Complementary Heart

By shellyyyls

21.4K 5.4K 4.5K

Aku baru menyadari bahwa kehadiran seseorang akan membawaku pada sebuah kenangan lama. Hidup yang biasanya m... More

Prolog
Di Mana Anak Itu?
Seseorang Di Dalam Gudang
Bertemu Kembali
Permintaan Kepala Sekolah
Ciput
Kecurigaan
UKS
Hujan di Sore Hari
Bagai Udara yang Tidak Bisa Diganggam
Khawatir?
Impian?
Yogurt Strawberry
Disuatu Malam
Manis?
Seseorang Di Atas Gedung
Pria Asing
Kalah?
Kenapa Nangis?
Dia, Siapa?
Hal Ini Lebih Penting
Aku Di Sini

Putusin Aja!

920 260 161
By shellyyyls

Apa kalian semua punya impian? Ya impian. Itu lho, sesuatu yang ingin dicapai suatu saat nanti. Tapi apa yang sudah kalian lakukan untuk mencapai impian itu?

Di sebuah buku karya Colin Powell. Ada sebuah kalimat sederhana yang yang mampu membuat seorang Victor terus maju untuk meraih impiannya. 'A dream doesn't become reality thought magic. It takes sweat, determination and hard work.' Sebuah kalimat yang sampai sekarang menjadi pemacu dirinya untuk terus berusaha meraih impiannya.

"Bagus, Victor!" seru seseorang yang kini tengah sibuk memainkan punch mitt yang ada di tangannya. Seseorang itu mengangkat tangan kirinya, membuat Victor langsung melayangkan pukulan kerasnya ke sana.

Sudah satu jam ini Victor bergulat dengan punch mitt yang ada di tangan Willy, Omnya. Melanyangkan pukulan keras ke arah benda itu di arahkan. Satu jam bergulat dengan punch mitt membuat nafas Victor mulai engap. Energinya pun sudah mulai terkuras. Rasanya ia sudah tidak sanggup lagi saat ini.

"Om, udah om," ucap Victor pelan. Ia menghentikan pukulannya. Tanpa menunggu pesetujuan Willy, ia langsung membaringkan tubuhnya ke atas ring. Nafasnya tak beraturan. Keringat yang sedari tadi menggantung di pelipisnya akhirnya jatuh. Latihan kali ini sungguh melelahkan.

"Oke, kita sampai sini aja," balas Willy. Laki-laki berusia tiga puluh tahunan itu melepaskan punch mitt dari tangannya. "Gue turun dulu, Vic." Victor mengangguk, membuat pria itu melangkah turun dari atas ring. Membiarkan keponakannya itu beristirahat sejenak di sana.

Setelah latihan tadi, Victor langsung pulang ke rumah. Namun dalam hatinya ia merasa cemas. Sekarang sudah pukul sebelas malam dan ia baru pulang. Biasanya ia tidak pulang selarut ini, tapi karena tadi di tempat latihan ia menonton siaran live kejuaraan tinju dunia, membuat dirinya jadi lupa waktu.

Perlahan Victor membuka pintu rumahnya. Berharap orang rumahnya itu sudah tidur. Bisa bahaya nanti kalau sampai ada yang memergokinya pulang semalam ini. Terlebih lagi kalau itu Papanya. Bisa habis lagi ia malam ini.

Suasana sepi. Lampu rumah juga mati. Sepertinya aman terkendali malam ini. Victor menghela nafas lega, akhirnya ia bebas juga.

Baru selangkah Victor memasuki rumahnya, seketika keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Lampu ruang tengah mendadak nyala. Victor tersentak, apa lagi saat ia melihat Papanya sedang duduk disalah satu kursi di sana.

"Dari mana aja kamu?" Suara dingin Wildan seketika menghentikan langkah Victor. Anak laki-laki menelan ludahnya, menunduk.

"Abis latihan, Pa," jawab Victor.

