Nggih" bayanganku langsung tertuju pada seorang gubernur akademi militer yang berpangkat Jenderal itu.

"Apa, Dhis?".

"Penempatan kita".

Aku menjengitkan alisku, menatap Yudhis tak percaya. Seharusnya kabar itu didapat minggu depan. Bisa-bisanya anak itu mendapatkan berita itu dengan mudah. Tentu saja, anak gubernur Akmil bisa berbuat apa saja.

"Dimana?" tak dipungkiri, aku juga penasaran.

"Kayaknya kamu memang jodoh denganku, Nggih. Penempatan kita sama-sama di Natuna" firasatku beberapa hari yang lalu tak terbukti. Aku bukan di perbatasan Indonesia timur. Namun di perbatasan Indonesia barat. Sama saja beratnya.

"Sampai mual aku lihat wajahmu tujuh tahun, Dhis" candaku, namun dengan raut wajah yang serius. Membuat Yudhis berdecak langsung menjitak kepalaku kesal.

"Omong-omong.." mata Yudhis menelisik meja kelasku, "Mana Anggia?" tanyanya.

Aku menghela nafas, "Nggak ada kabar kata Eca".

Eca yang merasa namanya tersebut langsung menengok. Tersenyum mendapati Yudhis berdiri di samping kursiku.

"Heyo, Letnan Yudhis! Kaget lho aku lihat kamu akur sama Letnan Singgih!" seruan seperti itu sudah sepuluh kali kudengar sejak pertama kali aku memasuki hall tempat reuni diselenggarakan.

"Hai, Ca! Anggia nggak sama kamu, ya?" Yudhis langsung menanyakan apa yang membuatnya penasaran tanpa basa-basi terlebih dulu.

Eca menggeleng sembari mencomot kue kering, "Nggak ada kabar sama sekali. Sayang banget, padahal Singgih dateng tahun ini". Yudhis mengangguk menyetujui ucapan Eca itu.

"Heh, Nggih" Yudhis kembali bicara dengan suara pelan kepadaku.

"Apa?"

"Kamu nggak kepikiran buat cari Anggia?" pertanyaannya itu membuatku terdiam. Pemikiran itu baru ada setelah Yudhis menanyakannya.

"Aku harus gimana?"

"Wah, Nggih.. aku jadi nggak yakin kamu nerima penghargaan Adhi Makayasa. Salah nih Akmil" Yudhis malah menggerutu menanggapi pertanyaanku.

Melihat aku tak kunjung menjawab, Yudhis berdecak kesal, "Datengin rumahnya, tanya sekarang Anggia ada dimana, samperin dia dimana aja, gampang, kan?".

Membayangkan aku melakukan apa yang dikatakan Yudhis itu membuat jantungku berdegup kencang. Karena keinginanku untuk bertemu Anggia, akhirnya aku pun menyusun jadwal untuk mengunjungi rumahnya esok hari.

Lucu memang. Kalau dulu Anggia yang membuatku berhasil memaafkan Yudhis, kali ini Yudhis yang membuatku bertekad untuk mencari Anggia kembali.

***

Alhasil aku keesokan harinya sudah ada di daerah Semarang atas, tepatnya di Tembalang, perumahan dekat Universitas Diponegoro.

Aku jadi ingat dulu sering mengantar pulang Anggia ke daerah ini. Ketika pulang kemalaman, atau mendapat tugas kerja kelompok yang sama. Karena hal tersebut, bahkan keluarga Anggia jadi ikut akrab denganku.

Suasananya masih sama. Rumah Anggia tergolong sederhana, tidak mencolok, namun memiliki banyak tanaman hias di halaman rumahnya. Pagar pun tak sampai setinggi pinggang. Tepat di depan rumahnya, masih ada warung tenda biru, tempat dahulu aku dan Anggia nongkrong kalau sedang tidak punya banyak uang.

Anggia memang punya efek magis. Mengingat seperti itu saja sudah membuatku begitu ingin menemuinya.

Biasanya, kalau aku datang, aku akan langsung membuka pintu pagar, melangkah santai ke teras rumah, dan mengetuk pintu. Aku pun melakukannya juga kali ini.

Kuketuk beberapa kali rumah itu, namun tak kunjung ada yang membukakan. Jangankan membukakan, menyaut salamku dari dalam saja tidak ada. Ini membuatku jadi harap-harap cemas.

Aku mendengar jawaban samar satu menit kemudian. Lalu ada suara langkah kaki mendekati pintu rumah. Sedetik kemudian pintu itu terbuka. Namun yang kudapati bukan Anggia, bukan pula anggota keluarganya yang lain.

