Mantan Rasa Pacar [END]

By Arinann_

1.4M 87K 1.3K

[NEW COVER] Kisah antara Arkano Alfarezi Prasaja, si anak badung yang menjadi juara Olimpiade Matematika deng... More

Arkano Alfarezi Prasaja
Naura Salsabila Azzahra
Chapter 1: Mantan
Chapter 2: Mie Ayam
Chapter 3: Wawancara
Chapter 4: Pacar Baru Arka?
Chapter 6: Toko Buku
Chapter 7: Razia Dadakan
Chapter 8: Arka yang Sebenarnya
Chapter 9: Berantem
Chapter 10: Kejutan
Chapter 11: Minta Bantuan
Chapter 12: Tragedi Foto
Chapter 13: Bertemu di Taman
Chapter 14: Keputusan
Chapter 15: Toko Buku 2
Chapter 16: Arka-Naura-Fiko
Chapter 17: Kerja Bakti
Chapter 18: Fakta yang Belum Terungkap
Chapter 19: Kejujuran
Chapter 20: Before-After UAS
Chapter 21: Class Meeting
Chapter 22: Keributan
Chapter 23: Flashback
Chapter 24: Membaik
Chapter 25: Kepastian
Chapter 26: Papa
Chapter 27: Gramedia Date
Chapter 28: Rapot
END: Jawaban Pertidaksamaan
Extra Chapter
APA KATA WATTPADERS?

Chapter 5: Kesialan dan Kesalahpahaman

37.5K 3.3K 54
By Arinann_

Pagi ini, hati Naura tak secerah sinar matahari. Ingin rasanya ia mengumpat dengan keras mengeluarkan kekesalannya akan apa yang tengah menimpanya saat ini. Namun, ia harus mengurungkan niatnya itu karena sadar hal itu hanya akan sia-sia dan tidak bisa membantu menyelesaikan permasalahannya saat ini.

Menghela napasnya lagi, Naura memegang dengan erat stang sepeda yang tengah ia tuntun. Dengan lunglai ia tetap melangkahkan kakinya pelan menapaki jalan menuju sekolah yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari tempatnya saat itu. Sungguh, sebenarnya Naura sudah lelah. Ingin rasanya ia kembali pulang dan membolos saja. Namun, apalah daya ia yang takut akan omelan Mas Nara, mengharuskannya untuk tetap berjalan menuju sekolah.

Jika ditanya hari apa yang paling tidak disukainya, Naura dengan tegas menjawab hari Senin. Sungguh, Naura sangat membenci hari Senin. Entah apa salahnya, takdir sepertinya sudah menandai jika hari Senin adalah hari kesialannya.

Setelah minggu lalu dirinya mendapat tugas yang paling dihindari olehnya, sekarang ia kembali mendapat kesialan. Bukannya sampai dengan selamat di sekolah, dirinya harus terjebak menuntun sepedanya karena rantainya tiba-tiba putus. Ditambah ban sepeda belakang bocor karena tertancap paku yang Naura sendiri tidak tau kapan itu terjadi. Sungguh malang nasibnya pagi ini.

Naura hari ini memang berangkat sendiri. Awalnya Mas Nara sudah berniat untuk mengantarnya namun Naura menolak. Ia lebih memilih menggunakan sepeda agar saat pulang sekolah ia tidak harus menunggu Mas Nara sampai menjemputnya. Lama-lama Naura juga bosan sendiri jika harus berlama-lama berdiri di depan gerbang sekolah. Namun, sayangnya hal tak terduga menimpa dirinya.

Naura terperanjat kaget saat tiba-tiba saja terdengar suara klakson sepeda motor dari arah belakang. Dengan refleks, Naura berhenti melangkah. Kepalanya lalu menoleh. Dapat dilihatnya sosok laki-laki berseragam sama dengan dirinya yang sekarang sudah memberhentikan sepeda motornya di sampingnya.

"Kenapa sepedanya? Kempes?" tanya laki-laki itu.

Naura menganggukkan kepalanya. Fiko, anak kelas sepuluh MIPA 3 sekaligus anak dari kepala sekolah SMA Nuri yang tidak lain adalah Pak Wahid. Fiko turun dari sepeda motor kemudian mendekati Naura.