Wildan melangkah, mendekat ke arah anaknya. Sampai langkahnya terhenti, pria berumur sekitar empat puluh tahunan itu tanpa beban menampar keras pipi kiri anak keduanya. Victor memejam, dahinya penuh kerutan. Wajahnya memerah, merasakan perih juga panas yang menjalar di pipinya.

"Sudah berapa kali Papa bilang, jangan main tinju! Kamu ngerti ga sih kalau dibelangin?! Kamu itu anak sekolah. Seharusnya kamu itu belajar, bukan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dasar anak ga tau diuntung!"

Satu tendangan keras menghantam kaki kanan Victor. Membuat anak laki-laki itu terjatuh. Ia merintih kesakitan karena luka goresan yang ia dapat dari ujung meja.

"Kamu tau ga, berapa biaya yang sudah Papa keluarkan untuk membesarkan kamu? Dan sekarang kamu hanya main-main saja? KAMU ITU GA TAU TERIMA KASIH!" bentak Wildan kencang. Suara tingginya terdengar di tengah heningnya rumah.

"Tapi Papa sendiri kan yang izinin Victor buat ikut lomba itu, asalkan-" belum sempat Victor menuntaskan kalimatnya. Tendangan keras Wildan lagi-lagi menghantam tubuhnya.

"BERANINYA KAMU JAWAB!" Emosi Wildan sudah memuncak. Dengan kalap ia menendangi tubuh Victor berkali-kali. Membuat anak laki-laki itu meronta kesakitan.

"Ah, sakit, Pa ... "

"Astaga. MAS! HENTIKAN!" Chintia yang melihat anak ke duanya sedang dipukuli lagi, segera mendekat ke arah Victor.

"AKU BILANG, HENTIKAN, MAS!" seru Chintia kencang. Melihat Victor tak berdaya di lantai, Chintia langsung mendekap tubuh anaknya seerat mungkin.

Ia memandangi tubuh anaknya. Mengecek kondisi Victor. Seketika pandangnnya terhenti saat melihat lengan Victor mengeluarkan darah. "Astaga, tangan kamu ..."

"Terus aja belain anak ga tau diri itu! Tuh liat tuh, gara-gara kamu belain dia terus, dia jadi ngelunjak. Kalau saya ga inget kamu siapa, sudah saya bu-"

"Cukup!" potong Chintia cepat. "Cukup mas!"

Wildan mendengus kesal. "Terserah kamu lah. Urus aja sendiri anak ga tau diri itu!"

Setelah Chintia datang Wildan sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya ia pun pergi. Tidak memedulikan lagi anak yang seharusnya tidak menjadi anaknya. Ia sungguh tidak peduli. Kehadiran anak itu hanya menambah bebannya saja.

"Kamu gapapa sayang?" tanya Chintia khawatir. "Tangan kamu berdarah. Ayo kita ke kamar kamu, biar Mama obatin."

Victor menggelang, dengan bantuan Chintia ia bangkit. "Ga usah Ma, Victor bisa sendiri kok. Mama ke kamar aja lagi, sebelum Papa marah nanti."

"Tapi sayang ..."

"Gapapa Ma ... lagian Victor udah bisa kok," ucapnya pelan tidak mau membuat Chintia makin khawatir nantinya. "Udah ya Ma, Victor ke kamar dulu."

Dengan berat hati akhirnya Chintia melepaskan genggaman tangannya. Membiarkan anak ke duanya itu masuk ke dalam kamarnya. Chintia membasuh wajahnya frustrasi. Kejadian seperti ini harusnya tidak pernah terjadi.

❇❇❇

Kabar buruk datang untuk seluruh siswa kelas XI Ipa 6. Baru saja Victor berniat untuk keluar dari dalam kelasnya namun secepat kilat Nilam langsung menahannya. Memaksa dirinya untuk tetap di kelas sampai gadis itu selesai menuliskan sesuatu di papan tulis. Awalnya Victor memberontak, tapi Nilam langsung mengancamnya. Menganjam jika dirinya kabur, anak perempuan itu langsung mengadu pada Bu Maria.

Victor mendengus kesal. Tangannya mengepal keras. Ia ingin protes, namun tak bisa. Apa lagi saat cewek itu membawa-bawa nama Bu Maria. Sudah males sekali ia berhadapan dengan guru galak itu.

