SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

169K 16.3K 709

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

12

3.1K 355 8
By SophieAntoni

Erick Leitner

Pilot: Ground selamat pagi Indonesia – 357 exit Charlie- Golf Mike November

ATC: Indonesia-357 Golf Mike November, parking stand AE2, straight ahead

Aku berkemas lebih cepat kemudian menepuk pundak Heru sebelum tergesa keluar dari cockpit. Heru hanya mengangguk sekadarnya dengan wajah yang terlihat cukup tegang juga.

"Hati-hati, Capt!" Seru Ayu dan Winda, dua orang kabin kru, yang berpapasan denganku di tangga keluar.

"Thanks." Jawabku singkat dan kemudian menuruni tangga pesawat dengan setengah berlari. Kabar yang kuterima beberapa jam yang lalu saat aku di Batam benar-benar membuat konsentrasiku pecah. Papa masuk IGD. Dan sekarang aku sama sekali belum tahu kondisi terkininya.

Dengan menggunakan taksi aku tiba di pelataran Rumah Sakit Pondok Indah. Jantungku berdebar tak menentu. Berkali-kali aku menelan ludah dan menarik napas mencoba menenangkan diri. Aku bisa melihat bayangan Mama Iren, Tante Wanda dan Om Vinsen di depan sebuah ruangan. Wajah ketiganya tampak gelisah. Mama Iren langsung berdiri memelukku saat aku tiba di hadapan mereka. Dia adalah kakak perempuan Papa, satu-satunya saudara kandung Papa. Sedang Om Vinsen adalah sepupu Papa dan tante Wanda adalah istrinya.

"Papa gimana?"

"Sedang proses katerisasi." Om Vinsen yang menjawab.

"Bagaimana ceritanya?" Aku memandag Mama Iren dan Om Vinsen bergantian. Mama Iren menarik tanganku untuk menyuruhku duduk.

"Si Tarjo bilang Papa kamu ambruk waktu keluar kamar dini hari tadi. Dia nelepon kita semua dan kita langsung ke rumah sakit." Kembali Om Vinsen yang bercerita. Ada rasa tidak puas mendengar kisah singkat itu tapi apa yang bisa kuharapkan karena selama ini Papa hanya tinggal sendiri bersama dua asisten rumah tangganya. Om Vinsen tentu tidak banyak tahu kejadian detilnya dini hari tadi.

Aku menarik napas berat dan menatap nanar pintu ruang laboratorium tempat Papa diberikan tindakan medis. Mama Iren menggenggam tanganku.

"Papa kamu akan baik-baik saja." Aku hanya mengangguk lemah.

Sepuluh menit kemudian aku mulai tidak sabar hanya duduk berdiam diri di antara rasa cemas. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan keluar mencari udara segar. Ada rasa sesal yang menyelinap di dada saat mengingat kembali raut wajah Papa yang memintaku untuk kembali tinggal bersamanya setelah kepergian Mama. Namun saat itu aku menolak. Aku bersedia kembali ke perusahaan Papa dan belajar tentang bisnisnya dengan satu syarat yaitu aku tidak tinggal bersamanya. Aku selalu berpikir Papa adalah laki-laki tua yang mandiri dan sehat di usianya yang ke 58. Dia sangat suka berolah raga sejak muda. Entah itu badminton bersama teman-temannya, atau sekali-kali golf dengan teman bisnisnya. Mungkin saja sekarang Papa tidak sesemangat dulu saat Mama masih ada? Mungkin saja gula atau kolesterol sudah mulai menyerangnya hingga dia bisa terkena serangan jantung saat ini. Entahlah.

Aku mengeluarkan ponselku dan berpikir sejenak. Aku perlu bicara dengan seseorang mengenai hal ini. Sebuah nama dengan begitu mudah melintas di benakku. Dan tanpa ragu aku mendial sebaris angka. Tidak ada salahnya mendengar pendapat dari seseorang yang berkecimpung di dunia medis.

"Halo."

"Ya Halo." Aku mengerutkan kening saat mendengar suara berat seorang pria yang menjawab di ujung sana. Aku perlu membaca kembali sebaris angka dan nama yang tertera di layar untuk memastikan aku tidak salah menelepon orang.

