Love You Till Jannah

By Dilla_Kaneki

939K 78.6K 8.8K

Pertemuan mereka kerap di warnai perdebatan. Iqbal Alfakhri merupakan seseorang yang menjadikan sains sebagai... More

Prolog
--
Cuap-cuap
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
-
23
Special Part : Nikmat Yang Tak Kudustakan
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
33.
34.
35.
Epilog
Q & A
B.L.U.R.B
(S2) Prolog
(S2) 1. Mufia Safa
(S2) 2. Letak Ukur Bahagia
(S2) 3. Punuk Unta
(S2) 4. Ikatan Rahasia
(S2) 5. Berkhianat
(S2) 6. Gusar
(S2) 7. Cinta (tak) Halal
(S2) 8. Riba!
(S2) 9. Dia Kembali
(S2) 10. Pengakuan
(S2) 11. Kebongkar
(S2) 12. Sang Pejuang Doa
(S2) 13. Pertimbangan
Konsekuensi Talak
(S2) 14. Perceraian
(S2) 15. Keraguan
(S2) 16. Rujuk?
(S2) 17. Keputusan
(S2) 18. Sabar
(S2) Epilog
Extra Part - Welcome
Cerita Baru
Info Penerbitan
Open PO

32.

13.3K 1.2K 192
By Dilla_Kaneki


Nayla mengerutkan dahinya saat melihat menu yang ia masak sore tadi masih utuh. Ia menoleh kepada Cecilia dengan heran. “Mas Iqbal tidak memakannya lagi, ya?”

Cecilia menggeleng lesu. Ia menatap Nayla simpati. Nayla menarik napas. Ia pun menutup kembali tudung saji dan berkata lembut, “Kalau begitu tolong bagikan saja ke pelayan lainnya, Mbak. Juga para satpam yang berjaga di luar. Supaya gak mubazir. Yasudah, saya balik ke kamar lagi ya.”

Ketika Nayla hendak pergi, dengan ragu-ragu, Cecilia memanggilnya.

“Nyo-nyonya?”

“Iya, ada apa Mbak?”

Cecilia meremas tangannya. “A-apa sebaiknya besok kita memasak se-secukupnya saja? Ma-maksud saya--”

Nayla menganggukkan kepala paham. “Iya, gak apa-apa Mbak. Toh Mas Iqbal tidak pernah menyentuh masakan saya lagi ini, kan? Mulai besok kita buat untuk beberapa porsi saja ya. Terima kasih atas sarannya.”

Cecilia mengangguk dengan tidak enak hati sekaligus merasa kasihan. Nayla berlalu dari dapur. Ia memegangi dadanya. Sudah beberapa hari belakangan ini Iqbal tidak lagi memakan masakannya. Sehingga mau tak mau, Nayla pun terpaksa menelan kekecewaan. Iqbal lebih memilih makan di luar. Sebenernya tidak begitu masalah, tapi Nayla sangat mengkhawatirkan kesehatan suaminya. Bagaimana kalau Iqbal makan sembarangan?

Misalnya, junk food?

Nayla takut Iqbal sakit akibat keseringan konsumsi makanan seperti itu. Ingin bertanya langsung sekedar memastikan Iqbal akan baik-baik saja mengonsumsi makanan di luar sana, Nayla sama sekali tidak berani. Akhirnya ia hanya mampu berdoa agar Allah selalu memberikan suaminya nikmat sehat.

Nayla menghentikan langkah setibanya ia di depan kamar. Sejenak ia memperhatikan pintu ruangan yang ada di sampingnya. Tempat di mana Iqbal berada. Nayla memejamkan mata. Ia benar-benar rindu dengan Sang suami namun apa daya, dia hanya bisa memendam itu semua dalam diamnya.

Nayla pun memutar knop dan segera masuk ke dalam kamarnya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Nayla mendekati ranjang dan membaringkan tubuhnya di sana. Tangannya bergerak untuk menyentuh sisi kosong di sampingnya.