Naura mengedarkan pandangannya. Melihat-lihat pohon atau objek apapun yang ada di sekitarnya. Jari-jarinya bergerak menepuk-nepuk stang sepeda. Berusaha dengan melakukan hal itu mampu menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba ia rasakan arena berhadapan dengan Fiko.

Naura yang sejatinya hanya sekadar mengenal sosok Fiko, sedikit terkejut tiba-tiba ditegur sapa oleh laki-laki itu. Fiko itu termasuk golongan anak terpandang di sekolah. Atau bisa dibilang, Fiko most wanted-nya SMA Nuri. Selain karena ia anak dari kepala sekolah, di bidang ekskul, Fiko paling jago dalam hal fotografi.

"Bannya harus ditambal. Kena paku," ujar Fiko saat tak sengaja melihat salah satu bagian ban sepeda tertancap paku payung. Naura hanya mengangguk.

Fiko mengangkat tangan kirinya. Matanya melihat jam. "Bentar lagi bel. Berangkat bareng gue aja," ucapnya.

"Hah? Eh, Eggak usah. Sendiri aja. Bisa kok."

"Yakin? Enggak capek jalan sampai sekolah?"

"Di depan ada bengkel kok," ucap Naura mencoba menolak.

"Jalan ke bengkel sama aja lo jalan sampai ke sekolah karena bengkelnya sepuluh meter dari sekolah. Tinggal lima menit. Lo mau berdiri di samping tiang bendera pas upacara?" Fiko berujar mencoba membujuk Naura.

Naura ragu. Namun, benar juga apa yang dikatakan Fiko. Jika tidak segera, pasti ia akan sampai di sekolah dengan keadaan gerbang yang sudah tertutup dan upacara bendera sudah dimulai.

Naura melihat sepedanya. "Terus sepedanya?" tanyanya.

Fiko mengedarkan pandangannya. Sampai akhirnya berhenti pada sebuah warung jajanan di pinggir jalan. "Titip di sana aja. Pulang sekolah nanti baru diambil."

"Emang boleh?"

"Coba aja dulu." Naura menurut. Ia pun dengan cepat menuntun sepedanya dan menitipkan pada ibu-ibu pemilik warung. Fiko menyusulnya. Setelah berterima kasih pada ibu itu, Naura segera naik ke atas sepeda motor Fiko dan berlalu menuju sekolah.

***

"Eh...Stop, Fik. Berhenti di sini aja." Naura menepuk-nepuk punggung Fiko saat motor cowok itu memasuki gerbang sekolah. Naura ingin berhenti di sana saja lalu masuk ke sekolah melewati loby. Namun, bukannya menuruti kemauan Naura, Fiko tetap melajukan sepeda motornya memasuki area sekolah menuju parkiran murid yang sejatinya memang ada di dalam sekolah.

"Nanggung, Ra. Udah sampai, tinggal ke parkiran doang," balas Fiko.

"Berhenti aja. Malu, Fik, dilihatin anak-anak. Nanti pada ngomongin yang enggak-enggak lihat kita berangkat bareng."

"Biarin lah. Kalau enggak mau enggak-enggak, realisasikan aja." Naura menukikkan alisnya mendengar ucapan ngawur Fiko.

"Fiko!"

Fiko tetap tidak mau mendengarkan permintaan Nauras. Naura segera mengangkat salah satu tangannya untuk menutupi wajahnya. Pasti sebentar lagi muncul gosip yang tidak-tidak tentang dirinya dan Fiko.

Naura berdecak pelan. Memasuki parkiran murid, ia menjadi gelisah sendiri. Terlebih saat beberapa anak yang masih berada di parkiran memusatkan perhatian mereka pada dirinya dan Fiko. Kegelisahannya bertambah saat Fiko memberhentikan motornya pada tepat tongkrongan biasa pasukan anak-anak urakan berkumpul dari kelas sepuluh sampai dua belas.

Walaupun Naura tidak memiliki kedekatan apapun dengan Fiko, tetap saja ia malu. Wajahnya memerah saat telinganya mendengar sorakan serta godaan yang terlontar dari teman-teman Fiko.

