Complementary Heart

By shellyyyls

21.4K 5.4K 4.5K

Aku baru menyadari bahwa kehadiran seseorang akan membawaku pada sebuah kenangan lama. Hidup yang biasanya m... More

Prolog
Di Mana Anak Itu?
Seseorang Di Dalam Gudang
Bertemu Kembali
Ciput
Kecurigaan
Putusin Aja!
UKS
Hujan di Sore Hari
Bagai Udara yang Tidak Bisa Diganggam
Khawatir?
Impian?
Yogurt Strawberry
Disuatu Malam
Manis?
Seseorang Di Atas Gedung
Pria Asing
Kalah?
Kenapa Nangis?
Dia, Siapa?
Hal Ini Lebih Penting
Aku Di Sini

Permintaan Kepala Sekolah

1K 374 187
By shellyyyls

Erika membuka pintu rumahnya perlahan. Sekarang sudah hampir jam sembilan malam dan ia baru pulang sekolah. Pastilah sekarang Ayahnya sudah ada di rumah. Terlebih lagi sekarang bukan weekend, jadi pastilah restoran yang dikelola Ayahnya itu sudah tutup. 

"Erika, kamu baru pulang?" baru saja setengah badan Erika masuk ke dalam rumah. Ternyata Takuma, Ayahnya. Sudah menunggu dirinya di ruang depan. Erika mengangguk samar lantas masuk ke dalam rumahnya.

"Kok tumben pulangnya malam banget?" tanya pria tinggi bermata sipit dengan wajah khas Jepang. Ya, Takuma memang asli orang Jepang. Ia datang ke Indonesia dua puluh lima tahun lalu untuk melanjutkan pendidikannya di negara ini, namun saat menikah barulah ia menjadi warga negara Indonesia yang sah.

"Iya, Yah. Tadi aku abis ngerjain penelitian buat lomba KIR bulan depan. Karena ke asikan aku sama teman-teman jadi lupa waktu," jawabnya setengah jujur setengah bohong. Ah, sudahlah jawaban seperti ini memang sudah yang terbaik.

"Oh gitu. Terus tadi kamu di antar siapa? Kayanya itu bukan Dimas, ya?" tanya Takuma sekali lagi.

Erika memutar bola matanya. Pertanyaan macam apa ini? ia harus jawab apa? Teman? Tapi Victor bukan temannya, baru kemarin ia mengenal anak laki-laki itu. Itu pun secara tidak sengaja. Sahabat? Apalagi. Teman aja bukan apa lagi sahabat.

"Teman Ekskul, Yah." Akhirnya jawaban itu lah yang keluar dari mulutnya.

Membahas soal Victor membuat Erika teringat sesuatu. Seketika ia menepuk dahi. Bodoh sekali dirinya sampai lupa bilang ke Victor untuk segera memperbaiki handphonenya yang rusak gara-gara anak itu. Erika mendesah kesal dalam hati. Tujuannya bertemu Victor kan untuk meminta pertanggung jawaban atas ponselnya. Tapi sekarang, di saat ia sudah bertemu dengan cowok itu, dirinya malah lupa bilang.

"Yaudah, kamu mandi dulu gih. Nanti baru makan, kamu belum makan malam kan? Nanti Ayah tunggu di meja makan, ya," ucap Takuma yang berhasil membuyarkan lamunan Erika. Gadis itu mengangguk lalu pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri.

❇❇❇

"Erika, kita minta maaf ya kemarin sore kita ninggalin kamu di sekolah," ucap Vanessa penuh sesal. Bersama dua anggota Ekskul KIR. "Karena lampu sekolah mendadak mati, kita semua jadi ketakutan. Sampai lupa kalau kamu pergi ke gudang. Maaf ya, tapi kamu gapapa kan?" tanya Vanessa dengan nada khawatir.

"Iya gapapa kok, Kak," jawab Erika sambil tersenyum masygul. Dalam hati sebenarnya ia merasa sangat kesal. Bisa-bisanya semua teman Ekskul KIR meninggalkannya sendirian. Namun karena dirinya merasa tidak enak untuk menyalahkan Vanessa dan teman-teman Ekskulnya, alhasil ia pun hanya bisa jawab 'Gapapa'.