Nayla kembali memejamkan mata dan mencoba untuk bersikap seolah-olah Iqbal ada di dekatnya. Tidur di sampingnya meski pun ia tahu itu hanyalah fatamorgana yang harus ia terima dengan hati lapang di keesokan hari.

Tepat ketika Nayla sudah jatuh ke alam mimpinya, sosok Iqbal pun muncul. Laki-laki itu memasuki kamar dan berjalan sangat pelan menuju almari hingga tak menimbulkan bunyi. Iqbal mengambil banyak pakaiannya, baik baju dan celana santai mau pun seragam kerjanya.

“Mas ...”

Iqbal meremas pakaian yang ada di tangannya ketika mendengar seseorang memanggilnya. Usai memejamkan mata sejenak, Iqbal membalikkan tubuh. Ia terdiam saat menyadari bahwa Sang istri rupanya hanya mengigau. Iqbal memperhatikan Nayla dengan sendu sebelum ia berlalu keluar untuk kembali ke ruang kerjanya.

***

“Lagi ada masalah sama ipar?”

“Jangan ikut campur, oke?”

“Gimana aku gak mau ikut campur! Kakak tiba-tiba mau pergi? Terus juga akhir-akhir ini aku gak lagi lihat Kak Iqbal dan Nay bersama!”

“Siska!” bentak Iqbal.

Nayla yang mendengar ada kericuhan di lantai dasar saat sedang membereskan kamar, tak urungnya langsung keluar dan berlalu menuruni anak tangga. Lalu langkahnya terhenti kala melihat sosok Iqbal yang membawa sebuah ransel besar dan tas laptopnya. Nayla mengerutkan dahi.

“Mas, kamu mau ke mana? Kok bawa tas besar gitu?”

Iqbal tidak menjawab pertanyaan Nayla. Ia menatap datar Siska dan berkata dingin, “Kakak pergi.”

“Mas!”

Iqbal berjalan tanpa menghiraukan panggilan istrinya. Nayla pun mengejar sosok Iqbal. Siska hanya memperhatikan keduanya dengan heran. Siska menoleh pada pelayan wanita yang tadi membantunya turun ke bawah, ia berkata, “Bawa saya ke atas.”

“Baik, Non.”

Sementara waktu ini Siska memilih memendam rasa penasarannya yang teramat itu. Ia berniat menanyakan hal tersebut nanti. Ketika dirinya dan Nayla hanya berdua saja.

Sadar kaki Iqbal lebih panjang hingga mempengaruhi jarak mereka, Nayla berlari sedikit lebih cepat. Ia berhasil menangkap pergelangan tangan Iqbal tepat sebelum laki-laki itu membuka pintu mobilnya yang terparkir di pekarangan rumah.

“Mas!”

Iqbal melirik tangan mungil Sang istri yang menyentuhnya. Menarik napas panjang, Iqbaal menepisnya kasar dan menatap nyalang Nayla yang kini tertegun atas perlakuannya.

“Ada apa?”

“Ma-Mas mau ke mana?”

“Bukan urusan kamu,” Iqbal merespon dengan sengit.

“Mas sudah sarapan? Kalau Mas mau pergi jauh, Mas harus mak--”

“Bisa diam?”

Nayla mengatupkan bibirnya.

“Saya mau ke mana, itu bukan urusan kamu,” lanjut Iqbal.

“Ta-tapi-”

“Jangan halangi saya!” Iqbal lekas membuka pintu mobil yang terparkir di pekarangan dan segera masuk ke dalamnya. Tanpa memberi salam, ia melajukan mobilnya begitu saja. Riki yang berdiri tidak jauh darinya, merasa kasihan. Perubahan sikap Iqbal terhadap Nayla jelas sudah disadari oleh para pekerja.

Siska memang ketinggalan persoalan itu sebab dirinya yang lebih suka untuk mendekam di dalam kamar semenjak dirinya kehilangan fungsi kakinya.

“Nyonya, mau berangkat sekarang?”
Mendengar tawaran Riki, Nayla melempar pandangan ke arah laki-laki itu. Ia mengangguk tanpa rasa semangat.

“Boleh,” ujar Nayla getir.