"Ekhem! Ekhem! Uhuk, duh. Tolong air, air. Mendadak keselek gue!"

"Pak bos dapet bidadari dari mana tuh?"

"Ya Tuhan, akhirnya kita punya ibu bos juga!"

Naura mencoba menulikan pendengarannya. Tidak ingin berlama-lama di sana, Naura segera turun dari motor Fiko. Merapikan rok dan membetulkan tali tas pada pundaknya, Naura menoleh pada Fiko.

"Makasih tumpangannya." Naura menunduk sekali setelah itu berlalu pergi.

"Eh, Bu Bos enggak salim dulu sama Pak Bos?"

"Enggak salam kecup sayang dulu?"

"Bu Bos sama Pak Bos lagi marahan, ya? Masa baru jadi udah marahan?"

Naura menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh, tidak Fiko tidak teman-temannya adalah orang-orang yang sangat aneh.

***

Bel istirahat berbunyi. Bu Ningsih, guru Bahasa Indonesia segera menutup pembelajaran. Setelah itu, wanita setengah baya berparas ayu itu berlalu keluar kelas. Murid-murid menyusul di belakang untuk selanjutnya pergi ke kantin. Tidak terkecuali dengan Naura dan Lala.

Naura berjalan sembari tangannya mencatat tanggal yang sempat diucapkan Bu Ningsih tadi pada note book-nya. Tanggal dimana ia harus sudah menyelesaikan tugas jurnalistiknya. Bu Ningsih memberikan keringanan waktu dua minggu. Sudah terhitung dari mulai Bu Ningsih memberinya tugas. Itu artinya waktu yang ia miliki hanya satu minggu lagi. Naura harus cepat-cepat menyelesaikan tugas wawancaranya dengan Arka.

"Naura, cepetan ceritain. Udah istirahat ini." Lala menggoyang-goyangkan lengan Naura dengan tidak sabar. Naura yang tengah menulis berdecak saat tulisannya menjadi tidak beraturan.

"Sabar, La. Bentar. Lagi nulis juga."

"Ih, dari tadi sabar, bentar, sabar, bentar mulu. Kapan ceritanya? Lagi kepo kuadrat nih. Kok bisa sih kamu berangkat bareng sama Fiko? Aneh banget, kan, secara dia enggak pernah boncengin cewek karena katanya dia itu anti sama cewek. Eh, enggak ada mendung enggak ada hujan tiba-tiba kamu berangkat bareng dia. Boncengan berdua pakai motor ala-ala orang pacaran yang sweet-nya kebangetan. Gimana bisa?"

Naura memutar bola matanya malas. Sahabatnya itu memang sangat lebay.

"Nauraaa," rengek Lala.

Naura berdecak, "Iya-iya."

Akhirnya mengalirlah cerita Naura mengenai kejadian pagi tadi. Mulai ketika ia berangkat menggunakan sepeda akhirnya sampai ke sekolah dengan kondisi berada pada boncengan Fiko.

Lala mengangguk-angguk menanggapi setiap ucapan Naura. Bagai mendapat materi saat pembelajaran, gadis yang suka mengepang rambutnya itu memperhatikan dengan hikmad. Sampai Naura menyelesaikan ceritanya, Lala berdecak kagum. "Wah, Fiko sempurna banget sih. Udah ganteng, kaya, pintar, baik lagi. Pasti beruntung yang bisa jadi pacarnya."

Naura menyipitkan matanya. "Belum tau aja kamu. Dia itu orangnya enggak jelas, La. Aneh gitu apalagi teman-temannya itu. Hih." Naura mengendikkan bahunya geli.

"Ya emang kenapa kalau aneh. Yang penting orangnya ganteng, Ra."

"Ih, kamu mah dibilangin ngeyel."

"Biarin. Oh iya, terus Arka gimana? Dia tau?"

Naura mengendikkan bahunya lagi. "Aku enggak tau."

"Ih, jahat. Kalau dia sakit hati gimana?"

"Enggak usah lebay deh, La. Enggak mungkin dia sakit hati. Emang dia siapa? Cuma mantan."