"Serius? Jangan marah ya?" tanya Vanessa sekali lagi. Erika hanya membalas senyuman tipis sambil mengangguk. Melihat wajah Erika yang terlihat baik-baik saja membuat Vanessa merasa tenang. "Yaudah kalu gitu aku balik ke kantin lagi ya," Vanessa melambaikan tangannya. "Dah Erika."

Erika tersenyum tipis saat Vanessa melambaikan tangannya kearahnya. Bukan bermaksud sombong. Ia hanya tidak ingin membalas lambaian tangan gadis itu. Ia berbalik, namun langkahnya harus terhenti saat Aqila dan Sheila sudah ada di belakangnya.

"Astaga Erika!" Aqila berseru kencang. "Lo cuma bilang gapapa, di saat lo di tinggal di sekolah sendirian? Astaga ... lo ini kebiasaan tahu ga sih!" nada bicara Aqila naik beberapa oktaf membuat siswa yang kebetulan lewat ikut tertarik dengan omelan Aqila yang belangsung tepat di depan pintu kelas XI IPA 1.

"Lo itu ga bisa diem terus Erika. Lo juga harus ungkapin apa yang lo rasain," ucap Aqila gemas. Melihat sahabatnya ini terus saja diam menahan dirinya. "Kalau gue jadi lo ya, gue udah marah-marah tuh sama si Vanessa. Dia ketua Ekskul tapi bisa-bisaya dia ninggalin anggotanya sendiran saat lagi ngejalanin perintah dari dia. Di gudang lagi. Lo ditinggal sendirian di dalam gudang. Oh ya, tadi dia bilang apa? Mati lampu? Lo ditinggal sendirian di gudang saat lampu mati?"

Erika menunduk, mengangguk.

"Kalau gue jadi lo, udah gue jambak tuh rambutnya si Vanessa." Kini giliran Sheila yang berkomentar. Meskipun anak itu masih asik dengan handphonenya, tapi indra pendengarannya cukup bagus untuk mendengarkan pembicaraan temannya.

"Udah lah, biarin aja. Lagian aku juga gapapa kan. Ga usah dipermasalahin lagi," jawab Erika yang membuat Aqila semakin gemas.

"Ah lo ya, kebiasaan. Diam terus."

❇❇❇

"Erika, ada yang cariin lo di depan kelas tuh," ucap salah satu teman sekelasnya. Membuat Erika yang sedang mengerjakan soal matematika langsung menghentikan aktivitasnya. Bangkit dari kursinya.

Erika melangkah keluar dari dalam kelasnya. Mencari seseorang yang katanya sedang menunggu dirinya di depan kelas. Tapi siapa? Apa itu Dimas? Tapi biasanya pacarnya itu selalu saja langsung masuk ke dalam kelasnya atau memanggilnya dari luar kelas. Tanpa harus membuat temannya repot-repot memanggilnya.

Bukan Dimas. Melainkan Victor. Anak laki-laki itu sedang menunggu dirinya di depan kelas sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok. "Victor?" panggil Erika, membuat cowok itu menoleh.

Victor berbalik. "Gue bakal tanggung jawab. Nanti pulang sekolah lo ikut gue, kita benerin handphone lo yang rusak itu," katanya langsung ke pokok pembicaraan.

"Eh tapi ..."

"Kalau lo gamau juga gapapa, tapi jangan harap besok gue berbaik hati buat benerin handphone lo lagi," ucap Victor dengan nada sedikit mengancam.

Erika diam sejenak. Ia hari ini ada janji bertemu dengan Kepala Sekolah. Tadi sebelum bel masuk, ada satu Siswi yang menyampaikan pesan pada dirinya bahwa Kepala Sekolah ingin berbicara sesuatu dengannya. Tapi sekarang cowok di depannya ini kekeuh untuk membenarkan handphonenya hari ini juga.

"Tapi nanti pulang sekolah aku ada keperluan dulu. Kalau mau hari ini juga kamu harus nunggu aku dulu, emang gapapa?" tanya Erika sedikit ragu. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati untuk melayangkan pertanyaan seperti itu.

"Emangnya lo mau ngapain sih? Sok sibuk banget."

"Gatau, cuma tadi ada yang bilang aku dipanggil sama Kepala Sekolah."

"Lama ga?" tanya Victor ketus. Malas sekali jika ia harus menunggu lama gadis itu, hanya karena ingin menemui Kepala Sekolah.