"Ummm....maaf ini nomor Ava kan?"

Aku menunggu beberapa detik namun tidak ada jawaban di seberang sana dan aku memilih untuk memutuskan sambungannya. Aku kembali mendial sebuah nomor karena aku perlu berbicara dengan seseorang saat ini. Tidak berapa lama sebuah suara menyapa di seberang sana.

"Bang Alex."

***

Ava Argani

Entah kenapa dengan diriku? Aku semakin tidak bisa menutupi rasa sukaku pada Rama. Aku bahkan sedikit tdak suka dengan intervensi Erik dalam pembicaraan kami beberapa saat lalu meski itu hanya sebuah panggilan telepon.

"Pacarmu?" Rama menarikku keluar dari labirin pemikiranku. Aku memandang Rama yang baru saja bicara. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Entahlah aku berharap ada ekspresi lainnya. Cemburu? Haruskah aku berterimakasih dengan telepon Erick tadi dan bukannya tidak menyukainya? Ava yang plin plan!

"Kenapa setiap kali seseorang meneleponku dokter selalu menyimpulka kalau itu pacarku." Aku memasukan kedua tanganku ke dalam kantong jasku, mencoba bersikap lebih santai agar orang-orang disekeliling kami tidak menciptakan cerita yang terlalu berlebihan dari yang sebelumnya. Aku tidak pernah lagi mau mengoreksi segala pemikiran mereka yang berpikir aku dan laki-laki di depanku ini adalah sepasang kekasih. Aku sudah tidak peduli mereka mau berpikir apa asalkan aku dan Rama tidak lagi menciptakan drama lain yang bakal menjadi bahan yang lebih menyegarkan untuk digosipkan. Oke, maksudku kalau aku saat ini terlalu bersikap lebai, seperti memasang wajah tegang atau melebarkan kelopak mata di atas bukaan normal persis tokoh perempuan jahat di sinetron, atau bahkan berkerjap-kerjap genit seperti Dessy Bebek, semua orang akan dengan bebas mengarang cerita tentang drama yang dibintangi kami. Lebih baik aku bersikap biasa, santai dan seperti seorang dokter yang sedang berdiskusi masalah sakit pasiennya. Seperti sekarang!

"Setiap kali?" Ia bertanya agak sangsi.

Aku mengangguk. Tak lupa memasang wajah serius seakan sedang mendengarkan analisa professional dari seorang dokter senior.

"Oke...seseorang ini adalah orang yang sama."

Aku terdiam.

"Aku menyimpulkan, iya." Dia tersenyum tipis.

"Tapi dok...dia bukan pacarku. Dia teman dekat kakakku."

"Kamu nggak perlu menjelaskan." Senyumnya masih terpasang namun aku seperi bisa membaca kalau ia sangsi dengan ucapanku. Entahlah atau mungkin aku yang terlalu berlebihan.

"Perlu!" Kataku sedikit lantang.

"Oh ya? Kenapa?"

"Karena...."

Dia tertawa kecil dan bergerak lebih dekat ke arahku. Oke ini tidak benar. Gelagat ini tidak mencerminkan kami sedang berdiskusi secara professional.

"Um...dok. Lebih baik kita tidak membahas hal ini di sini."

"Baiklah. Lalu kita harus membahasnya dimana?" Dia sedikit menunduk memandangku berusaha mencari mataku. Aku sangat tidak suka ini. Perasaanku menjadi tidak nyaman. Gagal semua sikapku untuk bersikap santai. Jantungku berdebar tidak karuan dan aku hampir tak mampu untuk mengendalikannya.

"Saya kabari dokter nanti. Saya ada tugas asisten operasi sore nanti."

"Oke."

Aku mundur satu langkah kemudian berbalik dn berjalan dengan arah yang berlawanan. Taganku bergerak mengeluarkan ponsel dan memastikan tidak ada pesan dari Erick. Apa mungkin ini berkaitan dengan Kak Tania lagi? Haruskah aku menelepon balik? Aku menghempaskan tubuhku di atas kursi di ruang jaga IGD. Tanganku perlahan bergerak menuliskan sesuatu di ponsel. Belum setengah menit pesanku terkirim, ponselku kembali bergetar dan ada nama Erick di sana.