Victor akhirnya menurut. Kembali ke mejanya.

Nilam mengambil spidol,  menyalin sebuah tulisan dari dalam ponselnya. Satu demi satu kata ia tulis di sana, membuat seisi kelas berbisik-bisik penasaran. Victor tidak peduli dengan apa yang sedang Nilam lakukan. Latihannya jauh lebih penting dibandingkan menunggu Nilam yang lama sekali memindahkan tulisan itu dari ponselnya.

Setelah selesai, Nilam langsung menyingkir. Memperlihatkan tulisan besar yang ia tulis di papan tulis.

Pulpen yang dipegang Panji seketika jatuh ke lantai. Matanya membesar saat membaca tulisan di papan tulis itu. Ia menggoyahkan tubuh Victor yang sedang tidur di atas meja. "Woy Vic, nama lo ada di papan tulis tuh."

"Aduh apa lagi sih," balas Victor kesal. Dengan terpaksa ia mengangkat kepalanya. Menatap Papan tulis dengan wajah datarnya.

Besok ulangan Matematika BAB Vektor. Tidak terima protes! Kalau sampai ada yang remedial lagi, siap-siap kerjakan soal 30 dan bonusnya bersihin kamar mandi sepulang sekolah. Khusus untuk Victor Neonatha Abraham murid kesayangan Ibu, kerjakan 80 soal dan bonusnya bersihin kamar mandi selama seminggu!

Mata Victor seketika membesar. Menunjuk-nunjuk papan tulisnya. "Eh apa-apa itu, gue 80 soal? Yang bener aja."

Victor mengepalkan tangannya keras. Memukul meja sekencang mungkin. Membuat Panji yang ada di sebelahnya tersentak kaget. "Eh Nilam!" seru Victor kencang, seraya mendekati Nilam yang sedang duduk di kursi guru. "Pasti itu bisa-bisanya lo doang kan. Gila aja gue ngerjain 80 soal sama bersihin kamar mandi seminggu."

"Heh, enak aja lo nuduh gue," protes Nilam. Ia pun bangkit dan langsung memperlihatkan isi chat dari Bu Maria. "Baca nih, itu tuh asli perintah Bu Maria. Makanya jadi anak tuh yang nurut, ya pantes aja lo di kasihnya remendial special gitu. Lah, guru galak diajak main kejar-kejaran di koridor."

Victor mendengus kesal. Mengacak rambutnya kasar. Bisa bahaya ia kalau kena remedial lagi. Hutang remedial BAB yang lalu saja masih tiga puluh soal. Jika ia remedial lagi kali ini, jadi totalnya seratus sepuluh soal. Victor memukul meja di hadapannya sekencang mungkin, membuat taman-temannya yang masih tertahan di dalam kelas tersentak kaget. Rasanya ia benar-benar ingin mati sekarang juga.

Ga kuat. Siapapun, tolong bunuh gue sekarang juga! 

Secepat kilat Victor berlari ke kelasnya Erika. Mencari keberadaan gadis itu. Namun anak perempuan itu tidak ada di sana. Victor beralih ke kantin, tapi gadis itu juga tidak ada di sana. Victor mengacak rambutnya frustrasi, saat ini hanya Erika harapan satu-satunya. Apa lagi saat ia tahu bahwa kelas XI Ipa 1 sudah ulangan matematika sebelum kelasnya, jadi mungkin saja Erika masih ingat dengan soal mematikan itu.

❇❇❇

Erika tergulai lemas di atas meja perpustakaan. Membaringkan kepalnya di atas tangan yang ia letakan di atas meja plastik itu. Menutupi wajah mungilnya dengan buku yang ia ambil asal dari rak-rak tinggi perpustakaan.

Matanya terpejam. Membayangkan betapa kejamnya Dimas pada dirinya. Ia bertanya dalam hati, kenapa Dimas tega melakukan ini padanya? Padahal hubungannya dengan Dimas masih baik-baik saja.