Gadis berketurunan Cina itu nampak heran melihatku. Seseorang dengan seragam akademi militer sedang berdiri di depan pintu rumahnya.

"Cari siapa, Mas?" tanya gadis itu ragu.

"Anggia?" benakku masih berfikiran positif, mungkin saja gadis yang sebelas dua belas dengan Sanchai ini adalah sepupu Anggia.

Namun gadis itu semakin heran, "Nggak ada yang namanya Anggia disini, Mas".

Aku mengerutkan kening, menatap sekeliling, memastikan bahwa aku ada di rumah yang benar. "Anggia Kirana, dulu dia tinggal disini" ucapku bersikeukeuh.

Kembaran Sanchai itu mangut-mangut, seolah teringat sesuatu. "Oalah, pasti mas nyari penghuni sebelum saya, ya?".

Jadi, Anggia pindah rumah tanpa mengabariku.

"Mbak Anggia nya sudah pindah, Mas" ujarnya.

"Kemana?" aku otomatis bertanya.

"Mana saya tahu" ah, nggak berguna.

Tidak mendapatkan apa yang kuinginkan, aku segera berpamitan. Keluar dari rumah lama Anggia dan berjalan kearah kanan, menuju mobil ayah yang kuparkir di depan gang.

"Mas?" meskipun memanggil tanpa nama, hasratku sebagai laki-laki mengatakan untuk menengok ketika mendengar panggilan embel-embel 'mas'.

Seorang wanita paruh baya nampak melongok dari dalam warung tenda biru, menatapku penuh selidik. "Mas Singgih, bukan?".

Aku baru mengingatnya. Wanita paruh baya itu adalah ibu pemilik warung tenda biru yang dulu sering ku kunjungi dengan Anggia. Begitu mengingatnya, aku langsung menghampiri ibu itu. Bersalaman dengannya dan basa-basi bertukar kabar.

"Mas Singgih kesini nyari Mbak Anggia ya?" tanya ibu itu.

Aku mengangguk.

"Mbak Anggia sudah pindah, Mas" ya, aku sudah tahu. "Mas Singgih tau, Mbak Anggia pindah kemana?".

Aku menggeleng.

Ibu itu mencari-cari sesuatu di dalam laci gerobaknya. "Saya pernah dikasih alamat sama Bu Susi, ibunya Mbak Anggia. Coba saja Mas Singgih hampiri alamat itu, siapa tahu ketemu sama Mbak Anggia".

Aku diberi secarik kertas bertuliskan sebuah alamat. "Sejak kapan Anggia pindah, Bu?" tanyaku.

Ibu itu nampak mengingat-ingat, "Kalau nggak salah setelah Mbak Anggia selesai pengobatan di Singapore?".

"Kapan Anggia selesai pengobatan, Bu?" dasar, sebenarnya kawan macam apa aku, sampai kabar sahabatnya saja tidak tahu.

"Tahun lalu seingat saya, Mas".

Aku tertegun. Berarti Anggia tidak lagi di Singapore. Kemungkinan besar ia kini sudah ada di Semarang. Dan berarti, reuni tahun lalu ia sudah sembuh dari penyakitnya. Sebenarnya apa yang membuatnya berhalangan datang di reuni tahun ini.

***bagian dua selesai***

terima kasih sudah membaca ^^

Continue Reading

You'll Also Like

242K 14.5K 64
๐“๐จ ๐ž๐ฏ๐ž๐ซ๐ฒ๐จ๐ง๐ž ๐ฐ๐ก๐จ ๐ญ๐ก๐ข๐ง๐ค๐ฌ ๐ญ๐ก๐ž๐ฒ ๐š๐ง๐ ๐ญ๐ก๐ž๐ข๐ซ ๐œ๐ซ๐ฎ๐ฌ๐ก ๐š๐ซ๐ž ๐ง๐จ๐ญ ๐ฆ๐ž๐š๐ง ๐ญ๐จ ๐›๐ž ๐ญ๐จ๐ ๐ž๐ญ๐ก๐ž๐ซ. ...
4.3M 236K 49
"Stop trying to act like my fiancรฉe because I don't give a damn about you!" His words echoed through the room breaking my remaining hopes - Alizeh (...
464K 11.5K 30
In a district where danger lurks around every corner, Isaac North tries to live a normal life, but quickly finds himself entangled in a perilous roma...
198K 15.2K 47
[Under editing]* "Charche nashe ke chal rahe the main zikr teri aankhon ka kr aaya, jab baat sukoon ki chidi main baat...