"Hallo.."

"Hi, Ava..."

"Maaf tadi.."

"It's okay..."

"Apa Kak Tania buat masalah lagi?" tanyaku cepat.

Dia berdehem di seberang sana.

"Nggak...Tania baik-baik saja. Kalian nggak saling berkomunikasi?"

"Begitulah." Jawabku pendek.

"Umm begini Va, sebelumnya sorry ya kalau misalnya aku mengganggu kesibukan kamu sekarang." Aku mendengar dia menarik napas berat dan menghembuskannya cukup kencag sehingga terdengar dengan jelas melalui telepon.

"Papaku collapse tadi pagi. Menurut dokter, jantung sih...coroner? Aku hanya pengen bertanya sama kamu."

"Oke..tapi kalau masalah jantung aku belum bisa ngasih pendapat medis yang....aku masih dokter magang."

"Secara teori?"

"Oh okelah...aku coba. Apa kamu belum bertemu dokternya?"

"Masih proses katerisasi. Dan aku lebih nyaman mendengar pendapat dari seseorang yang aku kenal, Entahlah aku seperti nggak siap bicara dengan dokternya sekarang." Dia tertawa sumbang di ujung sana. Dan ada kesan yang menyejukkan saat dia mengatakan tentang 'seseorang yang dia kenal'. Tidak istimewa tapi aku  menyukainya.

"Baiklah apa yang pengen kamu tahu?"

"Apa Papaku bisa meninggal kapan saja? Secara teori Va kamu jawab saja"

Aku terdiam.

"Um...kalau sekarang dokter mengambil tindakan katerisasi aku bisa bilang situasinya darurat. Nanti setelah katerisasi, kamu bisa dengar kata dokter, kalau tidak menjadi lebih baik berarti harus ada tindakan operasi bypass.

"Haruskan operasi bypass? Apa mungkin ada cara lain?"

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sikap Erick saat ini seperti memposisikan diriku sebagai seorang dokter spesialis dan ini cukup mendebarkan karena  tiba-tiba aku menyangsikan kemampuan teoriku.

"Mungkin bisa dilakukan pemasangan ring tapi itu tergantung hasil katerisasi. Lebih baik kamu mendengar pendapat dokternya saja karena dia yang paling tahu keadaan Papa kamu."

"Secara teori...apa Papa bisa meninggal saat operasi?"

Aku mengerutkan bibirku dan menghembuskan napas tanpa suara. Aku bisa membaca rasa panik dan khawatir dalam pertanyaan ini. Tiba-tiba saja ingatanku pada Papa saat dia collapse semakin jelas di mataku. Papa meninggal tanpa sempat dilakukan tindakan medis apapun.

"Kemungkinan meninggal saat operasi bypass bisa aku bilang kecil...ya itu secara teori. Kamu harus percaya kalau hasilnya bagus. Ikuti saja saran dokternya untuk saat ini."

"Okey...Makasih." aku mendengar helaan napasnya. Ia terdengar lega dan aku tiba-tiba merasa bangga karena mendapat kepercayaan ini.

"Secara teori kamu sangat meyakinkan. Kamu berhasil meyakinkan aku juga."

Aku tersenyum.

"Kamu sudah berpikir akan mengambil spesialis apa nantinya?"

"Aku belum tahu...aku selalu ingin mengambil spesialis jantung karena Papaku sendiri meninggal karena jantung."

"Kalau begitu go for it! Jadilah dokter spesialis jantung."

Aku kembali tersenyum dengan kata-kata encouragement-nya. Aku sekarang paham kenapa Kak Tania begitu menyukainya. Kisah tentang cassanova-nya sama sekali tak terbaca olehku. Oke, tidak semua laki-laki playboy itu brengsek kan? Ah aku bisa saja dibunuh oleh perempuan-perempuan korban para playboy kalau mendengar pernyataanku yang terkesan berpihak ini.