Dimas sama sekali tidak berubah, masih tetap perhatian pada dirinya. Tapi mungkin karena Ekskul futsal yang sedikit lagi akan berkompetisi mengharuskannya jarang bertemu dengan Dimas. Terlebih lagi karena Dimas adalah ketua ekskul futsal, membuatnya sedikit lebih sibuk untuk mempersiapkan kompetisi itu.

Victor yang sedari tadi berkeliling sekolah hanya untuk mencari Erika, akhirnya ia menemukan gadis itu di dalam perpustakaan. Membaringkan kepalanya di atas meja sambil menutupi wajahnya dengan buku. Melihat hal itu, membuat Victor dengan cepat mengambil buku yang menutupi wajah Erika. "Astaga, Ciput. Ternyata lo di sini."

Suara khas Victor yang sudah mulai hapal di pendengaran Erika, membuatnya terpaksa membuka Mata. Mengangkat kepalanya. "Ada apa?"

"Lo kenapa Ciput? Lo sakit? Kok muka lo pucet sih." Victor menarik kursi di samping Erika, lantas duduk di sana. Erika hanya menggeleng, tidak berniat membalas pertanyaan anak laki-laki itu. Victor seketika teringat sesuatu. "Oh iya, gue tau lo kenapa. Pasti lo lagi sakit hati kan? Ah iya, lo pasti lagi sakit hati."

Erika masih diam. Tidak berniat membuka mulut untuk membalas ucapan anak laki-laki itu. Victor mendengus kesal. Gadis di depannya benar-benar seperti patung. Dengan usil ia menyentil dahi Erika, membuat gadis itu terpelonjat kaget. "Ah!"

Victor tertawa. Apa lagi saat melihat gadis itu kesakitan. Dalam hati ia merasa senang, gadis di depannya ini ternyata mudah sekali ia usili. Bahkan gadis itu masih diam, tidak protes.

Erika mengepalkan tangannya. Mengelus dahinya pelan. Sungguh dalam hati rasanya ia ingin menonjok wajah Victor. Lihatlah, betapa kurang ajarnya anak itu, bahkan di saat dirinya kesakitan seperti ini, anak laki-laki itu masih sempat-sempatnya tertawa. Tanpa memikirkan dirinya sama sekali.

"Eh Ciput, lo kan lagi malem ga ngajarin gue. Jadi sekarang lo harus ajarin gue! Besok gue ulangan Matematika nih, bisa bahaya kalau gue sampai remed. Kalau belajarnya nanti malem, gue ga bisa, ada latihan soalnya."

Erika memutar bola matanya. Malas menatap Victor yang sudah membuat hatinya kesal menjadi semakin kesal. "Maaf Victor, bisa nanti aja, ga? Aku lagi ga bisa fokus. Percuma kan kalau aku ajarin tapi akunya ga serius. Nanti kamunya juga ga nanggep."

Victor menghela nafas. "Pasti ini gara-gara senior songong itu kan?"

Erika menggeleng. Namun dalam hati ia meng-iyakan

"Udah si putusin aja," ucap Victor santai. Seakan itu ucapan yang paling benar.

"Apa kamu bilang?"

"Putusin aja! Apa susahnya sih." Ulangnya lagi.

Erika menggeleng lemas. Menunduk. "Aku ga bisa, Vic."

"Kenapa?"

Gadis itu diam sejenak. Beberapa detik menatap Victor lantas menunduk lagi. "Karena dia yang mulai, jadi dia juga yang harus akhiri."

***



Kalau ada typo atau kesalahan penuliaan, mohon koreksi yaa^^

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 98.8K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
129K 14.1K 18
Bukan BL Arkanna dan Arkansa itu kembar. Tapi mereka sudah terpisah semenjak masih bayi. Dulu, orangtua mereka menyerahkan Arkanna kepada saudara yan...
1M 19.7K 46
Gadis cantik yang masih duduk di bangku SMA terpaksa menjalankan misi misi aneh dari layar transparan di hadapannya, karena kalau tak di jalankan, ma...
521K 39.3K 45
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...