Erika dengan cepat menggeleng. "Engga kok, engga lama."

"Serius?" tanyanya sekali lagi, sebenarnya ia masih tidak yakin dengan ucapan gadis di hadapannya.

"Iya, serius," ucap Erika berusaha meyakinkan.

"Yaudah lah, kalau gitu nanti gue tunggu lo di gudang. Kalau urusan lo udah selesai langsung ke sana. Dan ingat!" Victor mencoba mengingatkan. "Jangan lama-lama. Kalau lo lebih dari tiga puluh menit, tawaran gue buat benerin handphone lo hangus. Lo benerin aja sendiri!" balas Victor ketus. Ia berbalik, pergi meninggalkan Erika yang masih diam di depan kelasnya.

❇❇❇

Erika baru saja melangkah keluar kelas, ternyata Dimas sudah ada di depan kelasnya. Ia pun mendekat saat pacarnya itu melambaikan tangan ke arahnya. "Udah lama nunggu, Kak?" tanyaan saat ia sudah ada di hadapan Dimas.

"Belum, baru juga sampai," balasnya. "Oh ya sayang, kok dari kemarin aku hubungin kamu handphone kamu ga penah aktif sih. Kenapa?"

Erika terdiam, sedikit kaget dengan pertanyaan Dimas tadi. Ia memutar bola matanya. Harus jawab apa ia sekarang. "Dua hari lalu handphone aku jatuh Kak, terus mati."

"Kok bisa? Emangnya kamu lagi ngapain sampai handphonenya jatuh?"

Erika menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Jatuh dari meja belajar," jawabnya pelan. 

"Oh gitu. Kamu sih taruhnya ga hati-hati. Terus gimana udah di benerin?"

Erika menggeleng. "Belum, nanti aku bilang Ayah dulu."

"Oh gitu. Oh ya, sayang. Kayanya aku ga bisa anter kamu pulang lagi deh, aku ada pertandingan futsal sekarang. Gapapa kan kalau kamu pulang sendiri?"

"Oh, gapapa kok, lagian aku juga harus ke ruang Kepala Sekolah dulu sekarang."

"Ngapain?" tanya Dimas penasaran.

Erika mengangkat bahu. "Gatau. Kayanya aku harus ke sana sekarang deh Kak, ga enak udah di tungguin sama Bu Kepsek."

"Oh iya, yaudah kalu gitu aku juga pulang sekarang deh. Yaudah aku anter sampai depan ruang Kepsek yuk," ajak Dimas membuat Erika langsung mengangguk.

❇❇❇

Erika melambaikan tangannya saat Dimas mulai pergi dari hadapannya. Cowok itu pun melakukan hal yang sama. Dia berjalan mundur sambil terus memandangi Erika yang kini sudah berdiri di depan ruang Kepala Sekolah. Sesekali Dimas menabrak siswa lain yang lewat, membuat Erika tertawa kecil saat melihat tingkah aneh pacarnya itu. Barulah Erika berbalik saat Dimas sudah hilang di ujung koridor.

Erika berniat untuk menetuk pintu ruang Kepala Sekolah, namun niatnya harus ia urungkan. Saat pintu besar itu terbuka sendiri dan menampilkan seseorang yang keluar dari dalam sana.

Betapa kagetnya ia saat mengetahui siapa seseorang yang keluar dari dalam sana. "Victor?" panggilnya, membuat seseorang yang ia panggil tadi langsung menoleh. "Ngapain kamu disini? Katanya nunggu di gudang. Tapi kenapa bisa ada di sini juga?"

"Hm ..." Victor mencari-cari jawaban yang tepat. Ia tidak akan memberitahukan Erika alasan sebenarnya ia juga datang ke sini. "Tadi gue abis dipanggil Kepala Sekolah. Lo sendiri ngapain disini?"

"Aku juga di panggil Kepala Sekolah. Tadikan aku udah bilang."

"Oh iya, ya. Yaudah kalau gitu, gue tunggu di gudang ya. Awas lho ya lama."

Erika mengangguk lalu membuka pintu coklat itu pelan. Ini bukan ruang Kepala Sekolah biasa. Ini juga ruang istri kepala yayasan SMA Taradiksa. Ia menutup kembali pintu ruangan ini dan langsung melangkah meja Bu Chintia, kepala sekolah sekaligus istri pemilik SMA Taradiksa. Bu Chintia mempersilakan Erika untuk duduk di bangku tepat di dapan mejanya. Ia menurut dan langsung duduk di bangku tersebut.