"Ava, tadi siapa yang menjawab teleponmu?"

"Ah itu...maaf tadi itu dokter seniorku."

"Ohh...."

"Kabari aku ya tentang keadaan Papa kamu nanti." Aku berkata refleks seperti hendak memotong kalimat lanjutannya. Kata-kata itu keluar begitu saja seakan aku takut Erick akan membahas lebih lanjut mengenai laki-laki yang menjawab teleponnya tadi. Kembali lagi aku bersikap terlalu berlebihan karena apa yang perlu aku khawatirkan dengan membahas hal itu dengan Erick. Toh kalau dokter Rama adalah pacarku memang apa gunanya aku menyembunyikan dari Erick. Ah..lama-lama aku gila dengan drama yang kuciptakan sendiri ini.

"Baiklah...ummm kapan kamu kembali ke Jakarta?"

"Bulan depan."

"Itu artinya itu kita akan segera bertemu kan?"

"Apa?"

Laki-laki itu tertawa renyah di ujung sana.

"Kamu masih berniat mengembalikan buku kan?"

"Ah iya..." Kulit wajahku seketika memanas. Aku menggigit bibirku sambil mengutuk diri sendiri mengira seorang playboy semcam Erick dengan mudah beralih seleranya pada perempuan sepertiku.

"Oke...see you Ava!" Dia memutuskan sambungan teleponnya dan masih meninggalkanku dengan rasa hangat di seantero wajahku.

Aku memasukkan ponsel ke dalam tasku dan melirik jam lalu bersiap bertemu dokter Steven untuk menjadi asistennya sore ini.

"Aku jemput kamu nanti malam setelah operasi." Tubuhku terlonjak sedikit saat suara itu terdengar begitu jelas di kupingku. Aku menoleh dan mendapat Rama berdiri tidak jauh di belakangku. Ia menganggguk kecil kepadaku kemudian berlalu . Aku terdiam sejenak memperhatikan sekelilingku memastikan tidak ada mata yang tertuju khusus pada kami. Aku menangkap bayangan Dian berjalan ke arahku. Dian juga akan menjadi asisten dokter Steven sore ini.

"Nona Ava bagaimana perjalanan kemarin?"

"Perjalanan kemana?" Aku mengiringi langkah Dian menuju ruang operasi dengan memasang wajah innocent.

"Halah....kalian nggak masuk kemarin aja satu rumah sakit tahu kok. Kalian ke Kelimutu kan?" Dian menyikut lenganku pelan dan aku hanya bisa mengulum senyum. Bagaimana bisa mereka dengan mudah mengetahui kemana aku dan Rama pergi kemarin. "Terus? Kamu dapat clue nggak kalo si dokter punya hubungan sama Ayana?" Mata Dian berkerjap gembira mengira ia akan mendapat jawaban dari rasa penasarannya. Tentu saja sebisa mungkin aku menyembunyikan hal ini. Aku bisa akan sangat terpojok hanya dengan tatapan seorang Dian saja kalau dia tahu tentang kebenarannya.

"No clue."

"Terus kalian ngapain aja berdua?"

"Umm....menatap mentari pagi sambil dengerin lagu Ayana yang judulnya Mentari Pagi. Cucok banget kan..." Aku menjulurkan lidahku ke arah Dian yang disambutnya dengan tepukanya yang cukup keras di lenganku.

Aku tertawa namun dalam hatiku ada gelisah yang cukup besar. Apa yang harus kuputuskan saat aku dan Rama bicara nanti malam? Apakah aku akan menerima permintaannya? Ingat! Aku bukan orang ketiga! Otakku berusaha meyakinkan diriku.

Continue Reading

You'll Also Like

4.6M 134K 88
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...
1.5M 6.7K 14
Area panas di larang mendekat 🔞🔞 "Mphhh ahhh..." Walaupun hatinya begitu saling membenci tetapi ketika ber cinta mereka tetap saling menikmati. "...
3.5M 254K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
606K 4.9K 25
GUYSSS VOTE DONGG 😭😭😭 cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...