***

Nayla mengaduk-aduk menu makan siangnya tanpa minat. Bella yang melihatnya, merasa keheranan. Sudah seminggu lebih sikap Sang sahabat berubah aneh. Bahkan tatapan Nayla pada makanan, terlihat hampa.

“Eh, kok gak di makan?” teguran Bella membuat Nayla tersadar.

“O-oh, aku lagi gak nafsu, Bell.”

“Tumben. Kenapa sih?”

“Gak tahu,” respon Nayla sambil tersenyum. Bella menautkan alisnya.

“Jangan bilang karena kamu lagi ada masalah?”

Tubuh Nayla menegang.

“Benar?” tanya Bella.

Nayla yang tidak ingin membuat sahabatnya cemas, lantas menggelengkan kepala. Ia terpaksa berdusta, “Gak kok, Bell. Serius.”

“Atau jangan bilang karena sepupu kamu yang sudah pulang ke Bandung itu alasan kamu begini? Secara... aku lihat kalian dekat banget. Pasti agak susah berpisah lagi ya?” tebakan Bella memang tak sepenuhnya salah.

Meski Bella masih saja menduga Iqbal adalah sepupunya, Nayla membenarkan. “Iya, tapi gak terlalu serius-serius juga, hehehe. Karena itu bukan masalah besar.”

“Kalau kamu kangen sepupu kamu, kan bisa telponan saja,” ujar Bella sambil menyuapkan bakso ke mulutnya. “Kan kamu gak hidup di zaman prasejarah di mana telepon belum ditemukan. Pikir smart saja sih.”

“Hm.”

Bella menyengir. “Aku titip salam juga untuk dia ya sayangku, hehehe.”

Ekspresi Nayla berubah masam. Untungnya, Bella tidak menyadari itu.
“Insya Allah, Bell.”

“Loh kok Insya Allah?” protes Bella.

“Takut lupa,” jawab Nayla kemudian tersenyum tipis. “aku kan rada piku--”
Nayla menggantungkan ucapannya. Ia sontak menutup mulut saat mendadak merasa mual.

“Kamu kenapa, Nay?”

Nayla menggeleng.

“Aku ke toilet dulu ya Bell!” Nayla beranjak dari duduknya. Ia tak pedulikan panggilan Bella saat dirinya pergi. Wanita itu berlari cepat menuju  restroom wanita yang tidak begitu jauh dari kantin. Setibanya di sana, ia mendekati wastafel dan memuntahkan isi perutnya yang tadi pagi hanya diisi sepotong roti. Selepas itu, perutnya terasa kram. Nayla memegangi perutnya.

“Ya Allah,” Nayla melihati pantulan wajahnya di cermin. Mengetahui sekitarnya sepi, Nayla memutuskan masuk ke salah satu bilik dan duduk di closet. Nayla mencoba meredakan rasa sakit di perutnya itu dengan mengusapinya lembut. Biasanya, ketika hendak datang bulan, Nayla memang kerap merasakan nyeri. Berkali-kali ia menarik napasnya. Nayla beristighfar di dalam hati, berharap besar agar sakitnya segera hilang supaya dia bisa kembali ke kelasnya karena sebentar lagi bel masuk setelah istirahat akan berdering.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 88.8K 67
CHAPTER LENGKAP! Difollow dulu sebelum baca ya! Judul sebelumnya: KHAIRA Cerita ini belum terbit sama sekali‼️ ━ ━ ━ ━ ━ ━ ━ ━ ━ ━ ━ ━ ━ ━ Bagaimana...
26K 1.2K 21
Spin off Aku Dan Gus kembar Tentang sebuah janji yang pernah diikrarkan oleh seorang laki-laki bernama Zidan Aqil Az-zayyan di masa kecilnya kepada...
6M 364K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] "Hidup bagaikan berjalan di atas tali. Kapan dirimu lengah, maka akan jatuh entah kemana. Begitulah diri tanpa iman. Maka...
22.1K 2.2K 10
(Privat acak, follow sebelum baca) "Gus, kita langsung bikin dedek bayi, kan?" Khadijah yang enggan melanjutkan pendidikannya memilih untuk menerima...