"Jangan salah. Mantan tetap aja masih punya hati."

Oke, setujui saja ucapan Lala.

***

Naura tidak suka jika ia menjadi pusat perhatian. Entah mengapa, Naura suka malu, mendadak gugup, dan gelisah jika ia menjadi pusat perhatian. Naura tidak tahu memang benar atau hanya perasaannya saja, ia menangkap beberapa anak di kantin tengah menatapnya. Bahkan semenjak ia masuk ke sana.

Naura mengurai rambutnya ke depan. Rambut yang sudah tidak bisa dibilang poni itu ia tata serapi mungkin untuk menutupi sebagian wajahnya. Naura mencoba tenang. Tangannya menyendokkan bakso lalu mengarahkan pada mulut dan memakannya.

Lala yang semenjak tadi duduk di hadapan Naura, memicingkan matanya merasa ganjal terhadap tingkah sahabatnya itu. Berulang-ulang dilihatnya Naura menghela napasnya seperti tengah menahan gugup, matanya terus bergerak seperti berusaha sebisa mungkin mengalihkan padangannya dari sesuatu.

"Kamu kenapa sih, Ra?" tanyanya.

Naura mengunyah baksonya dengan cepat lalu menelannya. Mengambil es jeruknya terlebih dahulu, lalu meminumnya.

Naura menghela napas. "La, kok dari tadi aku ngerasa anak-anak pada merhatiin aku ya? Kaya ada yang aneh gitu," ucapnya pelan sembari sedikit mencondongkan badannya ke depan.

Lala mengerutkan dahinya. "Masa sih? Ge-er kamu mah."

"Ih. Beneran, La. Ngelihatinnya kaya agak aneh gitu."

"Aneh gimana? Mungkin cuma perasaan kamu aja kali."

Naura mengendikkan bahunya. Mungkin iya, hanya perasaannya saja. Naura mencoba melupakannya. Kembali cuek, Naura lantas memakan baksonya.

Namun, Naura tersedak saat tiba-tiba Lala menggebrak meja. "Ya ampun, Ra! Aku tau. Ini pasti gara-gara pagi tadi kamu berangkat sama Fiko."

Naura terbatuk-batuk. Tangannya menepuk-nepuk dadanya mencoba meredakan batuknya.

"Eh-eh... ini minum, Ra." Naura mengambil es jeruk yang disodorkan Lala. Dengan cepat, ia meminumnya. Naura menghela napasnya. Gadis itu menatap sengit ke arah Lala yang dibalas dengan cengiran tak berdosa dari sahabatnya itu.

"Sorry."

Naura berdecak. Kalau bukan karena aksi lebay sahabatnya itu, Naura pasti tidak akan tersedak.

"Tapi, kayaknya benar deh, Ra. Ini semua gara-gara kamu sama Fiko tadi. Enggak mungkin, kan, orang kaya Fiko sehari aja enggak ada yang bicarain tentang dia. Paling-paling udah ada gosip nih yang kesebar."

Naura juga berpikir seperti itu. Kabar sekecil apapun mengenai Fiko pasti langsung menjadi buah bibir di kalangan murid-murid SMA Nuri. Kemungkinan besar, kejadian tadi pagi tidak luput dari perbincangan anak-anak hari ini. Namun, Naura merasa tidak habis pikir. Apa semua yang dilakukan Fiko harus selalu diperbincangkan.

"Heran, deh. Padahal cuma berangkat bareng, loh. Segitunya banget mereka," ucap Naura akhirnya.

"Namanya juga orang ganteng, Ra. Most wanted-nya sekolah. Ya, mau gimana lagi? Dari dulu jalannya emang udah begitu."

Naura hanya mengangguk setuju. Perempuan itu kembali fokus menghabiskan baksonya. Di saat ia akan menyuapkan mi ke dalam mulutnya, bangku panjang yang tengah di duduki Naura tergerak. Seseorang telah duduk di samping Naura. Naura menolehkan kepalanya dan sedikit terkejut saat melihat Fiko.