"Erika, Ibu ga mau berbelit-belit. Ibu butuh bantuanmu," ucap Bu Chintia membuka topik pembicaraan.

"Apa yang perlu saya bantu, Bu?" tanyanya balik, sesopan mungkin.

"Kamu siswi terpintar di kelas sebelas, kan? Pasti kamu bisa dong ya ngajar seseorang yang seangkatan sama kamu?"

"Maksudnya apa ya, Bu? Kalau ngajarin temen sekelas sih saya bisa, Bu."

"Nah!" Bu Chintia berseru senang. "Kalau gitu kamu bisa dong ya ajari anak Ibu, anak Ibu itu seangkatan sama kamu. Tapi dia lemah sekali pelajaran hitung-hitungannya. Padahal dia anak IPA."

"Tapi Bu, bukannya lebih bagus kalau seangkatan sama aku belajarnya ke tempat les, lagi pula anak ibu kan pinter. Contohnya Kak Vicky."

Bu Chintia menggeleng. "Dia itu beda sekali sama Vicky. Udah bosan Ibu daftarin dia ke tempat les, tapi lesnya ga penah bener. Bolos terus. Pernah Ibu panggil guru privat, tapi hasilnya nihil. Di saat jam lesnya anak itu malah ga pulang ke rumah, bikin guru privatnya cuma bengong di rumah." Bu Chintia mencoba menjelaskan. Anak dia satu itu memang paling susah di atur, sangat berbeda dengan anak pertamanya.

"Tapi bu, kalau dia ga suka di ajarin sama aku gimana? Lagi pula aku juga takut ga paham benar sama pelajarannya."

"Tapi kamu bisa Erika," Bu Chintia berusaha meyakinkan. "Saya yakin kalau gurunya teman sepantarannya dia pasti suka. Jadi guru sekaligus teman, kan. Tenang aja, ibu ga pakai jasamu gratis kok. Nanti uang atas jasamu itu Ibu putar untuk membayar SPP bulananmu. Jadi kamu ga perlu minta uang SPP sama Ayahmu lagi, bagaimana?"

Erika terdiam. Dalam hati ia lega saat mendengar niat baik dari Bu Chintia. Tapi, rasanya ia belum siap untuk mengajar serius seseorang apa lagi sampai mejadi guru privat.

"Bagaimana, Erika?" tanya Bu Chintia sekali lagi. "Bisa ya, tolong bantu Ibu, Erika. Ibu sudah frustasi sama anak satu itu, dia susah banget belajar, kerjaannya cuma latihan boxing."

"Hah, boxing?"

"Iya, anak Ibu yang satu itu, impiannya ingin jadi atlet tinju. Setiap hari kerjaannya cuma latihan, mukul samsak. Ga bosen dan ga pernah lelah. Tapi kalau disuruh belajar susahnya minta ampun. Bisa ya, Erika. Tolong bantu Ibu," ucap Bu Chintia dengan nada memohon. "Ga lama kok, cuma sampai ujian akhir semester."

Erika terdiam, sekarang mana bisa ia menolak permintaan kepala sekolahnya. Apa lagi saat melihat kepala sekolahnya itu memohon kepadanya. Erika pun mengangguk. Menyanggupi permintaan Bu Chitia. Ia berharap dalam hati, semoga semua ini akan berjalan lancar.



-TBC-

Continue Reading

You'll Also Like

399K 28.3K 27
[JANGAN SALAH LAPAK INI LAPAK BL, HOMOPHOBIA JAUH JAUH SANA] Faren seorang pemuda yang mengalami kecelakaan dan berakhir masuk kedalam buku novel yan...
1M 19.8K 46
Gadis cantik yang masih duduk di bangku SMA terpaksa menjalankan misi misi aneh dari layar transparan di hadapannya, karena kalau tak di jalankan, ma...
855K 24.2K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
950K 2.9K 19
21+ Ria, seorang ibu tunggal, berjuang mengasuh bayinya dan menghadapi trauma masa lalu. Alex, adik iparnya, jatuh hati padanya, tetapi Sheila, adik...