***

Naura duduk termenung di bangkunya. Materi yang disampaikan oleh Pak Somad mengenai Animalia di depan kelas seakan angin lalu bagi dirinya. Pikiran Naura melayang pada kejadian di kantin tadi. Mengenai sikap Fiko yang tiba-tiba saja mendekatinya dan juga Arka yang seolah-olah menjauhinya.

Naura bingung. Bingung dengan sikap Arka. Naura merasa ia tidak melakukan kesalahan apa pun kepada Arka. Tapi, sikap laki-laki itu mendadak berubah.

Di kantin tadi, Naura tidak sengaja melihat Arka dan Galuh yang baru saja memasuki kantin. Naura sebenarnya tidak ingin tersenyum. Namun, entah mengapa bibirnya tergerak dengan sendirinya mengukir senyuman. Ia menatap Arka dan Galuh yang berjalan menuju mejanya. Naura kira mereka ingin menghampiri dan duduk bersama ia, Lala, dan Fiko. Namun, ternyata Arka dan Galuh melewatinya. Arka dan Galuh melengos begitu saja. Tanpa membalas tersenyum ataupun menyapa seperti biasanya.

Belum lagi, di saat ia dan Lala berjalan di koridor kelas tidak sengaja mereka berpapasan dengan Arka. Naura sengaja memperlambat langkah kakinya. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Arka. Namun, ternyata sama saja. Arka tetap melangkah tanpa memedulikan Naura. Tidak ada senyuman. Tidak ada sapaan. Melirik pun tidak.

Sikap Arka sangat aneh. Arka seolah menganggap Naura orang lain.

"Naura." Naura terkesiap saat merasakan senggolan pada lengannya. Ia menolehkan kepalanya ke samping, melihat Lala.

"Lima," bisik Lala.

"Ha?" Naura mengerutkan dahinya bingung.

Lala berdecak. "Hitung. Lima."

Naura tersentak. Ia baru mengerti. "Lima," ucapnya yang kemudian diteruskan oleh teman-teman satu kelasnya yang lain.

Naura menghela napasnya. Matanya terpejam

Fokus, Ra!

"Mikirin apa, sih, Ra? Sampai enggak fokus gitu?" tanya Lala.

Naura menggeleng. "Enggak. Enggak mikirin apa-apa kok. Enggak penting."

Lala menjuihkan bibir bawahnya. "Bohong."

"Benar, La."

"Nanti aku ke rumahmu, deh. Cerita, ya?" bujuk Lala.

Menghela napasnya lagi, Naura pun akhirnya mengangguk. Tidak ada gunanya ia memendam sendiri. Lagi pula, jika Lala sudah penasaran dengan sesuatu, sekecil apapun itu pasti sahabatnya itu akan berusaha sekuat mungkin untuk mengetahuinya. Lala itu memiliki tingkat kekepoan yang tinggi.

Ponsel Naura yang ada di laci meja bergetar. Terdapat notif pesan yang muncul. Naura dengan was-was mengambil ponselnya. Setelah melihat Pak Somad tengah sibuk menulis sesuatu di papan tulis, Naura dengan aman membuka ponsel.

Galuh

Kita sekelompok sama Fajar dan Vera. Kapan mau ngerjain tugasnya?

"Tugas apa, La?" tanya Naura pada Lala.

"Presentasi tentang bab Animalia. Perkelompok ada materinya masing-masing. Tuh, lagi ditulis sama Pak Somad."

Naura mengangguk.

Naura

Aku ikut aja, besok juga bisa.

Galuh

Oke.

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 396K 87
Warning☞⚠️ [FOLLOW DULU BRADER!!!] cerita ini terdapat adegan romance, baper, kekerasan, kata-kata kasar. Harap bijak dalam membaca, tidak untuk diti...
9.8M 636K 30
"Jadi gini rasanya di posesifin sama ketua genk?" -Naya Arlan dirgantara, ketua genk Pachinko yang suatu malam pernah menolong seorang gadis, sampai...
15.8M 991K 35
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
1.7M 142K 56
[π‚πŽπŒππ‹π„π“π„πƒ] FOLLOW DULU, YUK! THANK'S🌻 -cover by @grapicvii- BLURB: "Mulai sekarang kita balikan dan nggak ada penolakan!" -Arka Abyan Abri...